Bupati Maluku Tenggara (Malra) M. Thaher Hanubun dilaporkan atas dugaan pelecehan seksual terhadap wanita yang merupakan karyawan kafe miliknya berinisial TA (21). Penyelidikan kasus ini terhambat lantaran korban tiba-tiba hilang kabar.
Kabid Humas Polda Maluku Kombes M Roem Ohoirat dugaan pelecehan itu dilaporkan korban ke SPKT Polda Maluku pada Jumat (1/9). Laporan tersebut teregister dengan nomor TBL/230/IX/2023/MALUKU/SPKT.
"Laporan sudah diterima Jumat (1/9) kemarin. Akan ditindaklanjuti dengan penyelidikan. (Karena) laporan masuk diselidiki dulu, maka benar tidaknya (informasi pelecehan seksual) tunggu hasil penyelidikan," ujar Roem kepada detikcom, Senin (4/9).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dirangkum detikSulsel, Sabtu (16/9/2023), berikut 6 hal tentang kasus Bupati Maluku Tenggara diduga melecehkan karyawannya.
1. Dugaan Pelecehan Terjadi Sejak April 2023
Aktivis perempuan dari Yayasan Peduli Inayana Maluku Othe Patty mengungkapkan, dugaan pelecehan itu terjadi di kafe milik Thaher di wilayah Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon pada April 2023 sekitar pukul 15.00 WIT. Saat itu korban ST dipanggil dan diminta untuk memijat terduga pelaku di kamar hingga terjadi pelecehan.
Selanjutnya, di akhir Agustus Thaher disebut kembali meminta korban melakukan hal serupa. Namun saat itu korban menolak hingga berujung pemecatan. Korban kemudian baru memberanikan diri melaporkan peristiwa itu di Ditreskrimum Polda Maluku pada Jumat (1/9).
"Ya, menurut korban (kejadian sejak April 2023) seperti begitu. Dia baru berani melaporkan, jadi dia kumpul kekuatan untuk membicarakan masalah yang menimpa dirinya itu seng (tidak) gampang," ujar Othe, Senin (4/9).
2. Korban Dalam Keadaan Baik
Othe menyebut sejauh ini kondisi korban sangat baik. Dia pun mengajak semua pihak untuk bersama mengawal kasus ini karena saat ini STPL sudah dikeluarkan oleh pihak kepolisian.
"Dia (korban) dalam keadaan baik-baik dan beta (saya) waktu mendampingi dia untuk memberikan keterangan awal berkaitan dengan laporan polisi itu, dia dalam keadaan baik-baik," ujarnya.
"Jadi mari katong tenangkan suasana, katong (kita) kawal sama-sama. Ketika STPL sudah keluar, itu berarti kewenangan kepolisian sangat besar di situ, katong seharusnya mendorong polisi supaya dong (mereka) bisa dengan tenang dan leluasa melakukan pekerjaan yang profesional," sambung Othe.
3. Kasus Dugaan Pelecehan Tuai Ragam Komentar
Meskipun tidak ada tekanan dari pihak luar, Othe mengaku ada beragam komentar dari media sosial yang membuat pihak keluarga korban sempat berkeinginan mencabut laporan. Othe pun menekankan agar tak ada yang mengganggu psikologis korban dan keluarganya.
"Itu yang sebenarnya beta seng (saya tidak) mau. Jangan ganggu psikologi korban dan keluarga supaya keluarga bisa memberikan kenyamanan ke korban dan dia merasa tenang," harap Othe.
Menurut Othe, korban selama ini enggan melaporkan karena dalam kondisi kebingungan. Sebab, tidak ada orang yang hadir mendampingi dan memberikan support.
"Karena selama ini dia seng (korban tidak) lapor itu dia gundah-gulana, karena seng ada orang mendampingi dia kasih kekuatan mental supaya dia lapor, untung dia dapat beta pung (saya punya) nomor telepon par (untuk) bisa komunikasikan baru dia berani lapor," tuturnya.
4. Korban Cabut Laporan
Korban belakangan mencabut laporan polisi terhadap Thaher Hanubun. Meski laporan dicabut, polisi memastikan akan tetap mengusut dugaan pelecehan itu.
"Benar seperti berita (informasi korban mencabut laporan itu), tapi (proses pengusutan) tetap berlanjut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual)," ujar Kabid Humas Polda Maluku Kombes M Roem Ohoirat kepada detikcom, Senin (11/9).
Roem menyebut dalam Undang-Undang TPKS diatur bahwa kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar peradilan, sehingga kasus tersebut tetap akan dilanjutkan. Kecuali jika pelakunya masih di bawah umur.
"Sehingga kalaupun ada pencabutan laporan kasus ini akan terus berlanjut, kecuali pelakunya di bawah umur. Jadi penyidik akan tetap proses masalah ini, untuk itu kita tunggu hasil penyelidikan," ujarnya.
5. Korban Hilang Kabar
Korban TA kemudian hilang kabar setelah laporan dugaan pelecehan dicabut. Polisi pun mengeluhkan korban hingga para saksi tidak koperatif sehingga proses hukum atas perkara itu terhambat.
"Penyidik memiliki sejumlah kendala di antaranya belum diperiksanya para saksi, termasuk pemeriksaan tambahan kepada pelapor. Mereka tidak memenuhi undangan wawancara yang kerap dilayangkan penyidik," ungkap Kombes Roem, Kamis (14/9).
Roem menambahkan korban juga belum menjalani pemeriksaan psikiatrum. Pasalnya, pelapor melalui pengacaranya mengajukan surat pernyataan menolak dilakukan pemeriksaan psikiatrikum lanjutan.
"Selain itu, hingga saat ini penyidik tidak dapat berkomunikasi dengan pelapor karena pihak keluarga tidak mau mempertemukan. Sehingga sampai saat ini penyidik tidak mengetahui keberadaan pelapor," ungkap Roem.
"Penyidik juga mendapat hambatan dari ayah pelapor yang dengan marah menolak pendampingan terhadap putrinya. Tentu Polda Maluku merasa simpati kepada pelapor sebagai seorang wanita yang datang melaporkan kasus itu," tambahnya.
6. Saksi Tak Hadiri Panggilan Polisi
Roem mengaku penanganan kasus ini sudah berjalan maksimal sejak dilaporkan oleh korban pada Jumat (1/9). Mulai dari visum di Rumah Sakit Bhayangkara, dimintai keterangan, hingga penerbitan surat perlindungan dan pendampingan terhadap korban selama 14 hari.
"Tapi pada hari Selasa, 5 September saksi-saksi yang dipanggil tidak memenuhi undangan," sesal Roem.
Roem menyebut, penyidik sempat kembali membuat undangan pemeriksaan 4 saksi pada Jumat (8/9). Tapi di hari itu juga penyidik menerima surat permohonan pencabutan laporan polisi dari pelapor.
"Pada prinsipnya kami mendorong agar pencabutan perkara tidak hanya melalui surat, tapi pelapor dan keluarga serta penasehat hukumnya juga harus hadir secara resmi ke Polda untuk dibuatkan berita acara pencabutan laporan, sehingga jelas alasan pencabutan kasusnya itu," imbuh Roem.