Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa tanah bersertifikat yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun berturut-turut berpotensi diambil alih oleh negara.
Kebijakan ini merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar jo. Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 20 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penertiban dan Pendayagunaan Kawasan dan Tanah Telantar.
Kepala Kantor Pertanahan Kota Tarakan, Dasih Tjipto Nugroho, menjelaskan bahwa setiap pemberian hak atas tanah, seperti Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Guna Usaha (HGU), harus disertai rencana penggunaan dan pemanfaatan yang jelas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Syarat pemanfaatan tanah dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) Pemberian Hak. Jika dalam waktu dua tahun sejak sertifikat diterbitkan tidak ada aktivitas pemanfaatan sesuai peruntukannya, tanah tersebut dapat ditetapkan sebagai tanah telantar," ujar Dasih kepada detikKalimantan, Rabu (16/7/2025).
Dasih memaparkan bahwa proses penetapan tanah telantar dilakukan secara bertahap. Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan mengirimkan surat pemberitahuan sebanyak tiga kali kepada pemegang hak, disertai dengan pemeriksaan lapangan.
Ia menyebutkan, langkah awal BPN mengirim surat pemberitahuan, jika dalam tiga bulan tidak ada aktivitas, dikirim surat peringatan pertama, diikuti peringatan kedua tiga bulan kemudian.
"Jika masih tidak ada respons atau kesanggupan untuk memanfaatkan tanah, maka BPN akan mengusulkan penetapan tanah telantar," ucapnya.
Menurut Dasih, proses ini memakan waktu hingga 587 hari atau hampir empat tahun, termasuk masa peringatan dan perundingan. Jika pemegang hak tetap tidak memanfaatkan tanah, lahan tersebut akan resmi ditetapkan sebagai tanah telantar dan dapat diambil alih negara untuk didistribusikan dalam program reforma agraria.
Revisi Aturan untuk Percepatan Penertiban
Saat ini, Kementerian ATR/BPN sedang merevisi Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 20 Tahun 2021 untuk mempercepat proses penetapan tanah telantar. Dalam revisi tersebut, waktu penetapan tanah telantar dipersingkat dari 1,5 tahun menjadi 60 hari, sedangkan untuk kawasan telantar menjadi 90 hari.
"Revisi ini bertujuan untuk mengatasi kendala hukum dan administrasi, sekaligus mewujudkan penggunaan tanah yang lebih optimal untuk kepentingan nasional," ungkap Dasih.
Dasih pun mengimbau agar masyarakat pemilik tanah wajib memanfaatkan lahan mereka dengan sebaik-baiknya agar tidak dianggap telantar. BPN Tarakan mengimbau masyarakat untuk segera memanfaatkan tanah bersertifikat sesuai peruntukannya dan menjaga batas-batas lahan.
"Jangan biarkan tanah menganggur atau diserobot pihak lain. Pemilik juga harus menjaga batas-batas bidang tanahnya. Sertifikat adalah pengakuan negara atas kepemilikan, tetapi tanggung jawab menjaga fisik tanah ada pada pemilik," kata dia.
"Kami harap masyarakat proaktif agar tanah mereka tidak masuk kategori telantar. Ini juga bagian dari mendukung pemerataan ekonomi dan pembangunan nasional," lanjut Dasih.
Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan di Indonesia, sekaligus memastikan tanah dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, sesuai amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
(aau/aau)