Lagu rakyat sederhana kadang menyimpan sejarah panjang di balik nadanya. Begitu juga dengan Genjer-genjer yang dulu hanya dinyanyikan petani Banyuwangi untuk menggambarkan hidup serba kekurangan di masa penjajahan Jepang. Liriknya ringan dan penuh keseharian, namun kemudian menjadi salah satu lagu paling sensitif dalam sejarah Indonesia.
Seiring waktu, Genjer-genjer tak lagi sekadar lagu rakyat. Lagu ini menjelma menjadi simbol politik di era Orde Baru membuatnya sarat makna. Genjer-genjer yang sempat dipopulerkan penyanyi terkenal dan disiarkan radio nasional kemudian berubah wajah ketika propaganda militer pasca-G30S menempelkan stigma kejam padanya. Bagaimana sebuah lagu bisa dipelintir hingga jadi alat politik?
Mari ikuti kisah lengkap di balik perubahan citra Genjer-genjer yang awalnya sederhana hingga menjadi lagu penuh kontroversi. Temukan sejarahnya, proses propaganda, dan dampak sosial yang membuat masyarakat takut menyanyikannya hingga hari ini!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Poin utamanya:
- Genjer-genjer awalnya lagu rakyat Banyuwangi tentang kesederhanaan hidup di masa Jepang.
- Propaganda Orde Baru mengubah citra Genjer-genjer jadi simbol kekejaman PKI.
- Lagu ini menjadi tabu dan menakutkan karena kampanye anti-komunis yang sistematis.
Lirik Lagu Genjer-genjer
Dikutip dari video musik yang diunggah kanal YouTube Second Kamerad RAR, berikut ini merupakan lirik lagu Genjer-genjer yang berbahasa Osing serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emake thulik, teka-teka mbubuti genjer
Emake thulik, teka-teka mbubuti genjer
Ulih sak tenong, mungkur sedhot sing tulih-tulih
Genjer-genjer saiki wis digawa mulih
Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar
Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar
Dijejer-jejer, diuntingi padha didhasar
Dijejer-jejer, diuntingi padha didhasar
Emake jebeng, padha tuku nggawa welasah
Genjer-genjer saiki wis arep diolah
Genjer-genjer
Genjer
Terjemahan:
Genjer-genjer di petak sawah berhamparan
Genjer-genjer di petak sawah berhamparan
Ibu si bocah, datang mencabuti genjer
Ibu si bocah, datang mencabuti genjer
Dapat sebakul, dia berpaling begitu saja tanpa terlihat
Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang
Genjer-genjer pagi-pagi dijual di pasar
Genjer-genjer pagi-pagi dijual di pasar
Ditata berjajar, diikat dijajakan
Ditata berjajar, diikat dijajakan
Ibu si gadis, membeli genjer membawa wadah anyaman bambu
Genjer-genjer sekarang akan dimasak
Genjer-genjer
Genjer
Sejarah Lagu Genjer-genjer dan Kaitannya dengan G30S/PKI
Lagu Genjer-genjer memiliki sejarah yang cukup panjang. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari buku Mengenal Orde Baru tulisan Dhianita Kusuma Pertiwi, Sastra dan Politik tulisan Yoseph Yapi Taum, serta The Palgrave Handbook of Political Norms in Southeast Asia terbitan Springer Nature Singapore, berikut ini adalah perjalanan Genjer-genjer serta kaitannya dengan G30S/PKI.
1. Awal Mula Lagu Genjer-genjer
Genjer adalah tanaman liar yang tumbuh di sawah dan perairan dangkal. Awalnya hanya dipakai untuk pakan ternak, tetapi pada masa pendudukan Jepang rakyat Jawa yang kelaparan mulai memakannya sebagai sayuran.
Dari realitas sulit itu, pada tahun 1942 seniman Banyuwangi bernama Muhammad Arief menggubah lagu berjudul Genjer-genjer dalam bahasa Osing. Liriknya menggambarkan kehidupan sederhana rakyat yang terpaksa makan genjer karena bahan pokok seperti beras dirampas tentara Jepang.
Pada awalnya, lagu ini hanya dikenal di Banyuwangi dan komunitas masyarakat suku Osing. Namun pada 1962 lagu tersebut dibawakan paduan suara Lekra Banyuwangi di hadapan tokoh-tokoh PKI, termasuk Nyoto. Nyoto menilai lagu ini merakyat dan layak disebarkan ke tingkat nasional.
Dugaan itu benar karena setahun kemudian lagu Genjer-genjer dinyanyikan oleh penyanyi populer seperti Bing Slamet dan Lilis Suryani serta disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) dan TVRI Jakarta. Lagu ini kemudian meluas ke pendengar umum dan diterima sebagai lagu rakyat.
2. Propaganda Orde Baru Mengubah Makna
Setelah pecah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G30S), pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto melancarkan propaganda besar-besaran untuk menanamkan kebencian terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Semua media dikendalikan, dan pemberitaan tentang peristiwa G30S hanya boleh berasal dari militer.
Salah satu narasi yang dibangun adalah mengaitkan lagu Genjer-genjer dengan tragedi Lubang Buaya. Lagu yang sebelumnya menggambarkan penderitaan rakyat kemudian diposisikan sebagai simbol komunisme yang dianggap kejam.
Militer menyebarkan cerita bahwa anggota Gerwani, organisasi perempuan yang dekat dengan PKI, menyanyikan Genjer-genjer sambil melakukan penyiksaan terhadap para jenderal. Rumor itu disebarkan melalui surat kabar resmi militer seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.
Kisah yang disampaikan menonjolkan kekerasan, menyebut para perempuan Gerwani menari, menyayat tubuh, dan menyiksa korban. Tidak hanya cerita yang diulang-ulang, bahkan lirik asli Genjer-genjer diganti dengan versi baru yang menampilkan adegan penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan para jenderal. Versi baru ini dimuat di surat kabar seperti Harian KAMI agar terbaca luas. Berikut ini liriknya yang tidak pernah sepopuler versi aslinya.
Jenderal-jenderal di ibukota tersebar
Emak Gerwani datang untuk menculik para jenderal
Dapat satu truk, membelakangi yang menoleh ke kanan dan kiri
Jenderal-jenderal sekarang sudah tertangkap
Jenderal-jenderal pada pagi hari disiksa
Dibariskan, diikat, dan dihajar
Emak Gerwani datang semua untuk menghajar
Jenderal-jenderal maju lalu dibunuh
Dengan penggambaran yang berulang di media resmi, masyarakat dipaksa percaya bahwa lagu Genjer-genjer adalah simbol kekejaman PKI dan Gerwani. Lagu yang awalnya lahir dari penderitaan rakyat kemudian berubah menjadi alat untuk memperkuat narasi musuh negara dan menjustifikasi penumpasan komunisme.
3. Dampak Sosial dan Ketakutan Masyarakat
Propaganda yang sistematis membuat masyarakat ketakutan. Lagu yang dulunya populer tiba-tiba dianggap tabu. Orang-orang takut menyanyikan atau mendengarkan Genjer-genjer karena diasosiasikan dengan pengkhianatan.
Lagu yang mulanya sederhana dan netral kehilangan makna aslinya, berubah menjadi tanda bahaya dan simbol yang dilarang. Hal ini memperlihatkan keberhasilan Orde Baru dalam memanfaatkan media dan seni untuk membentuk persepsi publik sekaligus menguatkan kekuasaan politiknya.
Sejarah Genjer-genjer mengajarkan bahwa makna budaya bisa berubah ketika kuasa politik ikut campur. Bagaimana menurutmu, apakah cerita ini membuatmu ingin menelusuri kembali lagu-lagu rakyat yang kita kenal sehari-hari?
(par/dil)