UGM Larang Dosen 'Killer', Begini Respons Mahasiswa

UGM Larang Dosen 'Killer', Begini Respons Mahasiswa

Jauh Hari Wawan S - detikJogja
Selasa, 31 Okt 2023 19:06 WIB
Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM)
Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). (Foto: dok. detikJogja)
Sleman -

Universitas Gadjah Mada (UGM) bakal membuat aturan untuk melarang dosen keras atau dosen 'killer'. Kebijakan ini pun mendapat respons dari mahasiswa.

Inka, mahasiswa UGM angkatan 2020 menilai paradigma dosen 'killer' atau tidak tergantung dari tiap mahasiswa. Sebab, dia menilai setiap dosen punya cara tersendiri untuk mengajar.

"Soal yang UGM akan menghapus dosen-dosen killer sebenarnya aku tim netral. Karena cara dosen ngajar itu berbeda-beda, ya mungkin memang sosoknya kaku tegas seperti itu," kata Inka kepada detikJogja, Selasa (31/10/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, image dosen yang dianggap 'killer' tak melulu jelek. Dia tetap bisa menyerap ilmu dari sang dosen dan terkadang secara mandiri mencari tambahan materi kuliah.

"Baiknya sih kalau dosen killer jadi buat aku sama beberapa temenku tu selalu membaca jurnal sesuai topik kelas yang akan datang. Biar kalau ditunjuk bisa jawab nggak yang ngang ngong gitu dan itu menurutku ada baiknya juga sih jadi lebih banyak baca jadi lebih mencoba memahami topik pembelajarannya di kelas," bebernya.

ADVERTISEMENT

Meski demikian, dia mengaku pernah masuk di kelas dosen yang dicap 'killer'.

"Kalau pengalaman diajar sama dosen killer pernah ya, kayak dosennya suka nunjuk-nunjuk disuruh jawab pertanyaan, yang ngasih nilainya pelit, yang sistem ujiannya pake Zoom harus ngeliatin muka, pas masih kelas online karena COVID-19, yang kalau telat lebih 15 menit dianggap nggak masuk kelas," katanya.

Dia mengaku sempat tertekan dengan dosen-dosen yang dianggap 'killer' di kelas.

"Macam-macam bentuk dosen killernya. biasanya dosen killernya tuh matkul (mata kuliah) yang susah, dijelasin sama dosen-dosen tersebut makin susah memahaminya soalnya udah tertekan duluan," ujarnya.

Sementara itu, mahasiswa UGM lainnya, Anan angkatan 2020, menilai kriteria dosen 'killer' itu berbeda-beda. Salah satunya ada yang menganggap pelit memberi nilai ke mahasiswa. Ada juga dari sikap dan tutur kata membuat sakit hati.

"Menurutku itu tidak harus sampai dihilangkan atau dihapus karena kan memang dari awal pertemuan masuk kuliah itu ada kontrak belajar," kata Anan.

Dia melihat, sikap dosen kepada mahasiswa juga bergantung kepada mahasiswa di kelas.

"Bisa saja dosen itu terpicu emosinya karena dari mahasiswa ini tidak mengikuti aturannya sehingga dosennya bisa terbawa emosi dan kita menganggap dosen itu dosen 'killer' padahal itu tidak juga. Perlu dicari tahu bagaimana sampai dikatakan dosen killer itu," jelasnya.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Diberitakan sebelumnya, UGM akan melarang dosen keras atau dikenal dengan sebutan 'dosen killer' berada di lingkungan kampus. Langkah ini diambil menyikapi isu kesehatan mental mahasiswa dan menciptakan suasana belajar yang nyaman tanpa ada kekerasan baik fisik maupun psikis.

"Kita sedang membuat gerakan untuk kampus yang aman nyaman inklusif, ramah dan bertanggung jawab secara sosial dan yang (kita buat) salah satunya kita membuat relasi yang menyenangkan antara dosen dengan mahasiswa," kata Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM, Prof Wening Udasmoro, saat dihubungi wartawan, Senin (31/10).

UGM, kata Prof Wening, ingin menghapus kekerasan verbal, kekerasan psikologis apalagi kekerasan fisik, maupun kekerasan mental kepada mahasiswa. Termasuk juga kekerasan seksual.

Menurutnya, kehadiran dosen killer di lingkungan kampus sudah tidak relevan lagi di era sekarang. "Sangat tidak relevan, karena untuk apa gitu (dosen killer). Karena pada dasarnya kan kalau hanya, kita kan di perguruan tinggi mengajarkan value," tegasnya.

Halaman 2 dari 2
(aku/rih)

Hide Ads