Sebuah rumah sederhana berdinding bata merah berdiri di atas lahan perkebunan di perbukitan Desa Petang, Kecamatan Petang, Badung, Bali. Dari luar, bangunan itu tampak biasa. Namun di balik kesederhanaannya tersimpan kisah besar perjuangan rakyat mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda.
Rumah semi permanen dengan empat ruangan itu dibangun sekitar tahun 1942. Pada masa revolusi, bangunan ini dijadikan markas pertemuan rahasia I Gusti Ngurah Rai bersama pimpinan pejuang di Badung utara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini rumah itu sudah beberapa kali dipugar sehingga jauh berbeda dari kondisi aslinya. Meski begitu, jejak penyusunan strategi perang seakan masih mengendap di dinding bangunan tua itu.
![]() |
Sebelum pertempuran besar di Desa Marga, Tabanan, atau Puputan Margarana pada 1946, I Gusti Ngurah Rai bersama adiknya I Gusti Ngurah Anom Patjung, serta pimpinan pejuang Badung utara I Gusti Ngurah Puger, kerap mengadakan pertemuan rahasia di rumah tersebut.
Letaknya yang tersembunyi di tengah kebun, dikelilingi pohon-pohon lebat dan medan berbukit, membuat rumah itu strategis untuk menghindari pantauan mata-mata Belanda. Rumah tersebut awalnya adalah pondok milik keluarga Gusti Ngurah Puger yang dipakai beristirahat ketika ke kebun.
Saksi sejarah yang masih hidup, I Gusti Ngurah Djantra (93), mengenang jelas peristiwa yang dilaluinya. Pada 1946, ia masih remaja, namun sudah dilibatkan dalam perjuangan, terutama mendukung sang ayah, I Gusti Ngurah Puger, mengomandoi pasukan Badung utara.
"Ayah saya yang dipanggil untuk membantu perjuangan Pak Rai. Kami memanggilnya Pak Rai (I Gusti Ngurah Rai), dan memang sedekat itu hubungan keluarga kami dengan beliau," tutur Djantra ditemui di kediamannya di Petang, Badung, Senin (11/8/2025) lalu.
Kala itu, Badung menjadi basis pejuang kemerdekaan sejak pendudukan Jepang tahun 1942 hingga peralihan kembali ke Belanda setelah Jepang menyerah pada Sekutu tahun 1945. Ada tiga markas perjuangan di Badung: selatan, tengah, dan utara.
Djantra yang masih remaja mendapat tugas sebagai penghubung. Tubuhnya yang kecil dianggap aman dari kecurigaan tentara lawan, berbeda dengan orang dewasa yang mudah ditahan dan diinterogasi.
"Saya masih remaja, bisa dibilang masih kecil waktu itu. Fisik saya ini tidak membuat pasukan lawan curiga, dianggap cocok jadi penghubung," kenangnya.
Menurut Djantra, Letkol I Gusti Ngurah Rai yang kala itu menjabat Komandan Resimen Sunda Kecil, kembali dari Yogyakarta setelah peristiwa Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Di Badung, Ngurah Rai mengumpulkan kawan seperjuangan dan meminta dukungan keluarga bangsawan setempat.
"Pak Rai pulang ke Badung untuk mengumpulkan beberapa teman perjuangan, termasuk ke Puri Petang untuk mohon dukungan. Ayah saya, I Gusti Ngurah Puger dimintai bantuan mengawal kawasan perjuangan Badung utara," kata Djantra.
Ngurah Rai kemudian menggelar pertemuan rahasia di pondok milik I Gusti Ngurah Puger di Dungun, kawasan hutan lebat Petang. Strategi itu dipilih agar tidak bocor ke mata-mata Belanda.
Namun, pengalaman pahit sempat terjadi saat masa pendudukan Jepang. Strategi perang pernah terbongkar dan membuat sejumlah pejuang ditahan.
"Strategi pejuang itu beberapa kali sempat bocor. Suatu ketika para pejuang marah, dan mata-mata ini dihabisi setelah kami membuat umpan seorang perempuan. Saya sendiri ikut menggotong mayatnya (mata-mata)," ungkap Djantra.
Pondok yang Menyimpan Rahasia
![]() |
Rumah di Dungun memiliki empat bilik. Dua kamar di bagian depan, dapur di sebelah kiri, serta satu ruangan besar di sebelah kanan yang terhubung dengan dapur. Ruangan besar itulah yang dipakai sebagai tempat pertemuan rahasia.
Pertemuan berlangsung sangat tertutup. Bahkan orang terdekat pun tidak diperbolehkan masuk.
"Ibu saya cuma bawa kopi setelah itu diminta keluar. Yang jelas, saya pikir mereka membahas pokok strategi, poin-poin perintah pimpinan perang dari Jogja, cuma beberapa jam," kata Djantra.
Rumah itu, lanjutnya, merupakan bangunan khas Bali yang cukup layak ditinggali, berdiri di tengah hutan lebat dengan kebun dan pepohonan tinggi di sekitarnya. Lokasinya dianggap ideal untuk pertemuan rahasia.
Wilayah Badung utara saat itu menjadi basis perjuangan luas, meliputi Desa Carangsari hingga pegunungan utara perbatasan Buleleng dan Bangli, juga Baturiti dan Mengani di Kintamani. Selain Pondok Dungun, ada pula lokasi lain di Petang seperti Susutan dan Alas Tandan yang dipakai pejuang untuk bersembunyi.
Jejak Menuju Puputan Margarana
Gelombang revolusi fisik akhirnya pecah. Bersama pasukan Ciung Wanara, I Gusti Ngurah Rai memutuskan berpuputan atau perang habis-habisan melawan Belanda. Puputan Margarana pun meletus pada 20 November 1946.
"Setelah itu saya tidak tahu lagi seperti apa. Yang saya ingat, waktu perang Margarana, kami dengar suara ledakan keras dari jauh. Kami dapat kabar, Pak Rai gugur. Kami ke Carangsari, rumah beliau untuk hadiri upacaranya," ujar Djantra.
Kini, rumah yang pernah menjadi markas pertemuan rahasia itu menyimpan nilai sejarah mendalam. Bagi Djantra, bangunan tersebut adalah tonggak penting sebelum pecahnya Puputan Margarana. Karena itu, ia berencana merenovasi kembali rumah itu untuk menjaga warisan sejarah perjuangan.
Simak Video "Video: Puluhan Penerbangan di Ngurah Rai Batal Imbas Erupsi Lewotobi"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/dpw)