Situs Batu Gamping, Tempat Bertapa Sultan HB I Cari Wangsit Bangun Keraton

Situs Batu Gamping, Tempat Bertapa Sultan HB I Cari Wangsit Bangun Keraton

Steffy Gracia, Fiesta Inka Purwoko, Mahendra Lavidavayastam - detikJogja
Kamis, 28 Des 2023 20:57 WIB
Inilah situs Batu Gamping, yang diyakini menjadi lokasi bertapanya Sultan Hamengku Buwono I saat dikunjungi pada Selasa (12/12/2023).
Foto: Inilah situs Batu Gamping, yang diyakini menjadi lokasi bertapanya Sultan Hamengku Buwono I saat dikunjungi pada Selasa (12/12/2023). (Steffy Gracia/detikJogja)
Sleman -

Cagar Alam Batu Gamping tidak hanya menawarkan panorama alam yang memukau, tetapi juga menyimpan sejarah dan kekayaan budaya yang menarik. Rupanya Situs Batu Gamping memiliki keterkaitan dengan Sultan Hamengku Buwono I dan berdirinya Keraton Jogja. Seperti apa kisah sejarahnya? Simak penjelasannya berikut ini.

Mengutip laman resmi BKSDA Jogja, Cagar Alam Batu Gamping adalah situs cagar budaya yang berupa batu gamping dan area altar persembahan bekakak. Kawasan Cagar Alam Gunung Gamping terletak di hamparan daerah bekas penambangan batu gamping yang terbentuk pada zaman eosin 50 juta tahun lalu.

Tim detikJogja berkesempatan untuk mendatangi Batu Gamping yang berlokasi di Jalan Gamping Tengah, Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DIY. Berdasarkan pantauan detikJogja pada Selasa (12/12/2023), susunan dari batu gamping sendiri dari satu gundukan batu berwarna putih, putih kemerahan, sampai abu-abu gelap.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gundukan batu gamping ini menjulang tinggi kira-kira sekitar 10 meter. Adapun terlihat bekas-bekas sesajen dari ritual yang masih dilakukan oleh masyarakat setempat.

Inilah situs Batu Gamping, yang diyakini menjadi lokasi bertapanya Sultan Hamengku Buwono I saat dikunjungi pada Selasa (12/12/2023).Inilah situs Batu Gamping, yang diyakini menjadi lokasi bertapanya Sultan Hamengku Buwono I saat dikunjungi pada Selasa (12/12/2023). Foto: Steffy Gracia/detikJogja

Tempat Bertapa Sultan HB I

Juru Kunci Situs Batu Gamping, Sugito, menceritakan bahwasanya tempat tersebut menjadi tempat bertapanya Pangeran Mangkubumi, atau kelak dikenal sebagai atau Sultan Hamengku Buwono I saat singgah di Pesanggrahan Ambarketawang.

ADVERTISEMENT

Sugito mengungkapkan, Pangeran Mangkubumi saat itu bertapa di puncak tertinggi Gunung Gamping dengan menaiki bukit gamping di sekelilingnya. Dia melakukan tapa untuk meminta petunjuk terkait pembangunan Keraton Yogyakarta yang telah berdiri sekarang ini.

"Ini dulu tempat bertapanya Pangeran Mangkubumi atau HB I. Diberi petunjuk ayahnya, Amangkurat IV untuk membuat kerajaan di Pacetokan yang Keraton sekarang itu. Di sini meminta petunjuk sama Yang Kuasa untuk tahu tepat titiknya membangun di mana," jelas Sugito saat ditemui tim detikJogja, Selasa (12/12) di lokasi Cagar Alam Batu Gamping.

"Sultan HB I bertapa di puncak Gunung Gamping. Nah, disekelilingnya banyak bukit yang tinggi dan ada yang pendek, yang dapat dilalui untuk sampai ke Gunung Gamping. Jadi Pangeran Mangkubumi untuk naik nggak usah pake tangga, udah ada trap-trapnya batunya," tambahnya.

Jadi Bahan Membangun Benteng Keraton Jogja

Diketahui, konon situs Gunung Gamping berbentuk hamparan perbukitan kapur yang memanjang. Hal tersebut membuat Sultan HB I untuk memerintahkan para pengikutnya menambang batu Gamping di sana untuk dijadikan fondasi pembangunan Benteng Keraton Jogja yang akan dibangun di Dusun Pacetokan.

"Pengikut sama warga Sultan HB I itu nambang batu di sini untuk keperluan bikin fondasi benteng Keraton Jogja. Karena dulu belum ada alat kendaraan, jadi dulu dipikul kayak estafet itu ke Pacetokan," ujar Sugito.

Bentuk Awal Gunung Gamping

Situs Batu Gamping konon berbentuk perbukitan kapur yang memanjang. Namun seiring berjalannya waktu, bukit ini terus dikikis untuk pembangunan fondasi Keraton Jogja dan pembangunan Benteng Vredeburg.

Adapun saat masa penjajahan Jepang, Batu Gamping ini sempat ingin diledakkan untuk diambil gampingnya sebagai bahan dasar pembuatan kaca. Hal tersebut terlihat di sisi-sisi Batu Gamping yang meninggalkan bekas pengeboran untuk diletakkan bom kecil

"Dulu lebih tinggi lagi, tapi sama Jepang dipangkas karena batunya mengandung gampingnya dibawa pulang untuk jadi bahan kaca kristal," jelas Sugito.

"Ini bekas-bekas bornya banyak, mau diledakan sama Jepang," imbuhnya.

Di situs Batu Gamping juga ada tradisi Upacara Bekakak. Seperti apa tradisinya? Simak di halaman berikut:

Upacara Tradisi Bekakak

Selain itu, terdapat Upacara Bekakak yang merupakan tradisi masyarakat setempat yang dilakukan di situs Batu Gamping. Ritual ini digelar dengan tujuan menghormati roh-roh masyarakat dan abdi dalem kepercayaan Sultan Hamengku Buwono I yang tertimbun akibat gempa saat dilakukan penambangan batu gamping.

Lebih lengkap, Sugito menjelaskan mulanya gempa menimbun pengikut Pangeran Mangkubumi yang melangsungkan hajat menikahkan anaknya di gua di sekitar Bukit Gamping. Namun, terjadi gempa susulan yang menimbun abdi dalem Ki Wirasuta.

"Saat penambangan batu dilakukan ada pengikut atau penambang HB I itu punya hajat, menikahkan anak-anaknya. Karena belum ada permukiman, jadi dilakukan di gua-gua. Sayangnya waktu hari-H terjadi gempa yang meruntuhkan banyak pengikut, termasuk temanten tersebut," cerita Sugito.

"Beberapa kepercayaan (abdi dalem) HB I diminta untuk mengecek lokasi (terjadinya gempa). Namun, ada gempa susulan, jadinya mereka kena runtuhan batu, terutama Ki Wirasuta," imbuhnya.

Saat itu, masyarakat percaya peristiwa gempa terjadi karena penunggu Batu Gamping marah atas aktivitas penambangan yang dilakukan. Sultan Hamengku Buwono I akhirnya memerintahkan untuk mengadakan upacara Bekakak dengan memberikan sesaji kepada roh penunggu Batu Gamping. Sesajen yang diberikan berbentuk boneka manten (pengantin) Jawa yang duduk bersila dan dibuat dari tepung ketan yang berisi cairan gula merah.

"Dulu masih ada kepercayaan yang dianggap (peristiwa gempa) Gunung Gamping itu marah, karena nambang nggak pake sesaji. Sultan HB I akhirnya memerintahkan tiap hari naasnya yang kena musibah supaya bikin sesaji yg mirip temanten dari tepung ketan dibikin kayak boneka temanten," jelas Sugito

Upacara Bekakak dilakukan setiap tahunnya di bulan Sapar dalam penanggalan Kalender Jawa. Upacara Bekakak juga disebut Saparan mengingat upacara ini dilakukan di bulan Safar.

"Peristiwa itu (gempa) terjadi di hari Jumat pertengahan bulan Sapar. Karena bulan Sapar itu nggak tentu harinya Jumat toh, jadi bisa depannya atau setelahnya," tambah Gito.

Bekakak sendiri memiliki arti korban penyembelihan hewan atau manusia di mana manusia yang dimaksud dalam upacara ini merupakan tiruan manusia yang berwujud sepasang boneka pengantin Jawa yang dijadikan sesajen. Maka dari itu proses upacara bekakak ini berupa penyembelihan sesajen tadi yang juga dilengkapi dengan tumpeng, jajan pasar, ingkung ayam, dan sebagainya. Tujuan dari upacara ini juga sebagai tolak bala, yakni untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar melindungi masyarakat dari musibah.

Artikel ini ditulis oleh Steffy Gracia, Fiesta Inka Purwoko, dan Mahendra Lavidavayastama peserta magang bersertifikat di detikcom.

Halaman 2 dari 2
(apu/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads