Laing Ngau, seorang Dayak Pua Lasan, menjadi orang terakhir dalam kisah tradisi telinga panjang di Desa Long Lasan, Kalimantan Utara. Entah sudah berapa tahun usianya, ia pun tak tahu sejak kapan lahir ke dunia.
Belum ada pencatatan administrasi saat Laing Ngau lahir. Yang jelas, saat ini ia jadi orang tertua di desanya. Terlihat dari kerutan di wajahnya, ditambah dengan lubang telinga yang panjang, menandakan ia punya banyak kenangan tersimpan.
Seperti diketahui, di pedalaman Kalimantan terdapat jejak tradisi unik yang menjadi ciri khas suku Dayak. Ialah tradisi telinga panjang yang perlu dilakukan secara bertahap sejak usia dini. Tujuannya, bukan cuma agar terlihat cantik atau tampan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Lebih dari itu, masyarakat Dayak ingin menanamkan nilai-nilai kebanggaan, mensyukuri keberhasilan, sekaligus menjadikan tradisi sebagai identitas dan penghormatan terhadap adat.
"Sejak kecil, telinga saya diberi pemberat, ditambah seiring usia," ujar Laing kepada detikkalimantan, Jumat (4/7/2025).
Dulu, telinganya memanjang hingga dada, ciri khas budaya Dayak yang membanggakan. Sayang, sedikit memori indah yang terekam dalam memori Laing saat memiliki telinga panjang.
Tekanan sosial di era modernisasi mengubah keputusannya yang ingin mempertahankan tradisi. Operasi dilakukan oleh seorang mantri yang menurut Laing, bekerja dengan sangat baik menyambung bekas potongan.
"Saya memotong telinga karena tekanan sosial," ceritanya.
Perjalanan Laing muda memang penuh liku. Saat bersekolah, ia kerap diejek teman karena telinganya yang tak biasa.
Ejekan membuat ia memutuskan untuk berhenti sekolah. Meski begitu, ia tak menyerah. Laing bergabung dengan sekolah 'Buta Huruf' di Long Bia, tempat ia belajar tanpa stigma.
"Di sana, saya merasa diterima," katanya.
Laing menjelaskan, tradisi telinga panjang lebih umum di kalangan perempuan Dayak. Tradisi ini kuat saat kepercayaan leluhur masih dipegang teguh. Namun, sejak masuknya agama Kristen pada 1950-an, praktik ini perlahan memudar.
"Memanjangkan daun telinga dianggap menganggu saat bekerja," ujarnya.
![]() |
Meski orang tua dulu mendorong anak-anak mempertahankan tradisi, generasi muda memilih pendidikan dan meninggalkan kebiasaan ini. Laing tak menyesal memotong telinganya, apalagi setelah larangan membuat tato dari sekolah dan pemerintah.
"Generasi saya adalah yang terakhir," tegas Laing.
Ayah tujuh anak ini pernah menjadi tukang kebun dan pengusaha. Kini di usia senja, ia tak lagi kuat bekerja. Tapi setidaknya ia punya banyak memori baik di usia produktifnya. Terlihat dari rautnya yang bangga saat tengah menunjukkan foto masa mudanya, menyimpan lebih banyak cerita.
Tradisi telinga panjang, yang dahulu menjadi kebanggaan dan simbol kecantikan suku Dayak, kini terancam punah. Sekarang, di tengah modernisasi dan perubahan persepsi sosial, tradisi ini pun semakin ditinggalkan.
(aau/aau)