Suara teriakan pedagang saling bersahutan siang itu. Cuaca panas terik dan berdebu tak membuat para pedagang di Pasar Monza Simalingkar berhenti adu suara terkuat menarik untuk menarik pelanggan.
"100 dapat tiga baju. Masuk kak, apa cari kak," teriak seorang penjual baju pakaian bekas, Minggu (12/11/2023).
"Dipilih-dipilih kak ku, masih bagus barang kita baru pecah kawat tadi pagi," balas penjual baju bekas lainnya dengan logat Batak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi Pasar Monza Simalingkar saat itu begitu ramai. Ada puluhan lapak kios yang dipadati oleh para pengunjung.
Para pengunjung sibuk memilih baju bekas (monza) dengan penataan mulai dari dipajang di manekin, digantung dengan hanger hingga tumpukan baju di bawah.
Di antaranya ada Suci, warga Medan yang gemar berburu Monza. Ia tampak memilah pakaian dengan cermat. Dikatakannya, berburu monza ini sudah ia lakukan sejak kecil bersama sang ibu.
"Kalau ke Monza ini udah dari kecil lah, diajak mamak dulu cari baju. Kalau waktu kecil kan enggak ngerti kita ya, tapi pas udah ngerti, ternyata enak juga ngethrift gini," ungkap Suci kepada detikSumut.
Suci juga bercerita bahwa pakaian Monza membuat dirinya bisa bertukar-tukar pakaian dengan harga yang terjangkau.
"Banyak kali kenangan dulu sama mamak belanja itu, tawar-tawarannya ekstrim kali buat beli baju aku sama adek. Bahkan, kita pura-pura pergi terus dipanggil sama yang jual untuk dikasih harga murah. Kadang ingatnya malu tapi kangen juga, kalau sekarang kan banyak yang belanja online kan. Tapi kadang aku juga suka ajak mamak ke Monza pas libur kerja, memang kalau mamak-mamak yang nawar udah gak diragukan lagi," jelasnya.
Suci menyebutkan bahwa dirinya menyukai transaksi di pasar monza ini. Ia bisa menawar untuk mendapatkan harga murah dengan barang yang dinilai masih cukup bagus. Sebut saja ia pernah mendapat brand ternama seperti Tommy Hilfiger, Zara, Lacoste, maupun Forever 21.
"Kalau gaji pas-pasan gini, emang paling pas di Monza ini lah. Kita bisa pilih-pilih, ada yang harga Rp 5000, Rp 50 ribu, ada yang Rp 100 ribu dapat tiga. Terus bisa kita tawar-tawar kalau ambil banyak, kalau di mal mana bisa," tuturnya.
Suci punya trik khusus dalam memilih pakaian Monza. Ia memastikan warna pakaian masih bagus hingga tak ada kondisi sisi pakaian yang robek.
"Pakaian Monza ini beragam, ada yang warnanya masih mentah, beruntung kali lah dapat itu, kayak masih baru. Terus lihat juga ada yang koyak gak di sisi ketiak sama yang lain. Kalau kancing masih bisa kita akali kan. Kalau cari Monza ini memang mesti pelan-pelan, dapat yang bermerk ya untung kali," jelas Suci.
Sementara itu, ciri khas Pasar Monza biasanya pakaian-pakaian bekas tersebut ditumpuk hingga menggunung berdasarkan jenisnya. Contohnya, tumpukan celana panjang, jaket, sweater, rok, hingga aneka selimut.
Para pedagang Monza Simalingkar mengaku rata-rata sudah berjualan secara turun temurun.
"Udah dari nenek jualan monza, pertama jualan di Monza Sambu. Terus pindah ke sini, mamak yang jualan, terus sekarang aku juga bantu," ujar Maria, pedagang Monza Simalingkar.
![]() |
Maria menyebutkan dirinya menyetok 2-3 bal untuk berbagai jenis model pakaian dari kemeja, blazer, maupun blouse dari Tanjung Balai. Adapun harga per bal dijual seharga Rp 5-9 juta.
"Biasanya itu kita pilih yang kepala harganya Rp 9 juta, itu udah banyak kali lah ratusan baju. Nah, kalau yang bagus gini, sedikit ada pakaian yang cacat, warnanya masih mentah-mentah," kata Maria.
Berbagai Kalangan Berburu Produk Impor
Asal kata Monza ternyata memiliki makna dari sebuah tempat yaitu Mongonsidi Plaza yang terletak pada Jalan Mongonsidi. Namun, kini kata Monza dipakai di setiap tempat pakaian bekas.
Diketahui, Mongonsidi Plaza (Monza) saat itu begitu berjaya pada era tahun 80an. Ada begitu banyak produk bekas luar negeri yang membanjiri Kota Medan.
"Monza sangat populer di tahun 1980an karena pada waktu itu bersamaan dengan masuknya produk ataupun pakaian bekas dari luar negeri diambil dari Malaysia masuk ke Medan kemudian juga baju dari Korea. Jadi Mongonsidi itu merupakan tempat pertemuan masyarakat berburu dari berbagai negara yang saat itu benar-benar berasal dari luar negeri," ungkap Sejarawan Sumut Budi Agustono.
Budi menyebutkan bahwa pada tahun 80-an, Monza begitu populer tak hanya masyarakat kalangan bawah namun juga kalangan atas. Monza menjadi tempat mereka berburu produk yang jarang ditemukan dengan harga murah.
"Mongonsidi itu tempat pertemuan ekonomi rakyat yang bisa pertemukan orang kalangan atas maupun bawah untuk sama-sama cari produk impor. Dan ketika ada bal masuk itu mereka menyerbu pakaian bekas yang berasal dari beberapa negara dengan harga terjangkau," ujarnya.
"Dulu sangat berjaya karena belum ada pembatasan dari pemerintah. Barang-barang impor seperti sepatu, baju-baju itu banyak dicari. Dulu orang tidak malu dan gengsi pakai produk ini karena memang susah dicari, jadi banyak yang cari," kata Budi.
Sementara itu, Budi juga bercerita bahwa Monza memiliki ciri khas tersendiri dan tiap kios memiliki keunikan untuk menarik pelanggan.
"Tiap kios punya kekhasan tersendiri untuk tetap datang ke kios itu. Kekhasan itu menambah keunikan dan produk itu semakin bervariasi. Kalau celana panjang tempatnya Dimana, kemudian blazer itu ada tempat tersendiri. Hampir tiap kios punya khas pakaiannya," jelasnya.
Namun, Budi menyebutkan bahwa era kejayaan Mongonsidi Plaza ataupun monza mulai menurun. Terlebih begitu banyak gempuran produk lokal maupun barang-barang dengan harga terjangkau.
"Akhir tahun 80'an itu masih populer, terakhir itu produk karpet dan makin sepi karena harga makin mahal. Masuk tahun 90'an makin lama makin berkurang karena banyak saingan. Itu tidak bisa dipertahankan karena mulai banyak konveksi kemudian banyak produk-produk Korea yang bermunculan dan saat itu sangat populer," ucapnya.
"Setelah Mongonsidi Plaza ini redup, muncullah monza di tempat lain seperti Pasar Melati walaupun sekarang tak seramai dulu," kata Budi.
(nkm/nkm)