Dosen Antropologi Kesehatan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Prof. Dr. Atik Triratnawati belum lama ini dikukuhkan menjadi Guru Besar atau Profesor berkat masuk angin. Atik, melakukan penelitian yang mengangkat masuk angin sebagai fenomena budaya.
Berkat itulah Atik dikukuhkan sebagai Guru Besar UGM dalam Bidang Antropologi Kesehatan pada Selasa (10/6) di Balai Senat UGM. Dalam pengukuhannya, Atik juga memaparkan temuannya itu.
"Orang Jawa punya konstruksi budaya terkait dengan masuk angin bahwa masuk angin diakibatkan tubuh terlalu dominan, terlalu kebanyakan kemasukan angin. Sehingga sehat itu harmoni antara panas dan dingin," ujar Atik saat dihubungi detikJogja, Senin (16/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penjelasan Atik mengenai masuk angin ini juga menjadi salah satu berita terpopuler di detikJogja dalam pekan ini. Berikut beberapa temuan Atik terkait masuk angin dalam pemberitaan detikJogja:
Tak Cercatat dalam Dunia Medis
Atik menyebut masuk angin menyebut masuk angin sebagai fenomena medis karena masuk angin ternyata tak tercatat dalam dunia medis. Dalam medis, gejala-gejala masuk angin lebih mengerucut ke penyakit flu.
"Karena masuk angin itu tidak ada di dalam kamus medis modern. Jadi tidak ada penyakit masuk angin, kata dokter. Adanya common cold atau flu. Sehingga dokter menyembuhkan masuk angin dengan obat flu atau obat common cold, panas dingin itu," tuturnya.
Padahal, orang Jawa memiliki konstruksi tentang masuk angin yang berbeda dengan flu. Sehingga orang-orang tak mengobati masuk angin dengan obat flu atau obat penurun panas.
Menurutnya, rasa sakit dan penyakit juga dipengaruhi oleh komunitas tempat penderitanya. Masyarakat di suatu tempat bisa memiliki konstruksi tersendiri terhadap apa yang dirasakannya.
"Rasa sakit dan penyakit itu dibentuk oleh komunitas tempat penderita itu merasakan sakit. Sehingga label sakit, penyembuhannya, gejala, recovery, dan sebutan-sebutan khusus itu dipengaruhi oleh budaya si penderita," tuturnya.
"Maka penyakit menurut fenomena sosial budaya itu penyakit dilihatnya dari sisi si sakit, apa yang dirasakan si sakit, apa yang dikonstruksikan penyakitnya itu oleh si sakit. Pendeknya semua basisnya itu dari pasien dan komunitasnya. Karena pasien dibentuk oleh komunitas," jelasnya
3 Jenis Masuk Angin
Masyarakat Jawa sendiri memiliki tiga jenis dalam kasuk angin. Yakni masuk angin ringan, berat, dan kasep.
"Jadi masuk angin ringan itu gejalanya seperti kembung, panas, dan pegal-pegal.Masuk angin berat ada tambahan dua gejala, mutah dan mencret," ujarnya.
Masuk angin paling berat disebut kasep yang mana dalam kasus terparah penderita bisa tidak tertolong.
"Kalau masuk angin kasep itu kelas yang paling tinggi. Itu gejalanya tidak dirasakan oleh penderita, tapi penderita tiba-tiba mengalami shock karena sesak napas," jelasnya.
"Kalau orang medis menyebut serangan jantung, itu kasep. Tidak pernah dirasakan, tidak pernah dikerok, tidak pernah diobati, tapi dipakai kerja terus. Akhirnya gejala itu akan datang tiba-tiba dalam bentuk serangan jantung. Biasanya tidak tertolong," ungkap Atik
Tawarkan Pengobatan Selain Kerokan
Masyarakat Jawa memang lebih mengenal kerokan atau menggosok bagian punggung dengan koin untuk mengobati masuk angin. Menurutnya, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menggantikan kerokan
"Banyak pengobatan sederhana untuk menggantikan kerokan. Misalnya minum kopi panas, jahe panas, the panas, terus leren atau berhenti, istirahat. Bisa juga pijat, itu cara sederhana. Karena kalau kerokan itu dia nyeri. Begitu dipijat seluruh tubuh, suhu turun dan sembuh," tuturnya.
Sementara untuk masuk angin kasep harus dibawa ke ke tenaga medis. Sebab, jika tak ditangani bisa berujung mematikan bagi penderita.
"Kalau kasep, bisa diselamatkan, tapi harus medis modern atau ke dokter. Tapi karena orang awam, biasanya kaget, pasien dibiarkan ya bablas. Umumnya meninggal nggak ada yang terselamatkan," jelas Atik.
"Tapi kalau orang pemahaman cukup, paham medis tradisional dan modern. Waktu serangan itu atau sesak napas, langsung dilarikan ke rumah sakit. Di IGD itu ada pertolongan pertama untuk serangan jantung. 15 menit pertama itu menentukan sembuh tidaknya pasien," pungkasnya.
(afn/afn)
Komentar Terbanyak
Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Ramai Dikritik, Begini Penjelasan PPATK
Akhir Nasib Mobil Vitara Parkir 2,5 Tahun di Jalan Tunjung Baru Jogja
Megawati Resmi Dikukuhkan Jadi Ketum PDIP 2025-2030