Serdang Bedagai merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang memiliki banyak destinasi wisata seperti wisata bahari, religi, kuliner, dan kebudayaan, yang bisa dikunjungi oleh para wisatawan dari berbagai daerah. Salah satu wisata religi yang juga mengandung sejarah bagi para umat Hindu di Sumatera Utara adalah Pura Bali yang ada di Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai.
Pura Bali yang terletak di Dusun II B Desa Pegajahan diberi nama Pura Penataran Dharmaraksaka. Pura tersebut dibangun sekitar tahun 1989 yang pembangunannya di bantu oleh sejumlah warga Bali yang tersebar di beberapa wilayah Sumatera Utara. Pura ini lah yang menjadi bukti nyata masyarakat Bali di Serdang Bedagai.
Warga Bali yang tinggal di Kabupaten Serdang Bedagai ini adalah para buruh kontrak yang didatangkan langsung dari pulau Bali oleh perusahaan perkebunan PTPN III Adolina sekitar tahun 1962. Nengah Sumadiase yang merupakan pengelola pura sekaligus warga asli Bali, menceritakan awal mula masyarakat Bali melakukan transmigrasi ke daerah tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada tahun 1983 terjadilah Gunung Agung itu meletus di Bali, jadi waktu itu rakyat Bali susah sekali di pengungsian. Di dalam pengungsian itu sekitar dua bulan kami ditawar, ada penawaran dari pemerintah, menawarkan bahwa siapa-siapa yang mau berangkat transmigrasi itu ada tiga pilihannya Sumatera Utara, Kalimantan dan Sulawesi. Kalau Sulawesi dan Kalimantan itu transmigrasi. Kalo yang Sumatera Utara sistem kontrak," ungkapnya saat diwawancarai tim detikSumut pada (23/11/2023)
"Waktu itu dijanjikan pemerintah kontraknya 6 tahun. Jadi kami warga, orang-orang tua kami lah di Bali waktu itu kompromi, memilih lah kami, sepakat lah kami memilih Sumatera Utara. Berangkatlah kami. Pendek cerita, berangkatlah kami ke Sumatera Utara ini sampai Sumatera Utara kami diterima dengan baik oleh perusahaan. Perusahaan waktu itu masih PTPN 3 waktu itu masih karet," lanjutnya.
Nengah menjelaskan ada sekitar 60 KK warga Bali yang melakukan transmigrasi dan tinggal di Kebun Melat. Komplek Kebun Melati tersebut kemudian dinamakan Pondok Bali.
"Jadi kami sampailah di kebun melati ini lah, sampai kebun melati kami diterima dengan baik sudah disediakan segala macam. Alat dapur, rumah, lengkaplah waktu itu, cangkul. Di dalam perjalanan kami sudah memang bicara, karyawan sudah digaji waktu itu. Sampai di sini nggak lama kami dapat gaji gitu belum lagi kerja udah dapat gaji sampai Sumatera Utara ini bekerja lah kami dengan baik. Bekerja-bekerja sampai waktunya lah pendek cerita waktu 6 tahun," jelasnya.
"Jadi 60 KK diterima lah di Kebun Melati ini semuanya di Kebun Melati ini dibagi dua, satu di Afdeling 1 namanya ya yang sebagian di Afdeling 3. Yang di Afdeling 1 ini ada 30 KK, di Afdeling 3 30 KK. Jadi, waktu itu di komplek kebun melati ini dinamakan Pondok Bali, ada Pondok Bali dan Pondok Agung"lanjutnya.
Baca selengkapnya di halaman berikut...
"Jadi waktu itu kami kan bingung, kami nggak punya tempat ibadah karena perusahaan nggak menyediakan karena kami sistem kontrak dianggap itu pulang semua. Jadi pada tahun 1989, datanglah dari Medan, namanya Pak Nengah Dane mayor pangkatnya waktu itu. Itulah siapa, kalau memang mau tempat ibadah tolong disediakan tempatnya, tempatnya inilah lahannya disediakan nanti, masalah dana sudah kami pikirkan nanti kami yang nyari katanya begitu. Jadi sebagian kami kompromilah kami yang ada disini, kami swadaya masyarakat yang disini yang ngumpulin juga sedikit dikit," tuturnya.
Nengah menyebut pura tersebut diresmikan pada 25 Agustus 1989 dan hingga saat ini tersisa 5 KK umat Hindu yang ada di Desa Pegajahan yang masih tetap mempertahankan adat-istiadat dan keyakinan mereka masing-masing.
"Diresmikan waktu itu juga tahun 89 juga tanggal 25 Agustus 89 sampai sekarang. Jadi kamilah yang mengurus ini disini sebagian sudah ada yang pulang sudah ada yang meninggal banyak sudah tua tua semua jadi sekarang ini kami tinggalnya hanya tinggal 5 keluarga," ungkapnya.
Pura Penataran Dharmaraksaka ini ramai dikunjungi setidaknya dua kali dalam sebulan oleh umat Hindu untuk menjalankan ibadah pada waktu purnama dan tilem (bulan gelap). Di Desa Pegajahan, masyarakat asli Bali masih menjaga pola kehidupan kampung halamannya meski telah lama tinggal di perantauan.
Hal tersebut bisa jelas terlihat lewat patung ukir dan tradisi turun-temurun dari leluhur umat Hindu Bali. Di lingkungan ini kita tetap bisa merasakan suasana magis dan khidmat saat mengunjungi perkampungan Bali, apalagi saat menyaksikan ritual ibadah warga Hindu.
Artikel ini ditulis Amanda Amelia, Rindi Antika, Winda Yanti Samosir, Muthi' Nur Hanifah, peserta program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
Simak Video "Video: Tips Biar Percaya Diri ala Park Min Young Cs"
[Gambas:Video 20detik]
(afb/afb)