Suara sisir dan papan kayu saling bersahutan di Kampung Songket, Palembang pagi itu. Suasana riuh tersebut bersumber dari salah satu rumah panggung milik Kemas Muhammad Ali atau dikenal dengan sebutan Ali yang berlokasi di Jalan Ki Gede Ing Suro, No. 13 RT. 07, Palembang.
Kampung ini memang terkenal dengan sentra kerajinan songket yang diproduksi oleh masyarakat setempat. Keindahan kain tradisional khas Palembang tersebut tidak terlepas dari kemahiran para perajinnya. Susunan serat-serat benang yang disatukan menjadi karya sandang yang megah.
Sejak tahun 1975, Ali salah satu perajin songket telah menenun benang-benang emas dan sutera menjadi karya seni yang mempesona. Kisah perjuangannya dimulai dari keinginan sederhana untuk menjadi seorang wiraswasta. Ia bertekad kuat untuk memulai perjalanan yang panjang dan penuh liku.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awalnya selesai saya SMEA (sekarang SMK 3) jurusan Tata Niaga (sekarang manajemen perusahaan), setelah tamat sekolah saya memang bercita-cita untuk menjadi wiraswasta," kata Ali, perajin songket khas Palembang saat ditemui detikSumbagsel, Sabtu (11/5/2024).
Setelah menyelesaikan pendidikan, Ali memutuskan untuk menetap di kampung halaman dan memperhatikan para orang tua yang menenun. Dari situlah rasa penasaran dan minatnya terhadap songket mulai tumbuh. Dia belajar menenun secara otodidak, memanfaatkan setiap kesempatan untuk mencoba sendiri ketika melihat penenun beristirahat.
"Saya lihat di kampung ini banyak orang tua itu (kerja) menenun, saya perhatikan terus. Ketika dia istirahat saya coba sendiri, saya memiliki guru untuk mengetahui dasar-dasar tenun, setelah mengetahui dasarnya saya mulai menenun sendiri untuk mengerjakan motifnya. Untuk motifnya saya hanya melihat-lihat terus dipraktikkan," kenangnya.
Tahun 1975 menjadi titik awal perjalanan kreatifnya, dengan upah menenun saat itu hanya 7.000 rupiah per kain. Dengan ketekunan dan kerja keras, sedikit demi sedikit ia mengumpulkan uang dari hasil menenun untuk membeli bahan baku sendiri. Usahanya yang gigih membuahkan hasil, hingga Ali mampu menjual kain songket dengan keuntungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
"Setelah menyongket dapat upahan sedikit-sedikit saya kumpulkan untuk membeli bahan, terus saya jual dan ternyata untung," katanya.
Dalam dua hingga tiga tahun pertama, ia mulai mempekerjakan saudara-saudaranya. Kini, setelah hampir lima dekade, ia menjadi salah satu perajin songket terkemuka di Palembang.
Songket Palembang yang dikerjakannya bukan sekadar kain biasa, tetapi merupakan warisan budaya yang kaya dengan seni dan kearifan lokal. Berbeda dengan songket kualitas rendah yang hanya membutuhkan waktu satu minggu untuk menyelesaikan satu lembar kain, songket Palembang asli membutuhkan waktu 15 hari hingga satu bulan per lembar kainnya. Perbedaan ini terletak pada kualitas bahan dan teknik pembuatan yang rumit.
"Banyak pelanggan sering mengatakan kenapa songket Palembang jelek, tapi setelah dibandingkan produk kami dan produk yang di luar baru terlihat," jelasnya.
Tantangan terbesar yang pernah dihadapinya ketika masa krisis moneter dan pandemi Covid-19. Namun, Dia berhasil bertahan dengan menyesuaikan harga dan tetap mendapatkan keuntungan yang cukup untuk membayar perajin.
"Waktu zaman Covid, karena semua pelanggan angkat tangan, jadi waktu itu jual songket bisa makan dan bayar perajin sudah lumayan," ungkapnya.
Relasi dengan pelanggan hingga penghargaan sebagai produk unggulan daerah dari Dinas Perindustrian membantunya mempromosikan songket Palembang ke mancanegara.
"Saya tidak memasarkan sendiri, tetapi melalui butik. Jadi pemilik butik yang memasarkan ke luar negeri, ada ke Dubai, Prancis, Amerika, Brunei, Malaysia, Thailand. Mereka yang memasarkan dan saya yang bermain di belakang layar untungnya tidak banyak, kita capeknya bukan main tapi Alhamdulillah," tambahnya.
Pembuatan kain songket melibatkan banyak tangan terampil dalam proses produksinya. Setiap tahap pembuatan kain dilakukan oleh perajin yang berbeda, mulai dari pembuatan benang putih hingga menenun motif.
Ali juga bekerja sama dengan pabrik di Jawa untuk mendapatkan bahan baku berkualitas tinggi seperti sutera kepompong dan benang emas, untuk memastikan setiap helai kain memenuhi standar yang tinggi.
"Dari benang putih kita bikin gungsen itu satu perajin, sudah bikin lungseng selesai, dilanjutkan dengan nyucuk surih itu berbeda lagi perajin, nyucuk surih itu ketika benang lungseng dimasukkan ke dalam surih untuk di papan itu satu perajin, yang buat nyucuk surih dan gulung dipapan (ngelap) itu satu perajin lagi, setelah selesai kita bikin motif dan lain perajin lagi. Setelah bikin motif kita butuh pakan yang saya datangkan dari Jawa. Setelah itu baru menenun sebagai proses akhir," ungkapnya.
Dalam produksinya, kata Ali, ia menggunakan sutera, sutera kepompong, benang emas dan itu bekerja sama dengan pabrik di Jawa.
"Soalnya yang membutuhkan benang sutera kepompong itu tidak ada di Palembang, yang menjatuhkan songket Palembang itu karena menggunakan bahan baku katun, serat plastik dia tidak lagi menilai seni dan kearifan lokal hanya menguntungkan bisnis," jelasnya.
![]() |
Dengan 19 pegawai yang tersebar di berbagai wilayah, Ali memastikan bahwa setiap perajin memiliki bahan dan alat yang dibutuhkan untuk bekerja. Tidak hanya itu, Ali juga memberikan arahan dan bimbingan untuk meningkatkan keterampilan mereka, sehingga kualitas songket tetap terjaga.
"Pegawai ada 19, di sini ada 6, disekitar ada 4, di daerah Sungai Dua ada 6, di Jalur 13 ada 1, KM 12 ada 1, Gandus 1, seluruh bahan dan alat sudah saya siapkan mereka tinggal mengerjakan di situlah kerja keras saya," katanya.
Meskipun usianya tidak lagi muda, semangatnya untuk melestarikan songket Palembang tetap menyala. Ali bangga dengan motif-motif lama yang dijaga keasliannya dan terus diwariskan kepada generasi berikutnya. Hingga kini, pesanan songket tidak pernah berhenti datang, menunjukkan bahwa warisan budaya ini masih memiliki tempat istimewa di hati banyak orang.
"Pesanan tidak pernah habis, ada terus. Tapi mereka harus sabar," tuturnya.
Perjuangan akan ketekunan, kerja keras, dan cinta terhadap budaya, warisan nenek moyang dapat terus hidup dan berkembang. Perjalanan panjang Ali bukan hanya tentang melestarikan motif kain songket, tetapi juga tentang menjaga identitas dan kebanggaan akan warisan budaya Palembang.
"Yang membuat motif ada skill-nya sendiri, kami kan menggunakan motif lama (motif lawas). Pelestari sesuai dengan asli yang sudah ratusan tahun, mungkin hanya aku sendiri yang melestarikan motif seperti ini," tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh Amir Yusuf, peserta program Magang Merdeka Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(dai/dai)