- Sejarah Jamasan Pusaka
- Tujuan Jamasan Pusaka
- Makna Tradisi Jamasan Pusaka
- Prosesi Lengkap Jamasan Pusaka 1. Persiapan dan Pengiriman Perlengkapan Sugengan 2. Upacara Sugengan Ageng 3. Pemberitahuan dari Sri Sultan 4. Pengambilan Pusaka dari Tempat Penyimpanan 5. Iring-iringan Menuju Tempat Siraman 6. Penyiraman Pusaka di Pagongan atau Bangsal 7. Pemberian Minyak 8. Penggantian Kain Penutup (Singeb) 9. Pemberian Busana Pusaka 10. Pengembalian Pusaka ke Tempat Penyimpanan 11. Penaburan Bunga dan Pembakaran Kemenyan 12. Penjagaan Payung Kuning 13. Penutupan Upacara dan Kepulangan Abdi Dalem
Di balik megahnya budaya Jawa, ada satu ritual sakral yang terus dilestarikan hingga kini, yaitu tradisi jamasan pusaka. Tradisi ini bukan sekadar mencuci benda warisan, melainkan bagian penting dari upaya merawat warisan leluhur secara fisik dan spiritual. Di Keraton Yogyakarta, prosesi ini menjadi momen tahunan yang sarat makna dan penuh khidmat.
Jamasan atau siraman pusaka juga mencerminkan penghormatan mendalam terhadap sejarah, nilai-nilai kejawen, dan hubungan manusia dengan alam serta Sang Pencipta. Waktu pelaksanaannya pun bukan sembarang hari. Dipilihlah bulan Suro, yang diyakini membawa aura spiritual paling kuat dalam penanggalan Jawa.
Ingin tahu lebih dalam mengenai tradisi jamasan pusaka yang dilakukan di Keraton Yogyakarta, detikers? Yuk, simak informasi yang dirangkum detikJogja dari buku Upacara Tradisional Siraman Pusaka Keraton YogyakartΠ° terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta laman resmi Portal Berita Pemerintah Kota Yogyakarta berikut ini!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Jamasan Pusaka
Tradisi jamasan pusaka Kraton Yogyakarta merupakan warisan budaya yang telah berlangsung sejak masa para Sultan terdahulu. Istilah 'siraman' berasal dari kata 'siram' yang berarti mandi, dan bersinonim dengan kata 'jamas'.
Dalam konteks ini, istilah siraman dan jamasan mengacu pada praktik memandikan atau menyucikan pusaka-pusaka yang dianggap sakral milik keraton. Benda pusaka tersebut termasuk keris, tombak, pedang, hingga benda-benda bertuah lainnya.
Pelaksanaan upacara ini dijadwalkan setahun sekali, setiap bulan Suro dalam penanggalan Jawa. Tradisi ini dipercaya telah berlangsung sejak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I dan dilestarikan secara turun-temurun oleh penerusnya. Sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX, jamasan pusaka dilaksanakan dalam waktu dua hari, membatasi jumlah pusaka yang disirami karena banyaknya koleksi keraton yang mencapai ratusan.
Tujuan Jamasan Pusaka
Tradisi jamasan pusaka di lingkungan Keraton Yogyakarta maupun Pemerintah Kota Yogyakarta, tidak sekadar upacara simbolik. Tujuan utamanya adalah untuk merawat kondisi fisik pusaka agar tetap awet dan terhindar dari kerusakan. Karat, kelembapan, dan endapan minyak lama dapat mempercepat proses pelapukan besi. Oleh karena itu, siraman dengan jeruk nipis, air bunga, hingga pemberian minyak baru menjadi langkah nyata untuk menjaga ketahanan pusaka secara berkala.
Selain itu, prosesi ini juga dimaksudkan untuk mendeteksi secara dini jika ada tanda-tanda kerapuhan atau kerusakan pada bagian pusaka. Penanganan sejak awal akan mencegah kerusakan lebih parah dan menjaga nilai historis serta sakralitasnya. Namun, di balik tujuan praktis tersebut, jamasan juga menyimpan dimensi spiritual dan kepercayaan masyarakat Jawa.
Pusaka dianggap sebagai benda bertuah yang menyimpan kekuatan gaib. Maka, proses pembersihannya diyakini membawa keselamatan, menolak bala, dan menjaga keseimbangan antara dunia lahir dan batin. Bagi sebagian kalangan, air bekas jamasan bahkan dianggap memiliki tuah dan sering dimanfaatkan sebagai sarana spiritual.
Makna Tradisi Jamasan Pusaka
Tradisi jamasan pusaka tidak hanya dimaknai sebagai bentuk perawatan fisik terhadap benda pusaka, tetapi juga memiliki kedalaman makna spiritual dalam budaya Jawa. Dalam konteks ini, jamasan menjadi sarana komunikasi spiritual antara masyarakat dengan alam semesta dan kekuatan gaib yang diyakini menyertai benda-benda pusaka.
Jamasan juga menjadi bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur yang sarat makna dan sejarah. Pusaka-pusaka yang dimandikan bukan sekadar benda, melainkan simbol kebesaran, tanggung jawab, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Dengan melestarikan tradisi ini, masyarakat Jawa secara tidak langsung menjaga hubungan spiritual dengan masa lalu serta memperkuat identitas budaya di tengah perubahan zaman.
Prosesi Lengkap Jamasan Pusaka
Upacara siraman atau jamasan pusaka Keraton Yogyakarta merupakan rangkaian tradisi sakral yang penuh simbol dan tata laku, dijalankan turun-temurun oleh kerabat keraton. Diselenggarakan setahun sekali pada bulan Suro, prosesi ini terbagi dalam beberapa tahapan yang berlangsung selama dua hari.
1. Persiapan dan Pengiriman Perlengkapan Sugengan
Sehari sebelum penyiraman pusaka dimulai, tepatnya pada Senin Wage atau Senin sore sebelum Selasa Kliwon, perlengkapan upacara dikirim ke keraton. Abdi dalem Jajar Sembir dari Pawon Wetan dan Pawon Kulon membawa perlengkapan tersebut melalui gerbang Magangan menuju Bangsal Prabayaksa. Semua persiapan dilakukan dengan tertib dan penuh ketelitian karena menyangkut kelengkapan acara yang dianggap suci.
2. Upacara Sugengan Ageng
Malam harinya, di Bangsal Prabayaksa, diselenggarakan upacara Sugengan Ageng. Ini merupakan bentuk doa bersama untuk keselamatan seluruh prosesi jamasan. Dimulai sekitar pukul 20.00 WIB, sugengan diiringi pembacaan doa oleh abdi dalem Suranata atau Kanca Kaji. Suasana berlangsung hening dan khusyuk.
3. Pemberitahuan dari Sri Sultan
Sebelum penyiraman dimulai keesokan harinya, Sri Sultan atau putra tertuanya menyampaikan pemberitahuan resmi kepada seluruh kerabat keraton. Ini termasuk permaisuri, putra-putri, menantu, para bupati sepuh dan anom, hingga para abdi dalem. Pemberitahuan ini menjadi tanda resmi bahwa upacara akan segera berlangsung, dan seluruh peserta harus bersiap mengikuti sesuai peran masing-masing.
4. Pengambilan Pusaka dari Tempat Penyimpanan
Pagi hari Selasa Kliwon, sekitar pukul 09.00 WIB, para putra Sultan mulai mengambil pusaka-pusaka dari almari penyimpanan di Bangsal Prabayaksa dan gedung Mandragini. Setiap glodhog, yakni kotak kayu berlapis kain putih yang menyimpan keris dan tombak, dibuka dengan kunci khusus yang disebut kempu. Pusaka-pusaka utama seperti Kanjeng Kyai Ageng Plered dan Kopek diambil langsung oleh para putra dalem dengan penuh kehati-hatian.
5. Iring-iringan Menuju Tempat Siraman
Sekitar pukul 10.00 WIB, iring-iringan pusaka dimulai. Dipimpin oleh Sultan atau putra sulungnya, iring-iringan bergerak dari Bangsal Kencana menuju Bangsal Manis dan Pagongan. Di depan barisan, abdi dalem Keparak membawa dupa menyala, diikuti oleh para putra dalem yang mengusung pusaka utama. Di belakang, para abdi dalem lain mengusung glodhog yang berisi pusaka lainnya.
6. Penyiraman Pusaka di Pagongan atau Bangsal
Setibanya di Pagongan atau tempat siraman lain seperti Bangsal Sri Manganti, prosesi penyiraman dimulai. Pusaka-pusaka utama seperti Kanjeng Kyai Ageng Plered dan Kopek disirami di Pagongan, tempat terbuka berpagar. Pusaka lainnya, termasuk keris, tombak, dampar, dan perlengkapan upacara, disirami di dalam bangsal.
Pusaka dibersihkan dengan air jeruk nipis untuk menghilangkan sisa minyak cendana tahun lalu. Setelah itu, dibilas dengan air biasa dan air bunga telon. Prosesnya melibatkan pelan-pelan memel pusaka dengan kawul (kain dari serat bambu), menyikat dengan babut (sikat halus), lalu mengolesi warangan secara merata. Warangan dibiarkan meresap sebelum diguyur kembali dan dilap hingga mengilap.
7. Pemberian Minyak
Setelah selesai dibersihkan dan dikeringkan, pusaka diberi minyak. Untuk pusaka utama seperti Plered dan Kopek, digunakan minyak cendana. Sementara itu, pusaka lainnya cukup diberi minyak kelapa, tergantung jenisnya. Pengolesan dilakukan dengan lembut dan merata, hingga permukaan pusaka tampak berkilau dan siap disimpan kembali.
8. Penggantian Kain Penutup (Singeb)
Kain mori putih yang membungkus setiap glodhog atau pusaka diganti dengan yang baru. Proses ini dilakukan setelah siraman selesai. Namun, untuk pusaka tertentu seperti Kanjeng Kyai Tandhulawak, pemasangan singeb dilakukan setelah selapan (35 hari).
9. Pemberian Busana Pusaka
Beberapa pusaka, terutama yang bersifat simbolik atau memiliki nilai lebih tinggi, dibusani secara khusus. Pusaka-pusaka ini dipakaikan kain cindhe, singeb baru, dan dihiasi untaian bunga kanthil dan melati. Tradisi ini menandakan bahwa pusaka telah kembali dalam keadaan suci, siap menjalani satu tahun lagi sebagai penjaga spiritual keraton.
10. Pengembalian Pusaka ke Tempat Penyimpanan
Sekitar pukul 15.00 WIB, pusaka dikembalikan ke almari penyimpanan di Prabayaksa dan Mandragini. Iring-iringan pengembalian mengikuti rute yang sama seperti saat berangkat. Prosesi tetap dipimpin oleh putra dalem, dengan abdi dalem pembawa dupa di depan. Semua pusaka dimasukkan ke tempat semula dan dikunci kembali dengan protokol ketat.
11. Penaburan Bunga dan Pembakaran Kemenyan
Setelah penyimpanan selesai, para abdi dalem wanita menaburkan bunga sebagai sesaji. Pembakaran kemenyan tetap berlangsung di Bangsal Manis, Mandragini, dan Prabayaksa hingga seluruh prosesi benar-benar selesai. Aroma dupa dan bunga menjadi penanda bahwa suasana sakral masih dijaga sampai titik akhir.
12. Penjagaan Payung Kuning
Selama prosesi, payung kuning yang dibuka di beberapa titik halaman bangsal tidak boleh ditutup. Payung-payung ini dijaga oleh dua abdi dalem Keparak dan hanya akan dilipat setelah seluruh rangkaian siraman benar-benar selesai. Ini menjadi simbol pelindung spiritual sepanjang upacara berlangsung.
13. Penutupan Upacara dan Kepulangan Abdi Dalem
Dengan berakhirnya seluruh prosesi, para abdi dalem kembali ke rumah masing-masing. Mereka percaya bahwa dengan ikut serta dalam siraman pusaka, mereka mendapatkan berkah dan perlindungan dari kekuatan gaib yang masih diyakini melekat pada pusaka-pusaka milik keraton.
Demikianlah tadi penjelasan lengkap mengenai tradisi jamasan pusaka. Semoga bermanfaat!
(sto/ams)
Komentar Terbanyak
Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Ramai Dikritik, Begini Penjelasan PPATK
Kasus Kematian Diplomat Kemlu, Keluarga Yakin Korban Tak Bunuh Diri
Akhir Nasib Mobil Vitara Parkir 2,5 Tahun di Jalan Tunjung Baru Jogja