Selain dikenal dengan budaya dan tradisi-nya yang sungguh beragam, Surabaya dikenal memiliki sejumlah kampung tematik yang menarik untuk dikunjungi. Sejauh ini sudah terdapat lebih dari 40 kampung tematik yang dikembangkan oleh Pemkot Surabaya.
Masing-masing kampung memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri. Pengelompokan kampung-kampung tematik tersebut berdasarkan tema tertentu seperti budaya, seni, sejarah, hingga kegiatan ekonomi atau sosial tertentu.
Salah satu kampung tematik yang cukup populer di kalangan masyarakat Kota Pahlawan adalah Kampung Tempe.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kampung Tempe berlokasi di Jalan Tenggilis Kauman Gg. Buntu 27 No.10, Surabaya. Sesuai dengan namanya, kampung ini menjadi sentra tempat para perajin tempe berkumpul. Tidak sulit menemukan kampung Tempe, karena Detikers akan menemukan sebuah reklame bertuliskan 'Kampung Tempe' yang mudah dikenali.
Salah satu perajin tempe, Poniman mengaku telah memproduksi tempe sejak tahun 1998. Namun, jumlah perajin tempe yang masih bertahan saat ini hanya sekitar 6 sampai 7 orang saja.
Selain tempe, di kampung ini Detikers dapat menemukan berbagai macam produk olahan berbahan dasar kedelai lainnya seperti keripik tempe, sari kedelai, nugget tempe, brownis, serta aneka cemilan ringan.
"itu dulu yang ngajarin makanan-makanan gitu dari chef hotel mana gitu, kita dikasih pelatihan-pelatihan buat bikin banyak makanan dari olahan tempe," ujar Pak Poniman kepada detikJatim, Senin (28/4/2025).
Keberadaan Kampung Tempe mencerminkan kreativitas warga dalam menggali potensi lokal, yang tidak hanya berhasil meningkatkan perekonomian daerah, tetapi juga sebagai daya tarik yang mencuri perhatian masyarakat.
Meski demikian, geliat ketekunan warga Kampung Tempe juga diiringi dengan tantangan yang tidak mudah. Poniman mengungkapkan kegelisahannya dalam mencari generasi penerus yang bersedia melanjutkan usaha tempe.
Hal ini dikarenakan produksi tempe bukanlah proses yang pasti dan stabil. Terlebih lagi mengingat kondisi cuaca Surabaya yang akhir-akhir ini sulit diprediksi, tentu sangat mempengaruhi keberhasilan proses fermentasi tempe.
Kekhawatiran Poniman ini cukup menjelaskan mengapa perajin tempe di kampungnya mengalami penurunan secara berkala.
"Kan prosesnya tempe itu 4 hari ya, selama 4 hari ini yang 1 hari hawanya agak mendung gini, ngasih raginya yang susah main perkiraan, kebanyakan anak-anak nggak mau, karena nggak pasti," terangnya.
Walau dihadapi dengan berbagai tantangan dan ketidakpastian, semangat Poniman dan warga Kampung Tempe lainnya menjadi cerminan keuletan yang patut diapresiasi. Meski jumlah perajin tidak sebanyak dahulu, mereka tetap berupaya menjaga warisan kuliner yang telah menghidupi banyak keluarga selama puluhan tahun.
Diharapkan pemerintah kota memberikan perhatian lebih pada para pelaku usaha di Kampung Tempe agar semakin berdaya dan warisan kearifan lokal dapat terus terjaga.
(irb/iwd)