Mengamati pemberitaan yang dilontarkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid terkait pemerintah akan mengambil alih lahan yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun berturut-turut baik dalam tanah yang bersertifikat bertentangan dengan peraturan perundang-undang. Adapun terkait tanah yang untuk aktivitas ekonomi pembangunan adalah suatu keharusan negara untuk menyediakan tanah untuk rakyat yang diambil dari tanah telantar merupakan suatu tindakan yang melanggar hak prioritas masyarakat dalam kualifikasi Natuurlijk persoon dalam konteks hukum merujuk pada manusia sebagai subjek hukum, Rechtspersoon (badan hukum) dengan tahapan pengambilalihan tanah telantar dilakukan kurang dari 587 hari.
Polemik Tanah Telantar
Polemik tanah telantar dan sengketa agraria adalah masalah kompleks yang sering kali melibatkan berbagai pihak dan kepentingan, termasuk pemilik tanah, masyarakat, pemerintah, dan perusahaan mengingat aturan tersebut dapat merugikan perusahaan dan masyarakat karena berbagai alasan, di antaranya bagi perusahaan, tanah telantar dapat mengakibatkan hilangnya potensi keuntungan, penurunan nilai aset, dan bahkan pencabutan hak atas tanah. Sementara bagi masyarakat, tanah telantar dapat menyebabkan lahan tidak produktif, lingkungan yang tidak sehat, dan hilangnya potensi manfaat ekonomi dan sosial dari lahan tersebut.
Pengaturan terkait tanah telantar sebagaimana diatur Pasal 7 Ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar. Aturan itu menyebut pengambilalihan bisa dilakukan terhadap tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah yang telah dipertegas dalam UUPA 1960 (UU Ketentuan Pokok Agraria) Pasal 27 hapusnya hak milik atas tanah karena beberapa hal, antara lain: tanahnya jatuh kepada negara karena pencabutan hak, penyerahan sukarela oleh pemiliknya, karena ditelantarkan, atau karena ketentuan pasal lain dalam UUPA. Pemerintah membatasi tanah telantar berdasarkan jenis hak sebagaimana disebutkan diatas Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, Hak Pengelolaan (HPL) memiliki jangka waktu 20 tahun jika tidak digunakan, dimanfaatkan, atau dipelihara dalam jangka waktu 2 tahun maka negara dapat melakukan berbagai tahapan pengambilalihan tanah terlantar dilakukan kurang dari 587 hari. Namun, ada pengecualian objek penertiban tanah terlantar atas tanah hak pengelolaan yang mencakup tanah masyarakat hukum adat dan yang jadi aset bank tanah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penanganan kasus tanah terlantar dalam keputusan 'Hapusnya Hak Milik Atas Tanah Yang Ditelantarkan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021' dapat memicu konflik sengketa pertanahan tersebut makin berkepanjangan apalagi yang jelas-jelas merupakan tanah dengan status hak milik namun tidak dimanfaatkan (dibiarkan baik secara sengaja/tidak sengaja/karena faktor lainnya) oleh pemilik hak atas tanah tersebut. Begitu juga dengan status tanah yang dimiliki badan hukum swasta yang merupakan pilar ekonomi nasional, di mana dalam kasus yang terjadi banyak yang terbukti melanggar hak asasi manusia.
Konflik tersebut semakin luas, manakala suatu wilayah dimasukkan ke dalam areal konsesi, baik dengan alasan hak maupun izin konsesi. Pemberian hak dan izin secara tidak selektif juga memberi peluang lebar bagi penelantaran tanah yang turut melahirkan sengketa dan konflik lanjutan. Konflik ini juga melibatkan berbagai aktor dan kepentingan-kepentingan, baik itu individu, masyarakat, perusahaan, maupun instansi pemerintah sebagaimana dalam struktur mafia tanah.
Penetapan Tanah Telantar Merampas Hak Prioritas Masyarakat
Ketetapan negara sebagai kawasan tanah telantar bagi pemilik tanah sebagaimana ditetapkan dalam sertifikat (SHM, HGB, HGU, HPL, Hak Pakai) dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) PP No. 20/2021 mengatur ketetapan, pencabutan izin/konsesi/perizinan berusaha; dan/atau penegasan sebagai kawasan yang dikuasai langsung oleh negara. Sedangkan untuk tanah telantar, dalam penetapan dalam pasal 30 yaitu (1), (2), dan (3) PP 20/2021, apabila tanah telantar berupa tanah hak atau tanah hak pengelolaan dan merupakan keseluruhan hamparan dapat memutus hubungan hukum bagi pemegang hak, sehingga penegasan sebagai tanah negara bekas tanah telantar yang dikuasai langsung oleh negara tanpa ada ketentuan memberikan ganti rugi terhadap pemegang hak.
Tanah terlantar adalah masalah yang perlu ditangani secara serius karena memiliki dampak negatif terhadap berbagai aspek kehidupan. Pemerintah berupaya menertibkan tanah terlantar melalui peraturan perundang-undangan, seperti penguasaan langsung oleh negara, dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan yakni hilangnya a) Potensi keuntungan, hal ini menyebabkan perusahaan kehilangan potensi pendapatan dan keuntungan yang seharusnya bisa diperoleh, b) Penurunan nilai aset, tanah yang telantar cenderung mengalami penurunan nilai karena tidak terawat dan tidak dimanfaatkan. Hal ini bisa merugikan perusahaan jika sewaktu-waktu ingin menjual atau menjaminkan tanah tersebut, c) Pencabutan hak atas tanah, pemerintah memiliki kewenangan untuk mencabut hak atas tanah jika tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah telantar. Hal ini bisa terjadi jika perusahaan tidak memenuhi kewajiban untuk memanfaatkan tanah sesuai peruntukannya. Meskipun tidak dimanfaatkan, perusahaan tetap harus mengeluarkan biaya untuk menjaga lahan tersebut agar tidak menjadi sarang penyakit atau tempat kegiatan negatif.
Hal yang perlu dipertanyakan dalam penertiban tanah telantar bagi pemegang hak, yaitu ketika pemilik hak atas tanah atau pihak ketiga (dalam hal ini bisa pihak penyewa atau bank) yang dirugikan menghadapi situasi di mana hak atas tanah mereka telah hilang atau terancam hilang karena faktor kelalaian atau penelantaran, maka ada beberapa upaya hukum yang dapat mereka lakukan/mereka tempuh guna menyelesaikan kasus sengketa tanah tersebut?
Tanah telantar merupakan masalah yang perlu ditangani secara serius karena dapat merugikan berbagai pihak, baik perusahaan maupun masyarakat. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegah dan mengatasi masalah tanah telantar, seperti memberikan insentif bagi perusahaan untuk memanfaatkan tanahnya, memberikan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang menelantarkan tanah, serta memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses dan memanfaatkan tanah telantar yang sudah dikuasai negara.
Dalam perkembangannya, masalah kasus kehilangan hak kepemilikan atas tanah yang ditelantarkan di Indonesia ini memerlukan tindakan yang serius, di antaranya dalam bentuk reformasi hukum agraria, penegakan hukum yang kuat, pemberdayaan intelektualitas masyarakat, pengawasan yang ketat, dan penegakan hukum yang ketat juga sangat penting. Di mana sistem hukum yang berlaku harus mampu mengatasi konflik sengketa tanah yang terjadi dengan cepat dan adil.
Urgensi dari 'Hapusnya Hak Milik Atas Tanah yang Ditelantarkan' berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 belum memiliki kepastian hukum bagi pemegang hak karena tidak ditetapkan secara tegas ganti kerugian bagi pemegang hak prioritas, kecuali bidang tanah yang dimiliki pemegang sertifikat memiliki suatu data base sebagai land bank untuk pertumbuhan ekonomi dalam sektor swasta.
Penulis: Muhammad Rizal Siregar
Pengacara hukum dan pengamat properti
(dhw/dhw)