Pemerintah memiliki program bantuan bedah rumah atau Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS). Program tersebut dilakukan untuk mengatasi rumah tidak layak huni yang ada di Indonesia.
Bantuan yang diberikan dapat berupa uang untuk merenovasi rumah atau berupa barang. Jika bantuan uang, jumlah yang diberikan Rp 20 juta yang meliputi Rp 17,5 juta untuk bahan bangunan dan Rp 2,5 juta untuk upah pekerja. Sementara jika bantuan dalam bentuk barang diberikan berupa prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU) yaitu kelengkapan dasar fisik, fasilitas, dan kelengkapan penunjang yang dibutuhkan agar rumah dapat berfungsi dengan baik.
Hingga saat ini, bantuan bedah rumah sudah ada 1,49 juta unit yang mendapat bantuan. Namun, dalam penyalurannya kerap ditemukan modus-modus untuk mendapatkan bantuan lebih.
Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR, Iwan Suprijanto mengatakan pihaknya kerap menemukan modus-modus untuk mendapat bantuan bedah rumah berkali-kali, salah satunya dengan pecah Kartu Keluarga (KK) padahal masih tinggal di dalam satu rumah. KK ini salah satu berkas yang diperlukan untuk mengajukan diri demi mendapatkan bantuan bedah rumah. Padahal, bantuan bedah rumah hanya diberikan per rumah, bukan per KK.
"Kalau BSPS kan terhadap rumahnya. (Pecah KK?) Nah itu yang sering terjadi. Itu modus. Kayak di Palu, itu yang paling bikin modus paling bikin kisruh kan itu. Yang terdampak rumahnya 1,' tapi kan kami di rumah ini ada 3 KK Pak'," kata Iwan kepada wartawan saat ditemui di Kementerian PUPR, kemarin, ditulis Rabu (16/10/2024).
"Ya kita kan negara adil bukan bagi-bagi rumah. Memberikan akses iya, jadi ganti ya satu (rumah) sudah. Makanya supaya bencana itu ga selalu bawa korban kemudian muncul anggaran lagi untuk nangani itu ya, mulai sekarang kita bangun yang tahan gempa, yang green gitu lho ke arah sana," jelasnya.
Memang, permasalahan rumah tidak layak huni merupakan salah satu permasalahan yang terberat di bidang perumahan. Permasalahan selanjutnya yang cukup berat adalah terkait keakuratan data. Menurutnya, data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (susenas) terkait backlog perumahan tidak akurat karena masih berupa indikasi saja. Maka dari itu, pihaknya menyarankan untuk melakukan sensus untuk mendapatkan data yang akurat.
"Data itu yang harus diperbaiki. Cara memperbaikinya bukan susenas, tapi sensus. Melakukan sensus ulang dengan metode yang lebih tepat, sehingga kita punya gambaran itu. Untuk rumah tidak layak huni saya merencanakan pendataannya dengan teknologi ya. Kita punya foto udara itu luar biasa bisa langsung men-define rumah-rumah tersebar di mana, dengan teknologi seperti sekarang kan bisa langsung terhitung termasuk kondisinya seperti apa dan bagaimana, itu rumahnya bisa kelihatan. Jadi itu yang sedang kami rancang saat ini," jelasnya.
Dengan data yang akurat, kata Iwan, maka bantuan yang diberikan akan lebih tepat sasaran dan efektif. "Yang terpenting data rumah tidak layak huni tadi, sehingga intervensi bantuan apapun itu nanti akan bisa berlangsung lebih efektif," tutupnya.
(abr/abr)