Muhammadiyah Desak Status Bencana Nasional Sumatera: Bukti Kehadiran Negara

Muhammadiyah Desak Status Bencana Nasional Sumatera: Bukti Kehadiran Negara

Tim detikJogja - detikJogja
Jumat, 19 Des 2025 16:51 WIB
Muhammadiyah Desak Status Bencana Nasional Sumatera: Bukti Kehadiran Negara
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, dan Rektor UMY, Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc., dalam konferensi pers di UMY, Jumat (19/12/2025). (Foto: dok. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
Jogja -

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, mendesak negara untuk segera menetapkan status bencana nasional untuk rangkaian bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Busyro menilai penetapan status kebencanaan itu merupakan tanggung jawab negara atas keselamatan warga.

Hal itu disampaikan Busyro dalam konferensi pers bertajuk 'Korupsi Sumber Daya Alam dan Bencana Kemanusiaan' di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat (19/12/2025). Dia menilai bencana di Sumatera itu tidak dapat sekadar berstatus bencana daerah biasa lantaran dampaknya melampaui kemampuan penanganan dari pemerintah daerah.

"Penetapan status darurat kemanusiaan nasional bukan soal administratif atau politis. Ini adalah bentuk tanggung jawab konstitusional negara terhadap keselamatan warganya," tegas Busyro seperti dalam keterangan tertulis yang diterima detikJogja, hari ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Merujuk data korban dan kerusakan akibat bencana di Sumatera itu, Busyro mengatakan, penanganan bencana dapat berlangsung secara parsial, lambat, dan bergantung kepada pemerintah daerah dan masyarakat sipil, serta berisiko memperlambat pemulihan dan memperpanjang penderitaan korban. Hal itu terjadi lantaran belum ditetapkannya status bencana nasional.

Hingga pertengahan Desember 2025, tercatat sebanyak 1.053 korban meninggal dunia, lebih dari 200 orang dinyatakan hilang, dan sekitar 7 ribu korban lainnya mengalami luka-luka. Akibat bencana tersebut, kerusakan juga meliputi sebanyak 290 gedung dan kantor, 219 fasilitas kesehatan, 967 fasilitas pendidikan, 145 jembatan, dan sekitar 1.600 fasilitas umum lainnya.

ADVERTISEMENT

Lebih lanjut, Busyro berpendapat, penetapan status darurat nasional bakal memperkuat legitimasi negara di mata publik, menunjukkan keberpihakan terhadap korban, dan keseriusan penanganan krisis kemanusiaan.

"Jika negara tidak segera mengambil alih tanggung jawab secara nasional, penderitaan korban akan semakin panjang dan pemulihan tidak berjalan optimal. Penetapan status bencana nasional bukan tanda kelemahan negara, melainkan bukti kehadiran negara. Rakyat akan melihat bahwa pemerintah benar-benar hadir ketika mereka berada dalam kondisi paling rentan," ungkapnya.

Busyro Nilai Bencana Tak Lepas dari PSN

Busyro turut menggarisbawahi bencana kemanusiaan dan kerusakan lingkungan di Sumatera tak bisa lepas dari kebijakan pembangunan yang mengabaikan daya dukung alam. Pun sejumlah tragedi kemanusiaan dan kerusakan ekologis di beberapa daerah, kata Busyro, merupakan dampak langsung dari Proyek Strategi Nasional (PSN).

Busyro menjelaskan, PSN mengakibatkan konflik agraria, kerusakan alam, dan penderitaan masyarakat di tingkat lokal. Sejak pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi), ungkap Busyro, kebijakan PSN mengabaikan aspek lingkungan, hak masyarakat lokal, dan mekanisme partisipasi publik.

"Yang terjadi di daerah-daerah itu bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Itu adalah hilirisasi dari kebijakan nasional, terutama Proyek Strategis Nasional," jelas Busyro.

Sejumlah konflik dan bencana di daerah, Busyro menjelaskan, tidak dapat lepas dari keputusan politik pembangunan di tingkat pusat. Seperti halnya kasus konflik agraria dan kerusakan lingkungan di Wadas, Rempang, Banyuwangi, Banten, Halmahera Tengah, hingga Morowali yang dikaji Muhammadiyah bersama akademisi melalui riset multidisipliner.

Busyro menilai, negara terlihat memaksakan agenda ekonomi tanpa kesiapan tata kelola berkeadilan dalam pola PSN. Busyro juga menyoroti proses pengambilan keputusan yang tersentral dapat melemahkan kontrol publik sekaligus membuka ruang bagi kepentingan modal untuk mempengaruhi kebijakan.

"Hilirisasi kebijakan pembangunan ini berujung pada tragedi kemanusiaan dan ekologis. Ketika negara memprioritaskan kepentingan investasi tanpa perlindungan yang memadai, masyarakatlah yang menanggung dampaknya," jelasnya.

"Jika arah kebijakan pembangunan nasional tidak dikoreksi, maka tragedi kemanusiaan dan ekologis ini akan terus berulang," imbuhnya.

Lebih lanjut, Busyro menyebut prasyarat utama dalam menghentikan korupsi sumber daya alam (SDA) adalah membenahi sistem politik nasional secara menyeluruh. Busyro juga mendorong masyarakat sipil untuk melakukan judicial review dan revisi total Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilu, dan Undang-Undang Pilkada, lantaran menjadi ujung dari korupsi struktural yang memengaruhi kebijakan publik, termasuk pengelolaan SDA.

"Korupsi sumber daya alam tidak lahir secara tiba-tiba. Ia merupakan produk dari sistem politik yang memungkinkan terjadinya state capture corruption, ketika kebijakan negara dikendalikan oleh kepentingan ekonomi segelintir pihak," ujar Busyro.

Rektor UMY Soroti Salah Kelola SDA di Sumatera

Sementara itu Rektor UMY, Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc., menyebutkan banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi di Sumatera itu merupakan dampak dari akumulasi kebijakan pengelolaan SDA yang salah selama satu hingga dua dekade terakhir.

"Bencana ini tidak terlepas dari tangan-tangan manusia, dari kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang kita ambil bertahun-tahun lalu. Ketiga provinsi terdampak merupakan wilayah dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat besar, mulai dari hutan dengan bentangan luas, hingga sumber daya tambang dan minyak," ujar Nurmandi.

Nurmandi pun merujuk pandangan ekonom peraih Nobel, Daron Acemoglu dan James A. Robinson, terkait SDA bisa menjadi kutukan SDA atau resource curse jika dikelola dengan tidak baik. Dia menambahkan, pandangan tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan tiga provinsi di Sumatera itu memiliki indeks kutukan SDA.

"Indeks kutukan sumber daya alam di tiga provinsi ini cukup tinggi. Artinya, ada kesalahan-kesalahan fatal yang kita lakukan dalam pengelolaan sumber daya alam," imbuhnya.

Lebih lanjut, Nurmandi mengatakan pindahnya kewenangan pemerintah daerah ke pemerintah pusat dalam hal perizinan kehutanan tidak cukup memperbaiki tata kelola.

"Ketika kewenangan ditarik ke pusat, praktiknya hampir sama. Jadi persoalannya adalah kesalahan kita semua dalam mengelola sumber daya alam," kata Nurmandi yang juga merupakan Guru Besar bidang Ilmu Pemerintahan UMY.

"Contohnya bencana banjir. Air akan selalu mengikuti gravitasi dan mengalir ke wilayah yang lebih rendah. Namun jika kawasan hulu rusak dan daya dukung lingkungan melemah, dampaknya menjadi jauh lebih destruktif bagi wilayah hilir," lanjutnya.




(aku/apl)


Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads