Sukses Ir Ciputra membangun Pasar Senen dan kawasan wisata Ancol rupanya memikat konglomerat nomor satu Indonesia Liem Sioe Liong (Om Liem). Suatu hari, bersama mitranya Djuhar Sutanto, dia menemui Ciputra. Selain memuji dan mengucapkan selamat atas sukses yang dicapai Ciputra, keduanya datang untuk mengajak kerja sama membangun permukiman baru di kawasan Sunter. Ciputra menolak.
"Om Liem, kawasan yang akan berkembang pesat dan nilainya akan bertambah terus itu ada di Jakarta Selatan. Pondok Pinang," sergah insinyur lulusan ITB itu penuh percaya diri.
Alasan Ciputra menolak Sunter antara lain karena kualitas tanah dan udara di Jakarta Utara kurang baik. "Akan kurang diminati kaum the haves," tegasnya dalam biografi bertajuk Ciputra The Enterpreneur of My Life karya Alberthiene Endah yang diterbitkan Gramedia, 2018.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Om Liem dan Djuhar menyimak argumentasi Ciputra dengan seksama. Keduanya seperti tak kuasa membantah mengingat reputasi sang insinyur. Mereka fokus dan manggut-manggut saja. Apalagi ketika Ciputra kemudian menjanjikan akan segera membuat masterplan berikut perizinan untuk menggarap proyek di Pondok Pinang. Ini bisa dipahami mengingat Ciputra telah dikenal baik oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Tapi ada satu kendala utama lelaki kelahiran Parigi, Sulawesi Tengah, 24 Agustus 1931 itu. Proyek tersebut butuh dana sangat besar dan dia tidak memilikinya. "Saya bersedia membiayai proyek Pondok Pinang," kata Om Liem dengan tenang. Juga setuju dengan pembagian saham 50-50. Dia rupanya sudah benar-benar terpikat dengan apa yang dipaparkan Ciputra.
Sawah kering dan Kebun Karet
Kawasan Pondok Pinang yang kemudian menjadi perumahan elit Pondok Indah semula adalah hamparan sawah kering. Juga ada bentangan luas kebun karet yang tua padat, dan lading palawija rumah penduduk. Lahan luas itu persis dibatasi oleh Jalan Haji Nawi dan Raido Dalam di utara. Di sebelah barat berbatasan dengan Ciputat, di selatan dengan Lebak Bulus dan Pasar Jumat, dan di timur berbatasan dengan Jalan Fatmawati.
Ketika tengah membangun perumahan di Bintaro, Ciputra kerap melintasi kawasan tersebut. Untuk mencapainya dia melewati Jalan Radio Dalam yang kala itu hanya 6 meter lebarnya. Selain itu, masih jalan berbatu.
Tanahnya bagus, tidak diwarnai banjir, dan tidak mengandung garam seperti di utara Jakarta. Udaranya relatif sejuk dengan sumber air yang bersih. Beberapa kali dia menyusuri lahan luas itu. "Saya membingkai dengan intuisi, seandainya lahan itu kami beli," Ciputra membatin sebelum kemudian bertemu Liem Sio Liong.
Dengan sokongan dana sang Taipan dan pinjaman dari perbankan Pondok Indah mulai digarap. Ciputra mengerjakannya dengan bendera Metropolitan Development yang didirikan bersama dua temansemasa kuliah di ITB, Ismail Sofyan dan Budi Brasali. "Ingat, kita akan sejahtera dari Pondok Indah puluhan tahu lagi," kata Ciputra kepada kedua sahabatnya itu saat mulai membangun pada awal 1980.
(jat/zlf)