Tato dan Telinga Panjang Tanda Bangsawan: Dulu Diagungkan Kini Ditinggalkan

Tato dan Telinga Panjang Tanda Bangsawan: Dulu Diagungkan Kini Ditinggalkan

Oktavian Balang - detikKalimantan
Minggu, 23 Mar 2025 11:00 WIB
Di Desa Sungai Urang, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, sebuah rumah adat berdiri sederhana di tepi jalanan berbatu. Di samping bangunan tersebut, Lem Dungau, seorang nenek duduk dengan tenang.
Lem Dungau/Foto: Oktavian Balang/detikKalimantan
Bulungan -

Di Desa Sungai Urang, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, sebuah rumah adat berdiri sederhana di tepi jalanan berbatu. Di samping bangunan tersebut, Lem Dungau, seorang nenek duduk dengan tenang.

Telinganya yang panjang menggantung hingga bahu, dihiasi tato garis empat melingkar di pergelangan kaki dan paha. Itu tanda kebangsawanan atau paren dalam budaya Dayak Kenyah.

Bagi masyarakat adat, tato dan telinga panjang bukan sekadar hiasan. Itu semua adalah lambang status, keberanian, dan identitas yang diwariskan leluhur.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun di tengah embusan modernitas dan nilai-nilai baru, tradisi ini kian memudar, meninggalkan Lem Dungau sebagai salah satu saksi terakhir.

Perjalanan menuju Sungai Urang hanya sekitar 20 menit dari Tanjung Selor, namun terasa seperti melintasi dua dunia. Jalan rusak dan tanjakan curam menjadi metafora dari perjuangan menjangkau akar budaya yang kian terpinggirkan. Dari dalam rumah, Lem Dungau yang merupakan masyarakat suku Dayak Umaq Baqa menyambut dengan senyum ramah.

"Sakiiiiiiiiiiit," kata Lem Dungau mengenang proses pembuatan tato di pahanya saat berusia 17 tahun, kepada detikKalimantan pada Minggu (23/3/2025).

Kala itu, dukun adat menusuk kulitnya dengan jarum kayu sepanjang 30 cm, sambil membacakan mantra agar tato tak membusuk. Dua hari penuh rasa sakit itu, kata Lem Dungau, adalah harga untuk menjadi paren golongan bangsawan yang dihormati karena kekayaan, keberanian, atau keberhasilan ngayau (berburu kepala musuh).

Bagi Dayak Kenyah, tato dan telinga panjang adalah identitas yang tak terpisahkan. Wanita bangsawan seperti Lem Dungau wajib memiliki tato dengan motif garis empat khusus darah biru. Sementara itu, telinga dilubangi sejak bayi dan diberi pemberat hingga memanjang.

"Itu kenangan dari orang tua," ujarnya.

Tato dan Telinga Panjang Kian Ditinggalkan

Lem Dungau menjelaskan alasan mengapa ia tak pernah memotong telinganya, meski banyak teman sebayanya melakukannya. Emi, seorang perempuan yang mendampingi Lem Dungau menjelaskan perubahan itu dengan nada prihatin.

"Setelah Kristen masuk, banyak yang memotong telinga panjang. Katanya mengganggu kesehatan, dan tato pakai mantra itu dianggap bertentangan dengan agama," kata Emi.

Agama Kristen yang kini dianut mayoritas Dayak Kenyah, membawa nilai baru yang kadang berbenturan dengan adat lama. Sementara itu, bagi sebagian warga, tato dan telinga panjang tak lagi relevan, tak sesuai dengan gaya hidup modern.

Modernitas juga memainkan peran besar. Generasi muda di Sungai Urang lebih sering terpaku pada ponsel mereka ketimbang mendengar cerita leluhur. Sekolah, televisi, dan media sosial memperkenalkan standar kecantikan baru, kulit mulus tanpa tato dan telinga biasa tanpa pemberat.

"Anak-anak sekarang malu kalau punya tato atau telinga panjang. Mereka bilang itu kuno," ungkap Emi, yang ibunya juga seorang paren bertato.

Denda adat bagi yang melanggar motif tato bangsawan masih berlaku. Tapi siapa yang peduli di tengah budaya yang makin asing dengan ngayau atau ritual dukun?

Apakah Identitas Paren Akan Hilang?

Lem Dungau adalah penutup dari sebuah era. Ia hidup di masa transisi, dari kepercayaan Bungan Malan, agama leluhur Dayak Kenyah menuju Kekristenan.

"Saya tidak malu," tegasnya sambil menunjukkan kebanggaan pada tato dan telinganya.

Tapi ia sadar, tak ada lagi yang mengikuti jejaknya. Generasi terakhir ini menyisakan pertanyaan, apakah identitas 'paren' akan hilang selamanya, atau hanya berubah bentuk di tengah derasnya arus zaman?

Konflik identitas itu bukan hanya soal tato dan telinga panjang, melainkan tentang bagaimana Dayak Kenyah mendefinisikan diri di era globalisasi. Di satu sisi, tradisi adalah akar yang memberi mereka keunikan. Di sisi lain, modernitas dan agama menawarkan jalan menuju dunia yang lebih luas.

"Tato ini cerita saya, tapi anak-anak punya cerita mereka sendiri," kata Lem Dungau.

Di Sungai Urang, lamin adat berdiri sebagai pengingat masa lalu yang megah. Tapi di sekitarnya, jalanan rusak dan rumah-rumah modern berjejer, seolah menegaskan bahwa waktu terus bergerak maju.

Tato bangsawan yang dulu menjadi kebanggaan kini hanya tinggal kenangan pada tubuh Lem Dungau dan segelintir wanita tua lainnya. Tradisi Dayak Kenyah memudar, bukan karena hilangnya cinta pada budaya, tetapi karena dunia baru tak lagi memberi ruang untuknya.




(sun/mud)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads