Melihat Prosesi Numplak Wajik Keraton Jogja, 7 Gunungan Disiapkan

Melihat Prosesi Numplak Wajik Keraton Jogja, 7 Gunungan Disiapkan

Dwi Agus - detikJogja
Jumat, 13 Sep 2024 18:55 WIB
Prosesi Numplak Wajik di Panti Pareden, Kompleks Magangan, Jogja, Jumat (13/9/2024) sore.
Prosesi Numplak Wajik di Panti Pareden, Kompleks Magangan, Jogja, Jumat (13/9/2024) sore.Foto: Dwi Agus/detikJogja
Jogja -

Prosesi Numplak Wajik menandai dimulainya Garebeg Mulud Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dipimpin langsung Penghageng KHP Datu Dana Suyasa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat GKR Mangkubumi, seremonial ini berlangsung di Panti Pareden, Kompleks Magangan, sore ini.

Prosesi numplak wajik diawali dari Gunungan Putri. Yakni peletakan adonan wajik sebagai landasan gunungan oleh para abdi dalem pria. Adat ini merupakan perlambang kehidupan yang diawali dari rahim seorang ibu.

"Numpak wajik ini bagian dari garebeg, tentunya nyuwun pangestu untuk garebeg nanti. Garebegnya nanti tanggal 16 (September 2024)," jelas GKR Mangkubumi ditemui usai prosesi Numpak Wajik di Panti Pareden, Kompleks Magangan, Jumat (13/9/2024) sore.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

GKR Mangkubumi menuturkan, ada tujuh gunungan yang dibuat oleh para abdi dalem. Terdiri dari lima jenis gunungan yang berisikan hasil bumi, wajik, dan rengginang. Kelima jenis gunungan ini di antaranya gunungan Kakung, Putri, Gepak, Darat, dan gunungan Pawuhan.

Gunungan ini merupakan perlambangan pemberian sang raja, Sri Sultan Hamengku Buwono X kepada rakyatnya. Wujud syukur yang terwujud dalam uba rampe gunungan untuk kemudian dibagikan ke masyarakat luas saat Garabeg Mulud, Senin (16/9).

ADVERTISEMENT

"Untuk besok itu ada 7 gunungan. Maknanya dari Ngarsa Dalem (Sri Sutan Hamengku Buwono X) untuk masyarakatnya," katanya.

Prosesi Numplak Wajik mengawali Garebeg Sawal Keraton Jogja. Numplak Wajik berlangsung di Panti Pareden, Kompleks Magangan, Keraton Jogja. Senin (8/4/2024).Prosesi Numplak Wajik mengawali Garebeg Sawal Keraton Jogja. Numplak Wajik berlangsung di Panti Pareden, Kompleks Magangan, Keraton Jogja. Senin (8/4/2024). Foto: Dwi Agus/detikJogja

Carik Kawedanan Radya Kartiyasa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Nyi Raden Riya Noorsundari, menambahkan saat momen garebeg, gunungan akan dibagikan ke sejumlah lokasi. Di antaranya Masjid Gedhe, Komplek Kepatihan Pemda DIY, Kadipaten Pura Pakualaman, dan Ndalem Mangkubumen.

Untuk garebeg tahun ini berlangsung dengan tata cara yang berbeda. Dalam tradisi sebelumnya, gunungan dirayah atau diperebutkan usai didoakan di Masjid Gedhe. Garebeg Mulud tahun ini akan dibagikan kepada warga yang hadir di pelataran masjid.

"Gunungan nanti dibagikan, jadi mencoba lebih proper. Jaman dulu dibagikan tapi jumlahnya terbatas dan antusias masyarakat banyak otomatis rebutan. Akhirnya kembali ke semula, dibagikan di masjid," ujarnya.

Prosesi numplak wajik diiringi permainan gejog lesung oleh abdi dalem keparak. Prosesi belanjut dengan berdoa yang dipimpin abdi dalem kaji. Selanjutnya abdi dalem pria memapah wajik menuju kerangka gunungan putri.

Berlanjut dengan pengolesan dinglo bengle oleh abdi dalem perempuan. Prosesi inilah yang dinanti para warga. Berupa pembagian dinglo bengle atau singgul oleh para abdi dalem. Setelah mendapatkan, warga lalu mengoleskannya di belakang telinga dan anggota tubuh lainnya.

"Singgul itu tolak bala terdiri dari dinglo bengle ditumbuk dan jadi kuning. Biasanya kalau ada mantenan, sripah, dan nyebar udik-udik juga ada itu tolak bala. Dioleskan di belakang telinga, senior kaki, dan tangan. Ini kayak nolak sawan," katanya.

Singgul sendiri merupakan ramuan empon-empon berwarna kuning. Terbuat dari tepung beras, kunir dan kencur yang ditumbuk. Fungsinya sebagai pelapis landasan setelah wajik diletakkan dalam kerangka gunungan.

Sisa dari singgul inilah yang kerap menjadi rebutan warga. Semuanya terlihat antusias melumuri tubuhnya dengan ramuan herbal ini. Para abdi dalem perempuan terlihat melumurkan singgul dari dalam pagar Panti Pareden.

"Singgul ini minta biar sehat. Isinya kayak parem dilumurkan di tangan, belakang telinga dan kaki. Setiap tahun datang untuk minta singgul. Kebetulan rumahnya juga di Kraton," ujar salah satu warga, Wahyuningsih (60).




(cln/apu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads