Mendengar kata Gerwani, banyak orang Indonesia masih teringat pada stigma yang dilekatkan lewat propaganda Orde Baru. Gerwani digambarkan sebagai sebuah organisasi perempuan yang "kejam, tidak bermoral, dan terlibat penyiksaan para jenderal 1965."
Narasi ini begitu kuat hingga termaktub dalam buku pelajaran, disebarkan melalui film Pengkhianatan G30S/PKI, dan diwariskan antar generasi selama lebih dari tiga dekade. Namun, Gerwani sejatinya merupakan organisasi perempuan terbesar pada masanya, dengan jutaan anggota, jaringan luas, serta cita-cita memperjuangkan pendidikan, hak-hak perempuan, dan keadilan sosial.
Berikut sejarah Gerwani hingga nasibnya setelah peristiwa G30S, dikutip dari buku Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan oleh Amurwani Dwi Lestariningsih dan Gerwani Mahzab Politik Islam Era Soekarno oleh Deden Rahmanudin.
Lahirnya Gerwis, Cikal Bakal Gerwani
Awalnya organisasi ini bernama Gerwis (Gerakan Wanita Sedar), yang berdiri pada 4 Juni 1950 di Semarang. Gerwis lahir dari penyatuan enam organisasi perempuan yang tersebar di Jawa, Madura, dan sekitarnya yaitu Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang, Persatuan Wanita Sadar dari Surabaya, Isteri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruan.
Penggabungan ini bukan tanpa alasan. Para aktivis perempuan menyadari bahwa perjuangan mereka akan lebih kuat bila dilakukan dalam wadah bersama.
Gerwis mengusung semangat emansipasi perempuan dalam bingkai nasionalisme dan sosialisme, dengan fokus pada pemberantasan buta huruf, pendirian sekolah, hingga advokasi kesejahteraan keluarga.
Salah satu alasan pendiriannya adalah karena perempuan di Indonesia kala itu masih buta huruf, terkungkung dalam pernikahan yang tidak setara, serta minim akses pendidikan. Karena itu, Gerwis bergerak di bidang pemberantasan buta huruf, pendirian sekolah, kursus keterampilan, dan advokasi hak-hak perempuan.
Dari Gerwis Menjadi Gerwani
Pada kongres ke-2 tahun 1954, Gerwis berganti nama menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Perubahan ini dimaksudkan agar organisasi tidak hanya berisi "wanita sadar" tetapi terbuka bagi seluruh perempuan Indonesia.
Sejak itu, Gerwani berkembang menjadi organisasi massa yang lebih banyak, menampung perempuan dari berbagai latar belakang, baik istri, ibu rumah tangga, buruh, petani, hingga intelektual.
Visi Gerwani pun meluas. Para perempuan itu bukan hanya mendirikan organisasi yang fokus pada masalah sosial, tetapi juga terlibat dalam isu nasional dan internasional.
Gerwani menuntut hak-hak perempuan dalam perkawinan, termasuk penolakan terhadap praktik poligami. Mereka mendirikan sekolah, mengadakan kursus melek huruf, serta aktif menyuarakan kesehatan ibu dan anak.
(des/des)