Jangan Main-main dengan Mandau!

Dear Anak Rantau

Jangan Main-main dengan Mandau!

Nadhifa Aurellia Wirawan - detikKalimantan
Rabu, 02 Jul 2025 09:00 WIB
Mandau senjata tradisional suku Dayak di Kalimantan.
Mandau senjata tradisional suku Dayak di Kalimantan/Foto: Istimewa
Balikpapan -

Ada banyak hal yang mesti dipahami pendatang di Kalimantan. Salah satu yang tak boleh diabaikan adalah penghormatan terhadap Mandau.

Mandau merupakan senjata tradisional suku Dayak yang bukan sekadar benda tajam, melainkan simbol yang sarat makna historis, spiritual, dan sosial. Mandau bukan senjata biasa yang bisa dipegang atau dipamerkan sesuka hati. Di mata masyarakat Dayak, Mandau adalah warisan leluhur yang dijaga dengan kehormatan tinggi.

Setiap ukiran, setiap helai rambut yang melilit gagangnya, hingga sarung yang membungkus bilahnya, menyimpan nilai-nilai adat yang telah diwariskan lintas generasi. Itulah sebabnya, siapa pun yang memperlakukannya sembarangan tidak hanya dianggap tak sopan, tapi juga melanggar batas sakral budaya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi masyarakat suku Dayak, terutama suku Dayak Tunjung-Benuaq di Kalimantan Timur, Mandau bukan sekadar senjata, melainkan identitas adat, simbol spiritual, dan warisan budaya yang sangat sakral.

Menganggap senjata ini sebagai benda biasa atau memperlakukannya secara main-main, bisa dianggap melecehkan nilai-nilai adat, bahkan budaya leluhur mereka.

Sejarah dan Bentuk Mandau

Mandau dikenal sejak abad ke-17 hingga ke-18 sebagai senjata perang dan alat berburu. Juga sangat penting dalam kehidupan ladang dan kebun, di mana Mandau digunakan untuk menebas rumput, memotong kayu, bahkan membantu pembangunan rumah dan perahu.

Ada dua jenis Mandau, yaitu Mandau adat dan Mandau ladang. Mandau adat dianggap sakral dan hanya diperlihatkan dalam momen ritual seperti prosesi Gawai atau upacara adat, tidak digunakan sembarangan.

Sedangkan Mandau ladang digunakan dalam aktivitas praktis harian. Namun tetap dihormati sebagai bagian dari identitas budaya.

Dalam artikel berjudul Mandau Sebagai Identitas Budaya Suku Dayak (Borneo, Indonesia), Basuki Teguh Yuwono menjelaskan bagaimana Mandau beralih fungsi dari alat praktikal menjadi simbol spiritual dan sosial yang sangat dihargai.

Senjata ini dibuat dari batu mantikei, lalu berkembang ke bilah logam, diwarnai ukiran dan hiasan estetis yang sarat makna, sebagai bukti kemajuan teknologi dan budaya yang tinggi. Struktur Mandau pun mencerminkan filosofi hidup masyarakat Dayak. Bilahnya asimetris, yaitu satu sisi cembung dan satu sisi cekung, sehingga memperlihatkan keseimbangan.

Sarung kayu atau tanduk yang dipenuhi anyaman rotan, simbol keharmonisan manusia dengan alam, sedangkan rambut manusia atau hewan di gagangnya menjadi simbol keberanian dan status sosial, terlebih rambut berarti lebih dihormati.

Bagian-bagian Mandau

Studi oleh Heri Santosa dan Tapip Bahtiar juga mempertegas bahwa Mandau bukan hanya alat, tetapi juga pengikat nilai budaya dan religius komunitas Dayak. Setiap bagian Mandau memiliki filosofi yang mencerminkan keharmonisan antara manusia, alam, dan leluhur. Bagian-bagian Mandau sebagai berikut:

  • Bilah: Dibuat dari logam pilihan, melambangkan kekuatan, keberanian, dan perlindungan diri. Bilah Mandau juga bisa memiliki ukiran tertentu yang bersifat simbolik.
  • Gagang: Biasanya terbuat dari kayu keras atau tanduk, dihiasi ukiran bermotif binatang seperti burung tingang (burung enggang), simbol jiwa leluhur dan kebebasan. Gagang ini bukan sekadar pegangan, tapi identitas sosial pemiliknya.
  • Kumpang (Sarung): Terbuat dari kayu dan dihiasi dengan rotan atau ukiran khas. Kumpang menunjukkan status sosial pemilik dan nilai estetika dalam pandangan masyarakat Dayak.
  • Tali dan Rambut Hiasan: Beberapa Mandau asli menyertakan rambut manusia atau hewan pada bagian gagangnya. Ini melambangkan keberanian atau pengalaman spiritual pemilik Mandau.
  • Pisau Kecil Pendamping (Pisau Raut): Biasanya diselipkan di dalam sarung dan digunakan untuk keperluan pemiliknya.

Setiap elemen Mandau dibuat dengan penuh ketelitian, sering kali melalui ritual adat tertentu yang menandai pentingnya nilai spiritual dan penghormatan terhadap leluhur.

Mandau Bukan Mainan

Menurut Musa Kiring dalam publikasinya yang berjudul Simbol dalam Suku Dayak Kayan Kalimantan Utara, disebutkan bahwa parang, yang dimiliki kesamaan fungsi dan makna dengan Mandau, adalah simbol keberanian dan alat komunikasi spiritual.

Penelitian yang menggunakan metode wawancara dan observasi ini menemukan bahwa Mandau digunakan dalam upacara adat seperti tarian, ritual perang, serta sebagai instrumen komunikasi dengan leluhur dan roh suci, bukan sekadar senjata atau alat kerja.

Sebagai bagian dari tradisi upacara, Mandau digunakan dalam tarian adat dan ritual penting masyarakat Kayan. Mereka meyakini parang tersebut memiliki kekuatan simbolik yang menghubungkan komunikator manusia dengan dunia leluhur dan kekuatan alam.

Menurut studi tersebut, benda seperti Mandau yang disertakan dalam ritual bukan digunakan untuk main-main, melainkan sebagai medium spiritual dengan arti budaya yang sangat dalam .

Nah, anak rantau atau pendatang, penting untuk memahami bahwa Mandau bukan barang koleksi bebas sentuh. Jika melihat atau berencana memegang Mandau, tanyakan dengan sopan dan ikuti aturan adat setempat.

Memperlakukannya sebagai mainan, objek selfie, atau hanya pajangan bisa memicu konflik karena sesungguhnya Mandau adalah cerminan nilai kultural dan spiritual masyarakat Dayak.

Dengan menghormati Mandau seperti cara mereka menghormati leluhur dan adat, kita bisa membangun rasa saling percaya dan diterima sebagai bagian komunitas, bukan dianggap sebagai pendatang yang tak paham hati dan kepala masyarakat lokal.

Melalui artikel ini, semoga membantu menambah pemahaman dan rasa hormat kita terhadap nilai-nilai leluhur Mandau dalam budaya Dayak.




(sun/des)
Hide Ads