Tradisi perang ketupat menjadi budaya yang masih dipertahankan masyarakat di pesisir barat Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung (Babel). Tradisi ini sudah turun-temurun dan dikenal sejak tahun 1800-an.
Sampai saat ini, tradisi itu bisa disaksikan setahun sekali di Pantai Pasir Kuning Desa Tempilang, tepatnya di Kabupaten Bangka Barat (Babar). Tradisi perang ketupat itu dilaksanakan pada hari ketujuh setelah Nisfu Syaban, atau sebelum datangnya bulan suci Ramadan. Biasanya penduduk setempat menyebutnya dengan bulan ruwah.
Tradisi perang ketupat ini merupakan bentuk wujud dari nilai dan norma yang telah dijaga dan dilestarikan leluhur mereka. Di era sekarang, mereka memaknai tradisi ini sebagai ajang silahturahmi antara pemimpin dan masyarakat. Tahukah detikers, di tahun ini tradisi tersebut jatuh pada Minggu (3/3/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas bagaimana tradisi di Babel itu? Berikut detikSumbagsel rangkum mengenai asal usul, mitos, rangkaian ritual dan penjelasan budayawan tentang tradisi perang ketupat.
Asal-usul Perang Ketupat
Ketua Adat Desa Tempilang, Datuk Keman mengungkapkan asal-usul tradisi dan adat ruwah perang ketupat di Desa Tempilang berawal dari penyerahan kelompok lanun dan tentara Belanda ke warga setempat.
Lanun adalah bajak laut. Kedatangan mereka tak lain adalah untuk menjarah hasil bumi Bangka Belitung, yakni bijih timah. Para penjajah baik pihak Belanda maupun lanun ini mengincar bijih timah yang disimpan di benteng Kota Tempilang, benteng ini kini jadi situs sejarah.
"Jadi pada tahun 1800-an di situs kita ada penyerangan dari lanun (bajak laut). Di sana ada kampung, semua warga lari ke hutan belantara. Karena ada kerusuhan (pembantaian) dan banyak (warga) yang meninggal," kata Datuk Keman kepada detikSumbagsel, Kamis (29/2/2024).
Saat itu, pembantaian warga itu pun terdengar oleh Ketua Adat asal Belinyu, panggilannya Mak Mia (sebutan laki-laki saat itu). Konon, Mak Mia ini memiliki kemampuan seperti Si Pahit Lidah.
"Melihat banyak jenazah bertebaran, beliau ini (Mak Mia) memberikan sumpah serapah terhadap jenazah-jenazah agar menjadi batu, hal ini terwujud. Alasannya, karena jumlah banyak dan tak bisa dimakamkan," ceritanya.
Sedangkan kapal-kapal lanun dan Belanda telah meninggalkan Desa Tempilang, kabur usai menjarah dan membantai warga sekitar.
"Kapal mereka ini telah kabur, hanya terlihat kecil di tengah laut. Beliau kembali mengeluarkan sumpah serapah agar kapal mereka karam, tak lama kapal ini karam. Kemudian kapal yang tersisa disumpah menjadi batu, batu itu membentuk pulau namanya Pulau Semumbung," kata Dia.
Setelah kelompok lanun itu pergi berjarak satu tahun warga yang tadinya kabur ke hutan kembali desa. Mereka bertahan hidup dengan cara bertani, salah satunya menanam padi.
"Setahun kemudian mereka kembali ke kampung. Mereka yang tersisa menggelar tahlilan, doa arwah, doa selamat dan tolak bala baru menikmati hidangan makanan," tegasnya.
Tak sekedar itu, mereka juga menggelar dialog. Dialog ini antara tetua atau tokoh bernama Akek Areng dengan anak-anak yatim piatu yang orang tuanya tewas dibantai bajak laut.
"Jadi kakek Areng ini tanya, seandainya lanun itu muncul sekarang, gimana kalian?. Anak-anak ini kemudian menjawab akan menbunuh lanun," ujarnya.
Selanjutnya, salah satu anak yang sedang makan ini melemparkan ketupat ke wajah Akek Areng. Karena wajahnya berlumuran dengan ketupat, sontak hal itu menimbulkan tawa, suasana yang awalnya sedih pun menjadi ceria.
"Dari lemparan itu, mengundang tawa orang-orang yang hadir. Nah inilah awal mula perang ketupat ini terjadi," kata Keman.
Mitos Tradisi Perang Ketupat
Setelah melakukan tradisi perang ketupat, ada beberapa mitos atau hal yang masih diyakini masyarakat setempat sampai saat ini. Mitos ini adalah ada beberapa larangan atau pantangan bagi masyarakat selama 3 hari. Di antaranya:
- Warga tak boleh pergi melaut dan hutan
- Warga tak boleh menjemur pakaian di pagar depan rumah
Rangkaian Ritual Perang Ketupat
Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung, Akhmad Elvian mengatakan tradisi perang ketupat semula bernama upacara Taber Kampung. Upacara ini dulunya dilaksanakan di kampung-kampung di Pulau Bangka. Upacara Menaber adalah menolak, memurnikan dan mengobati kampung agar penghuni terhindar dari penyakit, musibah dan bala.
"Taber kampung di Bangka dulu dilakukan sekali dalam setahun. Masyarakat Tempilang hingga saat ini masih melaksanakan kegiatan tersebut, kemudian dikenal dengan sebutan perang ketupat," kata Akhmad Elvian, kepada detikSumbagsel, Kamis (29/2/2024).
Rangkaian acara dimulai dengan Ngancak. Ngancak adalah memberikan makanan kepada makhluk halus atau roh yang bermukim di laut. Lalu Penimbongan, adalah memberikan makanan kepada makhluk halus yang dipercayai bertempat tinggal di darat.
Perang ketupat ini dilakukan oleh dua regu, yakni, regu darat dan laut. Ketupat yang digunakan adalah ketupat asli. Di acara inti, setelah semua ritual selesai, kemudian dukun laut dan darat menyusun ketupat di atas tikar dengan sepuluh ketupat menghadap darat dan laut.
Ada dua kelompok, satu kelompok berisikan 10 orang, pesertanya umum dan siapa saja bisa mengikutinya. Mereka juga saling berhadapan ke arah darat dan laut. Setelah semua peserta siap, mereka akan saling melempar ketupat sebagai simbol mengusir makhluk halus yang berperangai jahat.
Aksi perang ini diberikan waktu, 5 hingga 10 menit. Usai saling lempar ketupat mereka kemudian bersalaman agar tidak ada rasa dendam. Selanjutnya kegiatan taber batas kampung, adalah taber atau menyebar cairan yang telah diberi mantra keliling ke sejumlah rumah warga. Tujuannya untuk membuang penyakit dan tolak bala.
Tradisi Perang Ketupat Jadi WBTB
Dikutip dari website warisanbudaya.kemdikbud.go.id, perang ketupat ini bermula dari adanya seekor buaya yang sering memangsa ternak masyarakat suku Lum. Suku ini berada di daerah Bangka dan belum mengenal agama (sampai sekarang komunitas ini masih ada).
Saat itu terdapat Dukun kampung dari kalangan suku Lum, disebutkan dapat membunuh buaya tersebut dengan cara meracuninya. Caranya, dengan mengambil gadong yakni ubi beracun dimasak dalam ketupat dan dilemparkan kepada buaya jahat tersebut, ketika ubi itu dimakan oleh buaya, tidak lama kemudian buaya itu mati.
Atas adanya peristiwa ini, selanjutnya, setiap tahun dilaksanakanlah melempar ketupat di tepi pantai untuk menghalau bahaya yang disebut dengan tradisi tolak bala. Selanjutnya berkembang atau berubah saling melempar ketupat antar warga yang bertujuan untuk membersihkan diri dan kampung setempat.
Perang Ketupat ini juga telah ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 2014 sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Itulah penjelasan mengenai tradisi perang ketupat yang masih dilaksanakan oleh masyarakat di pesisir barat Pulau Bangka. Semoga bermanfaat ya.
(dai/dai)