Ati Bachtiar, seorang fotografer dan pelukis kaca asal Bandung, telah mendedikasikan hidupnya untuk mendokumentasikan tradisi telinga panjang suku Dayak di Kalimantan. Warisan budaya ini di ambang kepunahan.
Perjalanan Ati dimulai dari sebuah momen tak terduga pada 2013 di Desa Sungai Bawang, Kutai Kartanegara. Ia bersama teman-teman fotografer dari Tenggarong menemukan sebuah patung wanita bertelinga panjang yang seolah menangis darah.
"Bayangan patung itu terus membayangi pikiran saya, seolah nenek ini ingin menyampaikan sesuatu, meminta pertolongan," ungkap Ati kepada detikKalimantan, Minggu (13/7/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Awal Mula Penelusuran
Ati pun mulai mencari referensi mengenai telinga panjang Suku Dayak. Mulai dari asal-usul, pelaku, hingga maknanya. Pada 2014, ia akhirnya bertemu dengan Uweq Priyaq, seorang nenek bertelinga panjang di Desa Budaya Pampang, Samarinda.
Meski kagum, Ati hanya mengambil satu foto curi-curi dengan ponselnya karena biaya foto yang mahal, Rp 50 ribu per jepret. Sayangnya, foto itu hilang bersama ponselnya di Bandara Sepinggan, Balikpapan.
Pada 2015, ia divonis kanker serviks dan harus menjalani operasi serta bedrest. Namun, dia masih tergerak mendalami budaya telinga panjang Dayak. Dengan bantuan jaringan komunitas fotografer di Kalimantan, ia merancang perjalanan untuk mendokumentasikan tradisi ini.
Ati memulai ekspedisi dari Samarinda pada Mei 2026. Dia menyusuri Sungai Mahakam hingga perbatasan Malaysia. Hasilnya, buku pertamanya memprofilkan 43 perempuan bertelinga panjang, termasuk 11 di antaranya yang telah memotong telinga mereka.
Gandeng Penerjemah Lokal
Dalam pendekatannya, Ati bekerja dengan penerjemah lokal yang fasih berbahasa Dayak dan Indonesia serta menghormati tradisi setempat.
Ia bahkan diangkat sebagai anak oleh tiga ibu Dayak, salah satunya Yeq Lawing, tokoh sentral dalam buku keempatnya. Yeq, seorang nenek dari Long Isun yang hanya lulus Sekolah Rakyat, dikenal teguh mempertahankan tradisi leluhurnya.
"Dia tak pernah melepas antingnya, bahkan di tengah godaan modernisasi," ungkap Ati.
Yeq juga fasih berbahasa Indonesia, menulis catatan harian, dan mampu berbicara di forum internasional, seperti saat memukau audiens di Belanda dalam misi kebudayaan Dayak Long Ears Through The Lens" pada 2024.
"Bagi saya, budaya Dayak adalah warisan dunia. Sejarah peradaban manusia dan kerajaan tertua di Indonesia ada di Kalimantan," tuturnya.
Tradisi yang Nyaris Punah
Tradisi ini, yang pernah menjadi simbol kecantikan dan status sosial bagi suku Dayak, terutama sub-suku seperti Bahau, Kayan, dan Kenyah, mulai ditinggalkan sejak 1970-an, terutama di era Orde Baru.
"Pemotongan telinga dilakukan secara masif oleh generasi muda yang ingin pindah ke kota atau melanjutkan sekolah," jelas Ati.
Alasan utama adalah rasa malu karena dianggap kuno dan diskriminasi, seperti larangan bersekolah atau mendapat pekerjaan layak. Dari 78 perempuan bertelinga panjang yang didokumentasikan Ati, tak satu pun keturunannya melanjutkan tradisi ini.
"Mereka merasa tradisi ini sudah ketinggalan zaman, terlihat aneh di mata orang modern," ujarnya.
(des/des)