Melihat Lebih Dekat Pura Agung Raksa Bhuana Medan, Sudah Ada Sejak 1974

Melihat Lebih Dekat Pura Agung Raksa Bhuana Medan, Sudah Ada Sejak 1974

Tim detikSumut - detikSumut
Minggu, 03 Des 2023 08:00 WIB
Pura Agung Raksa Bhuana
Foto: Pura Agung Raksa Bhuana (Gilby/detiKSumut)
Medan -

Di tengah Kota Medan, terdapat satu pura bersejarah yang telah berdiri sejak tahun 1974. Pura tersebut bernama Pura Agung Raksa Bhuana.

Pura ini merupakan tempat ibadah umat Hindu Nusantara di Kota Medan. Berbeda dengan Kuil Shri Mariamman atau kuil lainnya, yang merupakan tempat ibadah umat Hindu Tamil.

Pura bercorak Hindu Nusantara ini dibangun dari material yang didatangkan langsung dari Pulau Dewata, Bali. Hal ini membuat suasana pura seolah-olah di Bali.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut detikSumut rangkum hasil penelusuran mengenai Pura Agung Raksa Bhuana untuk detikers.

Lokasi Pura Agung Raksa Bhuana

Lokasi Pura Agung Raksa Bhuana terletak di Jalan Polonia Nomor 216, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan. Letaknya tidak jauh dari Pangkalan Udara Soewondo (dulunya Bandara Internasional Polonia) Medan.

ADVERTISEMENT

Detikers bisa menempuh perjalanan menuju pura ini melalui Jalan Mongonsidi dan dilanjutkan menelusuri Jalan Polonia. Berkisar 15 menit dari pusat Kota Medan.

Sejarah Pura Agung Raksa Bhuana

Pura merupakan tempat beribadah umat Hindu di Indonesia, kata pura sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti benteng. Hal ini dimaksudkan untuk membentengi orang yang sedang beribadah.

Menurut Romo Mangku, Suroto, sebagai pemangku pura sejak tahun 1999, pura ini sendiri dibangun karena umat Hindu di Medan pada masa itu tidak memiliki tempat ibadah yang khusus. Mereka melakukan sembahyang dari rumah masing-masing. Berawal dari situlah adanya inisiatif umat Hindu Medan ingin membangun sebuah rumah ibadah yang layak.

"Dulunya orang Hindu di Medan tidak memiliki tempat ibadah, jadi mereka ibadah di rumah masing-masing. Kemudian adalah inisiatif untuk membangun rumah ibadah dan dibangunlah tempat ibadah yang masih bata merah waktu itu tahun 74," ucap Romo Mangku, ketika ditemui di Pura Agung Raksa Buana, Rabu (29/11/2023)

Pura Agung Raksa Bhuana berdiri sejak 1974 dengan status kepemilikannya adalah hak pakai karena tanah seluas 2000 meter persegi ini merupakan tanah hibah yang diberikan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Pura ini mengalami beberapa renovasi dan perluasan serta perbaikan dari tahun ke tahun.

"Pura ini awalnya berdiri dari tahun 1974, dengan status kepemilikannya hak pakai karena dulu tanahnya hibah dari Angkatan Udara (AU). Pura ini dulu dibangun masih bata merah itu sampai 4 tahun. Pura ini sendiri sampai sekarang sudah 4 tahap pembangunan, pertama tahun 74 kemudian 2009, 2011, dan 2023. Pembangunan pura ini dibantu dananya oleh Pemprov Sumut," ujarnya.

Terdapat sebuah arca yang menemani pendirian pura ini dari tahun 1984 yang disebut Padmasana. Arca ini terlihat di tengah-tengah pura menjulang tinggi dan megah ditemani dengan arca-arca kecil di sekelilingnya. Padmasana berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua kata yaitu Padma dan Asana.

Padma memiliki arti bunga teratai dan dapat berarti batin atau pusat. Lalu, Asana artinya sikap duduk atau juga nasihat dan bisa berarti perintah. Secara umum, Padmasana merupakan tempat bersembahyang dan menaruh sesajen bagi umat agama Hindu.

Patung di Pura Agung Raksa BhuanaFoto: Patung di Pura Agung Raksa Bhuana (Gilby/detiKSumut)

Suasana Pura Agung Raksa Bhuana

Tim detikSumut memasuki Pura Agung Raksa Bhuana dengan memakai senteng. Senteng ini merupakan selendang berwarna kuning yang diikatkan di pinggang yang biasanya dipakai untuk memasuki tempat-tempat suci seperti pura. Tujuannya adalah menghormati kesucian pura.

Ketika melangkah masuk, tercium semerbak wangi bunga kamboja karena di tiap sudut pura terdapat bunga kamboja yang berwarna kuning dan merah muda. Perpaduan warna bunga kamboja ini menambah kemolekan pura yang disebut-sebut pura tertua di Kota Medan ini.

Arsitekturnya yang berupa arca, ornamen, dan ukiran khas Pulau Dewata mengisi setiap sudut pura ini, sehingga terlihat megah dan memberikan kesan seolah-olah sedang berada di Pulau Bali.

Bebatuan yang hitam dan bergaya klasik memberikan kesan yang mendalam di pura ini. Siapa sangka, bebatuan ini ternyata berasal langsung dari Pulau Dewata, Bali.

Seorang pekerja di pura tersebut, Nyoman Irianto, menyebut bahwa material pura ini berasal dari Bali. Batu-batunya merupakan lahar hasil letusan Gunung Agung di Bali tahun 1963. Proses pengambilan batu ini cukup sulit karena harus mengorek pasir untuk mendapatkan batu yang memiliki diameter 2-3 meter.

"Batunya dari lahar Gunung Agung yang meletus tahun 63, itu daerah Karangasem. Batu ini kan dicari di galian C, dikorek, diambil pasirnya, baru nampak batunya. Batunya gede-gede, diameternya pun mencapai dua sampa tiga meter," pungkasnya.

Nyoman Irianto sendiri merupakan umat Hindu asal Bali. Dia sudah bekerja di pura ini sejak tahun 2014.

Pura Agung Raksa BhuanaFoto: Pura Agung Raksa Bhuana (Gilby/detiKSumut)

Ritual dan Aturan di Pura Agung Raksa Bhuana

Romo Mangku menambahkan ada beberapa kegiatan keagamaan yang rutin dilakukan di Pura Agung. Terdapat dua ritual khusus yang dilakukan oleh umat Hindu setiap bulannya.

"Untuk upacara sendiri ada yang wajib dilakukan, yaitu pada waktu bulan purnama dan bulan mati tiap bulannya. Jadi wajibnya itu ada 2 di pura ini setiap bulan, namun jika di luar itu nggak apa-apa datang, silakan kalau tujuannya untuk beribadah," tuturnya.

Namun, terdapat larangan untuk orang-orang dengan kondisi tertentu dalam memasuki pura ini. Larangan ini diberlakukan untuk wanita dan juga pria.

"Ya itu ada ya. Untuk wanita itu kalau sedang datang bulan tidak boleh masuki pura ini, sampai dia bersih baru boleh masuk. Kemudian, untuk orang yang baru berduka juga tidak boleh masuk ke pura ini sampai 40 hari lamanya, karena mereka kan masih mengingat anggota keluarga mereka yang meninggal, jadi masih sedih lah ibaratnya, nah aturan ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan," tangkasnya.

Romo Mangku pun menegaskan bahwa pura ini merupakan tempat ibadah umat Hindu, bukan sebagai tempat wisata. Dia menyebut siapa saja boleh datang beribadah, baik itu Hindu Nusantara maupun Hindu Tamil.

"Pura ini murni tujuannya untuk tempat ibadah umat Hindu, mau itu Hindu Nusantara atau Hindu Tamil silakan beribadah di tempat ini. Namun, jika pun ada yang berkunjung (boleh) asalkan meminta izin terlebih dahulu dan tidak berperilaku sembarangan. Itu semua ada aturannya," pungkasnya.


Artikel ini ditulis oleh Aprilda Ariana Sianturi, Evelyn Shinta Situmorang, dan Gilby Zahrandy peserta program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(afb/afb)


Hide Ads