Setiap akhir September, masyarakat Indonesia kembali diingatkan pada peristiwa kelam G30S/PKI. Nama enam jenderal dan satu perwira yang gugur dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi. Namun, benarkah korban G30S PKI bukan hanya para jenderal?
Seperti yang diketahui, enam jenderal dan satu perwira yang menjadi Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal (Letjen) Suprapto, Letnan Jenderal (Letjen) S. Parman, Letnan Jenderal (Letjen), M. T. Haryono, Mayor Jenderal (Mayjen) Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten (Anumerta) Pierre Tendean.
Dikutip dari buku Suara Di Balik Prahara karya Baskara T. Wardaya, dan buku 1965 pada Masa Kini: Hidup dengan Warisan Peristiwa Pembantaian Massal karya Martijn Eickhoff, dkk, disebutkan bahwa korban dari kejadian G30S PKI bukan hanya para jenderal, tapi juga berasal dari berbagai kalangan. Mereka adalah petani, buruh, perempuan, anak-anak, hingga pejabat lokal yang tak pernah tercatat namanya dalam monumen atau buku sejarah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian sejarawan memperkirakan, korban akibat peristiwa G30S PKI dan setelahnya dari 1965-1966 bisa mencapai 500-1 juta jiwa.
Korban G30S PKI Selain para Jenderal
1. Petani dan Buruh Kecil
Banyak petani dan buruh menjadi korban karena dianggap simpatisan PKI. Padahal, sebagian besar dari mereka hanya aktif di organisasi massa seperti Barisan Tani Indonesia (BTI) atau SOBSI untuk memperjuangkan hak ekonomi.
Di Bali, sekitar 6.000 petani dieksekusi hanya dalam waktu tiga hari. Mereka dibawa ke gudang oleh pasukan militer sebelum ditembak mati. Dalam buku Suara di Balik Prahara, saksi menjelaskan tentang malam-malam ketika tetangga mereka diciduk dan tak pernah kembali.
2. Perempuan dan Anggota Gerwani
Perempuan tak luput dari korban G30S PKI. Anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dituduh terlibat dalam penyiksaan jenderal, meski kemudian terbukti tuduhan itu adalah bagian dari propaganda. Banyak perempuan di penjara, dilecehkan, bahkan diperkosa.
Kesaksian penyintas menunjukkan bahwa kekerasan seksual dilakukan secara sistematis, bukan insiden terpisah. Menurut catatan, bahkan seorang ibu rumah tangga desa biasa, menjadi sasaran untuk ditangkap dan dipaksa mengaku anggota Gerwani meski ia bukan aktivis politik. Setelah bebas, ia terus hidup dalam stigma sosial.
3. Anak-anak dan Keluarga Tahanan Politik
Stigma "anak PKI" melekat hingga puluhan tahun. Anak-anak korban kehilangan hak sekolah, sulit mendapat pekerjaan, dan terus dimarjinalkan.
Penelitian dari IKIP Surabaya mencatat, banyak anak korban yang harus berhenti sekolah karena tekanan sosial. Bahkan hingga era Reformasi, masih ada yang menyembunyikan identitas keluarganya agar bisa diterima di masyarakat.
4. Warga Desa Penolong Buronan PKI
Pada Operasi Trisula (1968, Blitar Selatan), militer mengejar sisa anggota PKI. Warga desa yang memberi makan atau tempat tinggal dianggap simpatisan. Banyak petani dan ibu rumah tangga ikut ditangkap, disiksa, dan dipenjara.
Ada yang ditahan hanya karena memberi nasi kepada pelarian. Setelah bebas, ia tetap dicap sebagai "orang PKI" dan sulit diterima di lingkungannya.
5. Etnis Tionghoa
Etnis Tionghoa juga menjadi korban karena propaganda yang mengaitkan PKI dengan Tiongkok. Mereka mengalami diskriminasi ganda: sebagai minoritas etnis sekaligus dicurigai sebagai komunis. Banyak yang ditangkap, propertinya disita, bahkan menjadi sasaran pembunuhan.
6. Pejabat Daerah dan Tokoh Lokal
Tak sedikit pejabat lokal ikut jadi korban. Di Semarang, salah satu kuburan massal diduga berisi jasad seorang Bupati Kendal. Guru, lurah, hingga tokoh masyarakat yang dianggap dekat dengan PKI ikut dieksekusi tanpa pengadilan.
Selain itu, juga ada seniman hingga tokoh lain yang dituduh menjadi simpatisan PKI. Mereka disuruh kerja paksa, ditangkap, bahkan diasingkan.
*Penulis adalah peserta magang Program PRIMA Magang PTKI Kementerian Agama
(faz/faz)