Sejarah Berdirinya Gerwani dan Nasibnya Setelah G30S

Sejarah Berdirinya Gerwani dan Nasibnya Setelah G30S

Nadhifa Aurellia Wirawan - detikKalimantan
Kamis, 02 Okt 2025 10:30 WIB
Kamp Plantungan untuk tahanan Gerwani pada tahun 1965 (Dok. Sekber65)
Foto: Kamp Plantungan untuk tahanan Gerwani pada tahun 1965 (Dok. Sekber65)
Samarinda -

Mendengar kata Gerwani, banyak orang Indonesia masih teringat pada stigma yang dilekatkan lewat propaganda Orde Baru. Gerwani digambarkan sebagai sebuah organisasi perempuan yang "kejam, tidak bermoral, dan terlibat penyiksaan para jenderal 1965."

Narasi ini begitu kuat hingga termaktub dalam buku pelajaran, disebarkan melalui film Pengkhianatan G30S/PKI, dan diwariskan antar generasi selama lebih dari tiga dekade. Namun, Gerwani sejatinya merupakan organisasi perempuan terbesar pada masanya, dengan jutaan anggota, jaringan luas, serta cita-cita memperjuangkan pendidikan, hak-hak perempuan, dan keadilan sosial.

Berikut sejarah Gerwani hingga nasibnya setelah peristiwa G30S, dikutip dari buku Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan oleh Amurwani Dwi Lestariningsih dan Gerwani Mahzab Politik Islam Era Soekarno oleh Deden Rahmanudin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lahirnya Gerwis, Cikal Bakal Gerwani

Awalnya organisasi ini bernama Gerwis (Gerakan Wanita Sedar), yang berdiri pada 4 Juni 1950 di Semarang. Gerwis lahir dari penyatuan enam organisasi perempuan yang tersebar di Jawa, Madura, dan sekitarnya yaitu Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang, Persatuan Wanita Sadar dari Surabaya, Isteri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruan.

Penggabungan ini bukan tanpa alasan. Para aktivis perempuan menyadari bahwa perjuangan mereka akan lebih kuat bila dilakukan dalam wadah bersama.

Gerwis mengusung semangat emansipasi perempuan dalam bingkai nasionalisme dan sosialisme, dengan fokus pada pemberantasan buta huruf, pendirian sekolah, hingga advokasi kesejahteraan keluarga.

Salah satu alasan pendiriannya adalah karena perempuan di Indonesia kala itu masih buta huruf, terkungkung dalam pernikahan yang tidak setara, serta minim akses pendidikan. Karena itu, Gerwis bergerak di bidang pemberantasan buta huruf, pendirian sekolah, kursus keterampilan, dan advokasi hak-hak perempuan.

Dari Gerwis Menjadi Gerwani

Pada kongres ke-2 tahun 1954, Gerwis berganti nama menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Perubahan ini dimaksudkan agar organisasi tidak hanya berisi "wanita sadar" tetapi terbuka bagi seluruh perempuan Indonesia.

Sejak itu, Gerwani berkembang menjadi organisasi massa yang lebih banyak, menampung perempuan dari berbagai latar belakang, baik istri, ibu rumah tangga, buruh, petani, hingga intelektual.

Visi Gerwani pun meluas. Para perempuan itu bukan hanya mendirikan organisasi yang fokus pada masalah sosial, tetapi juga terlibat dalam isu nasional dan internasional.

Gerwani menuntut hak-hak perempuan dalam perkawinan, termasuk penolakan terhadap praktik poligami. Mereka mendirikan sekolah, mengadakan kursus melek huruf, serta aktif menyuarakan kesehatan ibu dan anak.

Gerwani dan PKI

Menjelang Pemilu 1955, Gerwani mulai berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hubungan ini membawa dua keuntungan. Gerwani mendapat dukungan politik, sementara PKI mampu meraih banyak suara dari kalangan perempuan.

Hasilnya, Gerwani berhasil menempatkan enam anggotanya di DPR. Antara lain Suharti Suwarno, Salawati Daud, dan Umi Sardjono.

Pada awal 1960-an, Gerwani semakin terlihat dalam panggung politik. Mereka mendukung perjuangan nasional seperti pembebasan Irian Barat, pelaksanaan land reform, penurunan harga kebutuhan pokok, serta dorongan lahirnya Undang-Undang Perkawinan yang demokratis.

Hubungan dekat dengan Sukarno dan PKI membuat Gerwani menjadi salah satu organisasi perempuan paling berpengaruh di Indonesia saat itu.

Organisasi Perempuan dengan Jutaan Anggota

Di masa jayanya pada 1965, Gerwani memiliki lebih dari 3 juta anggota. Hal ini menjadikannya sebagai organisasi perempuan terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Mereka juga aktif dalam jaringan internasional melalui Women's International Democratic Federation (WIDF) yang memperkenalkan wajah gerakan perempuan Indonesia ke dunia.

Kegiatan sehari-hari Gerwani mencakup penyuluhan kesehatan, pendidikan baca tulis untuk perempuan desa, hingga kursus keterampilan untuk memberdayakan perempuan. Dibanding organisasi perempuan lain di era itu, Gerwani adalah yang paling progresif dan paling politis.

Tragedi 1965 dan Hancurnya Gerwani

Situasi berubah setelah meletusnya Gerakan 30 September 1965 (G30S). Dengan cepat, Gerwani dituduh terlibat dalam penculikan dan pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya.

Propaganda Orde Baru menuduh anggota Gerwani melakukan penyiksaan seksual terhadap para jenderal, bahkan menari-nari telanjang sebelum membunuh mereka.

Tuduhan ini kemudian disebarkan melalui media massa. Narasi itu menciptakan citra mengerikan tentang Gerwani, seolah-olah mereka adalah simbol kekejaman perempuan.

Meskipun begitu, penelitian sejarah modern, salah satunya oleh antropolog Saskia Wieringa, menemukan bahwa tuduhan mutilasi dan pelecehan seksual tidak memiliki bukti medis yang kuat.. Hasil otopsi jenderal korban G30S menunjukkan luka tembak, bukan mutilasi. Fitnah seksual tersebut lebih merupakan propaganda politik Orde Baru untuk menghancurkan PKI sekaligus gerakan perempuan progresif.

Penangkapan, Penjara, dan Stigma

Setelah 1965, ribuan anggota Gerwani ditangkap dan dijebloskan ke penjara sebagai tahanan politik. Banyak dari mereka, termasuk pemimpin seperti Umi Sardjono dan Kartinah, ditahan bertahun-tahun tanpa pengadilan. Tak sedikit pula yang mengalami penyiksaan fisik dan seksual di penjara.

Stigma 'perempuan asusila' melekat kuat pada anggota Gerwani. Anak-anak mereka sering mengalami diskriminasi, sulit melanjutkan sekolah, atau bahkan tidak diterima bekerja karena dianggap 'keturunan PKI'. Organisasi Gerwani secara resmi dibubarkan, dan sejak itu nama mereka hanya muncul sebagai contoh 'pengkhianat bangsa' dalam narasi Orde Baru.

Setelah reformasi 1998, berbagai sejarawan dan aktivis mencoba merekonstruksi ulang sejarah Gerwani. Upaya ini bukan untuk membangkitkan organisasi lama, tetapi untuk mengembalikan kebenaran sejarah. Banyak peneliti menunjukkan bahwa Gerwani sebenarnya lebih banyak berperan dalam pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan, bukan dalam tindakan kekerasan sebagaimana digambarkan propaganda.

Hingga kini, Gerwani tetap menjadi simbol dari bagaimana narasi sejarah dapat diputarbalikkan untuk kepentingan politik. Organisasi ini juga menjadi pengingat bahwa gerakan perempuan yang progresif dan pro rakyat pernah tumbuh begitu besar di Indonesia, sebelum dihancurkan oleh stigma dan kekerasan politik. Tuduhan kejam yang diarahkan kepada mereka terbukti lebih banyak bersumber pada propaganda dibanding fakta sejarah.

Demikianlah sejarah terbentuk, perjuangan, dan keruntuhan Gerwani. Semoga bermanfaat.

Halaman 2 dari 3
(des/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads