Gambaran Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Mataram

Nur Umar Akashi - detikJogja
Jumat, 08 Nov 2024 21:50 WIB
Suasana Kompleks Makam Raja-raja Mataram Islam di Kotagede. (Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja)
Jogja -

Dahulu, di Jawa, berdirilah Kerajaan Mataram yang bisa dikategorikan menjadi dua, yakni Mataram Kuno dan Mataram Islam. Salah satu aspek menarik yang patut dibahas mengenai kedua kerajaan ini adalah sisi sosial budayanya.

Sebagai salah satu kerajaan adidaya di Pulau Jawa, Kerajaan Mataram meninggalkan warisan yang tak ternilai dan menjadi daya tarik wisata yang mendunia, sebagaimana penjelasan laman Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Lantas bagaimana gambaran kehidupan sosial budaya Kerajaan Mataram? Berikut ini penjelasannya.

Tentang Kerajaan Mataram Kuno dan Mataram Islam

Pertama-tama, detikers mesti kenali secara ringkas mengenai Kerajaan Mataram Kuno dan Islam. Dirujuk dari laman resmi SMA Negeri 13 Semarang, Kerajaan Mataram Kuno adalah kerajaan maritim yang terletak di pedalaman Jawa Tengah.

Kerajaan ini terbagi atas dua periode, yakni di Jawa Tengah pada abad ke-8 dan di Jawa Timur pada abad ke 9 dan 10. Dinasti yang berkuasa saat periode Jawa Tengah adalah Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Sementara itu, di Jawa Timur, raja-raja dari Dinasti Isyana yang memerintah.

Sementara itu, sebagaimana penjelasan dalam buku Kitab Terlengkap Sejarah Mataram karya Soedjipto Abimanyu, lokasi Kerajaan Mataram Islam berdiri dulunya dikenal dengan nama Alas Mentaok. Alas (hutan) ini terletak di lereng selatan Gunung Merapi dan terbentang dari Kali Progo hingga Opak.

Mulanya, alas ini diberikan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pemanahan. Pasalnya, Danang Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan, berhasil membunuh Arya Penangsang yang menjadi target dari sang sultan.

Setelah Alas Mentaok dibuka dan dikembangkan sedemikian rupa oleh Ki Ageng Pemanahan, Danang Sutawijaya melanjutkan pembangunan yang telah dimulai bapaknya. Dari sanalah berdiri Kerajaan Mataram Islam dengan Danang Sutawijaya sebagai raja pertamanya bergelar Panembahan Senopati.

Nah, usai mengenal secara ringkas tentang Kerajaan Mataram Kuno dan Islam, mari, simak gambaran sosial budaya keduanya melalui uraian di bawah ini.

Kondisi Sosial-Budaya Kerajaan Mataram Kuno

Dirangkum dari Jurnal Patrawidya bertajuk 'Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kerajaan Mataram Kuno Abad IX-X Masehi: Kajian Berdasarkan Prasasti dan Relief' oleh Naufal Raffi Arrazaq dan Saefur Rochmat, kehidupan sosial selalu berbeda dari zaman ke zaman. Lama-kelamaan, dari yang mulanya sederhana, menjadi kompleks.

Pada abad ke-10, artinya Kerajaan Mataram Kuno yang diperintah Dinasti Isyana, berlaku sistem pembagian kasta layaknya India. Hanya saja, dari bukti-bukti prasasti dan relief, tidak diketahui apakah pemberlakuan sistem ini seketat yang ada di India.

Mudahnya, sistem kasta yang berlaku digolongkan menjadi:

  1. Kasta Brahmana: terdiri dari orang-orang yang punya peran dan pengetahuan dalam agama Hindu-Buddha. Tugas golongan ini adalah memutus masalah keagamaan. Selain itu, golongan Brahmana juga mengajar konsep keagamaan kepada murid-muridnya.
  2. Kasta Kesatria: para raja dan pejabat kerajaan adalah orang-orang yang masuk golongan satu ini.
  3. Kasta Waisya: terdiri atas masyarakat yang bekerja sebagai pedagang. Keberadaan golongan ini salah satunya dibuktikan dengan Prasasti Ramwi yang menyebut ketua pedagang dengan istilah tuha dagan.
  4. Kasta Sudra: Sudra adalah kasta golongan rakyat biasa atau kelas bawah. Adanya golongan ini diabadikan dalam Prasasti Luitan. Di dalam prasasti tersebut, dijelaskan adanya masyarakat yang disebut katik. Katik ini oleh Zoetmulder diartikan sebagai pembantu.

Dari segi ekonomi, Kerajaan Mataram Kuno telah berkembang sedemikian pesatnya. Kala itu, bidang pertanian menjadi kunci roda perekonomian kerajaan satu ini. Bahkan, pada saat itu, sistem irigasi telah ditemukan sebagaimana disebut dalam Prasasti Harinjing.

Selain pertanian, kegiatan perdagangan juga telah berlangsung. Komoditas yang diperdagangkan di antaranya adalah beras. Adapun alat-alat pembayaran yang dipakai adalah mata uang emas, yakni suwarna, masa, dan kupang. Tak hanya emas, mata uang perak dengan satuan dharana, masa, dan kupang juga digunakan sebagai alat tukar.

Berbicara mengenai peninggalan budaya, Kerajaan Mataram Kuno punya banyak hal yang menakjubkan. Disadur dari katalog pameran bertajuk Medang dari Museum Pleret, di antara peninggalan budaya yang sampai saat ini bisa disaksikan adalah candi.

Sebut saja Candi Prambanan, Kalasan, Ratu Boko, dan Mantup. Di samping candi, ada juga bangunan sumber air alias petirtaan. Kala itu, petirtaan cukup banyak dibangun karena air punya makna simbolis yang agung. Salah satu petirtaan yang termasyhur adalah Petirtaan Payak di Bantul.

Dikutip dari laman resmi Universitas Islam An Nur Lampung, Kerajaan Mataram Kuno juga meninggalkan sejumlah seni dan sastra. Dari segi seni, berbagai ukiran, patung, hingga relief begitu banyak dijumpai. Sementara dari segi sastra, di antara karya-karya yang muncul kala itu adalah Kakawin Ramayana, Kakawin Arjunawiwaha, dan Kakawin Bharatayuddha.

Kondisi Sosial Budaya Kerajaan Mataram Islam

Dirujuk dari detikHikmah, kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Mataram Islam punya corak feodal. Artinya, pejabat kerajaan adalah tuan tanah, sedangkan rakyat biasa merupakan para penggarap tanah-tanah tersebut.

Dengan berlakunya sistem ini, rakyat diwajibkan membayar upeti atau sebagian hasil panennya kepada tuan tanah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengabdian dan imbalan atas hak pemakaian lahan. Sistem ini pada gilirannya membuat kekuatan ekonomi dan sosial yang besar bagi pejabat dan bangsawan.

Berdasar penjelasan dalam Jurnal JPIS bertajuk 'Eksistensi Kebudayaan Kesultanan Mataram Islam terhadap Perkembangan Tradisi Islam di Jawa (Masa Sultan Agung 1613-1645 M)' oleh Rully Putri Nirmala Puji dkk, kebudayaan Mataram Islam berkembang pesat saat masa pemerintahan Sultan Agung.

Hal ini tentu tidak mengherankan. Pasalnya, kondisi yang makmur dan sejahtera memampukan kebudayaan untuk terus bertumbuh. Misalnya saja, di bidang kesusastraan, Sultan Agung sendiri berhasil menggubah Serat Sastra Gendhing yang termasyhur. Serat tersebut berisikan ajaran seputar filsafat hidup dan kepemimpinan Jawa.

Selain itu, salah satu kemajuan budaya yang signifikan zaman Mataram Islam adalah dipadukannya kalender Hijriah dengan kalender Saka. Akulturasi kedua kalender ini melahirkan Kalender Jawa Islam yang sampai sekarang masih digunakan.

Berbicara tentang kebudayaan dari segi arsitektur, posisi masjid yang terletak dekat keraton menjadi bukti. Masjid-masjid keraton di Kotagede punya atap layaknya kuil-kuil Hindu Asia Selatan. Hal ini menjadi pertanda penggabungan budaya Islam dan Hindu kala itu.

Di samping masjid-masjid keraton, peninggalan dalam bidang arsitektur lainnya adalah:

  1. Pertapaan Kembang Lampir
  2. Makam Kotagede
  3. Masjid Makam Kotagede
  4. Bangsal Duda
  5. Rumah Kalang
  6. Makam Raja-Raja di Imogiri

Nah, itulah gambaran kehidupan sosial budaya Kerajaan Mataram yang dulu berjaya di Jawa. Semoga menambah pengetahuan detikers, ya!



Simak Video "Momen Silaturahmi Empat Trah Kerajaan Mataram Islam"

(sto/ams)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork