Duduk Perkara Jemaat Gereja di Binjai Dibubarkan Paksa saat Beribadah

Round Up

Duduk Perkara Jemaat Gereja di Binjai Dibubarkan Paksa saat Beribadah

Nizar Aldi - detikSumut
Jumat, 02 Jun 2023 07:30 WIB
Doorway to sunlit chapel
Ilustrasi (Getty Images/iStockphoto/patty_c)
Binjai -

Jemaat Gereja Mawar Sharon (GMS) di Binjai, Sumatera Utara dibubarkan paksa oleh masyarakat ketika tengah beribadah. Insiden itu terjadi karena jemaat gereja beribadah di lokasi yang tidak memiliki izin rumah ibadah.

Fakta ini awalnya diungkap Sekretaris Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Henrek Lokra. Ia menyebut peristiwa itu terjadi
pada Jumat 19 Mei 2023 lalu.

"Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengecam keras aksi pembubaran ibadah secara paksa dan provokatif yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat," kata Henrek Lokra melalui keterangannya dilansir detikNews, Kamis (31/5/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Terhadap jemaat Gereja Mawar Sharon (GMS) Binjai pada Jumat, 19 Mei 2023 di Kelurahan Satia, Kecamatan Binjai Kota, Kota Binjai, Sumatera Utara," ucapnya.

Pdt Janes Q Padang yang merupakan perwakilan Kristen di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Binjai, menjelaskan duduk perkara peristiwa pembubaran paksa itu. Dia menyebut, awalnya sekitar 40-an warga yang mengatasnamakan warga lingkungan 1 datang berunjuk rasa saat jemaat GMS sedang beribadah.

ADVERTISEMENT

"Warga sekitar yang mengatasnamakan mereka warga Kelurahan Setia Lingkungan 1, ketika mereka datang aksi damai atau unjuk rasa ke tempat," kata Pdt Janes Q Padang kepada detikSumut, Kamis (1/6/2023).

Saat warga unjuk rasa, Janes dipanggil oleh pihak Kesbangpol Binjai untuk datang ke lokasi. Saat itu, warga mempersoalkan tentang keputusan bersama menteri mengenai rumah ibadah.

"Kebetulan kita dipanggil oleh Kesbangpol Binjai, ada pihak kepolisian, ada lurah, jadi ketika kita di sana utamanya tuntunan mereka kenapa tidak sesuai dengan keputusan bersama menteri 90 pengguna 60 tanda tangan lingkungan," ucapnya.

Setelah mendengar tuntutan warga, Janes merasa ada kesalahpahaman mengenai keputusan bersama menteri tersebut. Mengingat lokasi yang digunakan oleh jemaat GMS bukan lah rumah ibadah, namun tempat ibadah sementara.

Mengetahui hal itu, Janes kemudian menelpon perwakilan umat Islam di FKUB untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat. Mengingat masyarakat yang berunjuk rasa itu merupakan pemeluk agama Islam.

"Jadi waktu itu kita coba memberikan penjelasan, saya kemarin itu telepon ustadz yang merupakan mewakili dari teman kita muslim di FKUB supaya teman ini menjelaskan, karena kan massa yang hadir kebetulan teman kita yang muslim, jadi teman itu menjelaskan apa bedanya rumah ibadah dan rumah ibadah sementara atau istilah kita di lapangan tempat ibadah sementara," bebernya.

Gereja yang Dibubarkan Paksa Kantongi Rekomendasi FKUB. Baca Halaman Selanjutnya...

Namun setelah dijelaskan, warga tetap tidak mau mengindahkan penjelasan tersebut. Mereka kemudian melarang adanya aktivitas ibadah di lokasi itu dan mempersoalkan kenapa keluar rekomendasi dari FKUB jika di lokasi itu diperbolehkan ibadah.

"Tapi teman kita yang unjuk rasa ini tidak mau mendengar, hanya berkata tidak boleh ibadah di sini, kemudian kenapa bisa keluar rekomendasi Kemenag di Februari, kenapa bisa keluar rekomendasi (GMS bisa ibadah di situ) FKUB yang kita keluarkan di April," ungkapnya.

Janes menyebutkan jika FKUB maupun Kemenag memiliki kewenangan dalam memberikan rekomendasi untuk pelaksanaan ibadah. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh FKUB tersebut keluar setelah mereka meninjau langsung lokasi tersebut.

"Kalau dalam di peraturan bersama menteri itu kan laporan tertulis, jadi istilahnya kita sudah meninjau bahwa itu ada peredam di lantai dua itu, di bawah itu mereka buka usaha kopi makanya namanya Kopi Teman, lalu di lantai dua lah mereka buat tempat ibadah itu, jadi kita survei jadi tidak mengganggu lah kalau menurut kami FKUB kalau berbicara suara, jadi itulah permasalahannya," sebutnya.

Rekomendasi itu juga dikeluarkan karena setiap warga negara dilindungi untuk melaksanakan ibadah berdasarkan agama masing-masing. Setelah rekomendasi keluar, pemerintah daerah akan mengeluarkan izin sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan.

"Ketika rapat, pihak FKUB selalu berkata bahwa negara melindungi setiap warga masyarakat pemeluk agama sesuai agama dan kepercayaan masing-masing, itu hak asasi nya mereka dan itu hak konstitusi yang dilindungi undang-undang, baik FKUB maupun Kemenag itu kan semacam rekomendasi, izin kan bukan kami yang buat, itu kan pemerintah atas rekomendasi-rekomendasi ini," ujarnya.

Setelah masalah ini mencuat, FKUB dan bersama beberapa pihak terus melakukan rapat untuk membahas hal itu. Terakhir, rapat dilakukan kemarin bersama Wali Kota Binjai dan keputusan akan dikeluarkan dalam waktu dekat.

"Pada waktu kita rapat baik di kantor dewan, camat, Kesbangpol, di Balai Kota, dan Aula Wali Kota, kita berkata supaya pemerintah bisa mengambil jalan keluar dan kita memberikan masukan jika ini perlu duduk bersama. Wali Kota, Wakil Wali Kota dan Sekda yang hadir di situ mengatakan dengan rekomendasi dan masukan-masukan tokoh agama ini kami akan membuat keputusan tentang hal ini dalam waktu dekat," ucapnya.

Janes mengatakan jika jemaat GMS baru belakangan ini beribadah di lokasi itu. Sebab, ruko yang merupakan milik salah satu jemaat GMS itu baru selesai dibangun.

"Kalau berapa lamanya, mungkin baru-baru ini karena ruko ini baru juga, ruko itu kan pemiliknya jemaat mereka," katanya.

Jemaat GMS juga tetap melaksanakan ibadah di lokasi yang didemo oleh warga sekitar. Selama ibadah, kepolisian menjaga lokasi tersebut.

"Tetap di situ (beribadah pasca kejadian), sejauh ini kita dengar pihak kepolisian mengamankan biar tidak ada keributan," tutupnya.

Pemkot Binjai Akan Cari Solusi. Baca Halaman Berikutnya...

Sementara itu, Kepala Dinas Kominfo Kota Binjai, Sofyan Siregar mengatakan pihaknya akan melakukan musyawarah untuk menyelesaikan persoalan pembubaran ibadah tersebut. Hanya saja, ia menilai jika lokasi tempat ibadah itu kurang pas karena berada di lingkungan yang mayoritas umat Islam.

"Poinnya kita akan melakukan musyawarah mufakat, intinya Pemerintah Kota Binjai tidak ada membatasi tempat peribadatan, tapi mungkin tempatnya itu kurang pas karena lingkungannya banyak Islam," kata Sofyan Siregar.

Selain lokasi yang kurang pas, ternyata lokasi tersebut tidak memiliki izin sebagai rumah ibadah. Sehingga pihaknya akan mencari solusi atas hal itu.

"Kemudian izinnya pun bukan izin rumah ibadah, dan itu yang akan kita carikan solusinya dalam waktu dekat," ucapnya.

Sebab, sepengetahuan Sofyan, izin lokasi tersebut merupakan izin usaha. Bukan izin rumah ibadah seperti gereja, vihara maupun masjid.

"Karena sepengetahuan saya, izinnya itu izin usaha, dia rumah ibadah bukan tempat ibadah," ujarnya.

Sofyan selanjutnya menjelaskan bedanya rumah ibadah dan tempat ibadah. "Beda dia rumah ibadah dengan tempat ibadah, rumah ibadah itu gereja, vihara, masjid, kalau rumah ibadah, kalau tempat ibadah itu kalau saya Islam di rumah saya juga bisa ibadah, itu namanya tempat ibadah," imbuhnya.

Lokasi yang dijadikan tempat ibadah oleh jemaat tersebut merupakan warung kopi dengan dua lantai. Di mana di lantai satu warung kopi, sedangkan lantai dua dijadikan tempat ibadah.

"Jualan kopi, lantai dua, jadi itu sewa, iya (ruko) seperti tempat jualan kopi lah di atasnya dijadikan tempat ibadah," ucapnya.

Lebih lanjut, Sofyan mengungkapkan jika hari ini ada pertemuan di aula Pemkot Binjai. Salah satu yang dibahas adalah polemik pembubaran ibadah itu.

"Hari ini ada rapat antara Muspida dan forum lintas agama di aula Pemerintah Kota Binjai, salah satunya membahas tindaklanjut mengenai tempat ibadah ini," ungkapnya.

Sofyan pun memastikan bahwa tempat itu tidak memiliki atau mengantongi izin menjadi rumah ibadah.

"Kemudian izinnya pun bukan izin rumah ibadah (tak ada izin), dan itu yang akan kita carikan solusinya dalam waktu dekat," tutupnya.

Halaman 2 dari 3


Simak Video "Video: KPK Tetapkan 5 Tersangka Terkait OTT di Sumut"
[Gambas:Video 20detik]
(astj/astj)


Hide Ads