Menengok Kampung Tempe di Palembang yang Hasilkan Limbah Tak Berbau

Sumatera Selatan

Menengok Kampung Tempe di Palembang yang Hasilkan Limbah Tak Berbau

Dian Fadilla, Zindi Marcella - detikSumbagsel
Selasa, 04 Jun 2024 07:00 WIB
Pengolahan tempe di Kampung Tempe Palembang.
Pengolahan tempe di Kampung Tempe Palembang. Foto: Dian Fadilla/detikcom
Palembang -

Kampung penghasil tempe umumnya memiliki bau khas yang tidak sedap, berasal dari limbah pengolahan tempe. Namun kesan itu tak nampak di Kampung Tempe di salah satu lorong Plaju Ulu, Kecamatan Plaju, Palembang.

Mayoritas penduduk Kampung Tempe mengolah tempe sebagai mata pencaharian utama mereka. Kampung ini dikenal unik karena limbah hasil produksinya tak mengeluarkan bau tak sedap.

Tim detikSumbagsel menyempatkan diri berkunjung ke Kampung Tempe Palembang pada Rabu (22/5). Kepulan asap dari dapur perapian menyambut. Penghuni Kampung Tempe tengah merebus kedelai dan membungkus tempe untuk dijual keesokan harinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Topik, ketua paguyuban di Kampung Tempe, mengatakan kampung ini sudah ada sejak tahun 1952. Tempe ini dikenalkan oleh pendatang dari Pekalongan, Jawa Tengah.

"Orang Jawa itu datang ke sini dan singgah ke rumah Pak Harun dan memproduksi tempe. Setelah itu mulai banyaklah masyarakat sekitar sini yang belajar bagaimana cara membuatnya dan berkembang. Ada juga yang pindah ke Bukit dan Veteran untuk memproduksi secara mandiri," kata Topik ditemui detikSumbagsel, Rabu (22/5/2024).

ADVERTISEMENT
Perajin tempe mengolah kedelai di Kampung Tempe.Perajin tempe mengolah kedelai di Kampung Tempe. Foto: Dian Fadilla/detikcom

Sebenarnya dulu kondisi kampung tempe ini sama seperti kampung tempe pada umumnya. Limbahnya berbau. Namun, setelah banyak dikenal masyarakat Palembang, Kampung Tempe mendapat tawaran kerja sama dari Pertamina pada awal 2020. Mereka mendapat bantuan untuk mengatasi permasalahan limbah.

Setiap rumah produksi tempe mendapatkan tabung IPAL dari Pertamina, ditanam di sekitar rumah. Perajin tempe juga mendapat boks tempe dan dandang besar untuk merebus kedelai.

Untuk mempertahankan kebersihan lingkungan, ikatan dari paguyuban ini warga Kampung Tempe juga sering melakukan bonding dengan gotong royong. Tak jarang agenda yang diwadahi Pertamina ini juga dimeriahkan dengan doorprize.

"Semenjak bekerja sama dengan Pertamina, kami ada beberapa kali melakukan gotong royong membersihkan parit dan sebagainya. Saat melakukan hal tersebut pihak Pertamina menyiapkan hadiah. Nantinya diundi dan akan diberikan kepada yang beruntung. Semenjak ada kerjasama ini kami menjadi lebih sering untuk berinteraksi," jelasnya.

Papan IPAL Kampung Tempe Palembang.Papan IPAL Kampung Tempe Palembang. Foto: Dian Fadilla/detikcom

Salah satu perajin di sana bernama Susilo (51). Rumahnya berada dalam satu kompleks dengan beberapa rumah perajin tempe lainnya. Terlihat papan di depan kompleks tersebut, berisi nama-nama anggota kelompok perajin tempe.

Susilo menjalankan usaha pembuatan tempenya di samping rumah. Sementara di bagian depan, terdapat rak-rak kayu yang dipasang berbaris untuk meletakkan tempe yang telah difermentasi dan menunggu untuk siap dijual. Saat masuk ke dalam bangunan tersebut, ada lebih banyak rak-rak kayu tempe.

Dia dibantu dua anggota keluarganya untuk menjalankan usaha tempe ini. Mereka bertugas memasukkan kacang kedelai ke dalam plastik dan menyegelnya dengan api dari lilin. Plastik berisi kacang kedelai ini akan difermentasi selama beberapa hari sebelum menjadi tempe dan dijual.

Susilo menjadi perajin tempe sejak 1990-an. Ia belajar membuat tempe selama tiga tahun semasa sekolah kepada perajin tempe yang memang sudah berdiri sejak tahun 1950-an di kampung tersebut.

"Saya belajar bikin tempe sejak SMA. Tiga tahun belajar kemudian setelah lulus sekolah mulai merintis usaha bikin tempe. Belajar bikin tempe sama orang sini yang memang sudah lama jadi pembuat tempe, atas kemauan sendiri saya minta diajarkan," ujarnya.

Dalam sehari, Susilo mampu membuat tempe hingga 50-70 kilogram. Apabila mendekati musim libur, jumlah produksinya bisa meningkat. Lebih dari 70 kg sehari.

Susilo membagi tempe yang dijualnya dengan berbagai ukuran dan berat, antara 3-6 ons sesuai kebutuhan pelanggan. Ia menjual tempe yang dibuatnya ke Pasar Plaju dan Pasar Mariana. Dia juga mempunyai langganan dari usaha katering, warung, dan pondok pesantren. Dari hasil penjualan tempenya itu, ia dapat meraih omzet kurang lebih Rp 1 juta per hari.

Selain itu, Susilo juga menjual bahan baku pembuatan tempe yaitu kacang kedelai. Kacang kedelai tersebut dijual dengan harga Rp 11.000 per kilogram.

Susilo juga menjadi salah satu penerima bantuan dari kerjasama Kampung Tempe dan Pertamina, bantuan yang diberikan ialah IPAL, kotak pengaduk, dan juga dandang besar untuk merebus kacang kedelai. Ia mengaku sangat terbantu dengan kerjasama tersebut.

"Terbantu sekali, walaupun cuma istilahnya diberikan satu kali seumur hidup, tapi kotak adukan dan dandang untuk merebus kacang itu kan mahal," ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh Zindi Marcella dan Dian Fadillah, peserta program magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(des/des)


Hide Ads