Menelisik Jejak Syekh Jangkung di Lendah Kulon Progo

Menelisik Jejak Syekh Jangkung di Lendah Kulon Progo

Jalu Rahman Dewantara - detikJogja
Senin, 10 Jun 2024 06:00 WIB
Susana kompleks Makam Kyai Landoh atau Syekh Jangkung di Jatirejo, Lendah, Kulon Progo, belum lama ini. Foto diunggah padaΒ Jumat (7/6/2024).
Susana kompleks Makam Kyai Landoh atau Syekh Jangkung di Jatirejo, Lendah, Kulon Progo, belum lama ini. Foto diunggah padaΒ Jumat (7/6/2024). Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJogja
Kulon Progo -

Jejak Syekh Jangkung yang dikenal sebagai penyebar agama Islam di Nusantara ternyata bisa ditemui di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di sini, terdapat makam yang konon menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi sosok terkemuka tersebut.

Makam Syekh Jangkung berada di Dusun Bangeran, Kalurahan Jatirejo, Kapanewon Lendah, Kulon Progo. Dari pusat Kota Jogja, jarak yang ditempuh untuk bisa sampai ke sini sekitar 30 km atau satu jam perjalanan menggunakan kendaraan motor.

Gerbang masuk area makam Syekh Jangkung berupa gapura yang dibangun dari susunan batu bata. Suasana makam begitu sunyi dan sejuk karena jauh dari perkotaan serta diselimuti rerimbunan pohon.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Oleh masyarakat, makam ini diberi nama Makam Kyai Landoh. Kyai Landoh merupakan nama kerbau peliharaan Syekh Jangkung.

Susana kompleks Makam Kyai Landoh atau Syekh Jangkung di Jatirejo, Lendah, Kulon Progo, belum lama ini. Foto diunggah pada Jumat (7/6/2024).Susana kompleks Makam Kyai Landoh atau Syekh Jangkung di Jatirejo, Lendah, Kulon Progo, belum lama ini. Foto diunggah pada Jumat (7/6/2024). Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJogja

Syekh yang punya nama lain Saridin ini ditempatkan pada area khusus kompleks pemakaman tersebut. Kawasan ini dilindungi oleh pagar putih bercorak hijau dengan ketinggian sekitar 1,5 meter.

ADVERTISEMENT

Pusara Syekh Jangkung berada di dalam bangunan cungkup berukuran sekitar 2x2 meter, dengan model konstruksi khas Joglo Jogja. Namun, tidak sembarang orang bisa memasuki area khusus tersebut. Hanya juru kunci dan orang-orang tertentu saja yang diperkenankan untuk melihat langsung pusara.

Perjalanan Panjang Putra Sunan Muria

Juru kunci makam, Surakso Dwi Susanto menerangkan, konon sebelum akhirnya dimakamkan di Jatirejo, Syekh Jangkung telah melewati perjalanan panjang berkeliling sejumlah wilayah di tanah Jawa dan Sumatera pada kurun waktu 16 Masehi. Putra Sunan Muria dan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung ini memulai pengembaraan di wilayah Jawa Timur.

"Di zaman segitu beliau mengikuti laku kehidupan ke timur sampai tlatah Blambangan (Banyuwangi). Di sana tiga tahun. Kemudian pindah di Rembang membangun masjid, lalu ngaji dengan Sunan Kudus," ujar Dwi saat ditemui detikJogja belum lama ini.

Juru kunci makam Kyai Landoh di Lendah, Kulon Progo, Surakso Dwi Susanto. Foto diunggah pada Jumat (7/6/2024).Juru kunci makam Kyai Landoh di Lendah, Kulon Progo, Surakso Dwi Susanto. Foto diunggah pada Jumat (7/6/2024). Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJogja

Selepas itu, Syekh Jangkung kembali melanjutkan perjalanannya hingga sampai di wilayah Pasiraman. Di sana, Syekh Jangkung bertemu dengan penderes lalu meminta izin untuk meminum legen.

Dwi yang merupakan abdi dalem Keraton Jogja ini mengatakan, Syekh Jangkung juga meminta dua kelapa tua dari penderes tersebut. Oleh Syekh Jangkung kelapa tua ini dijadikan perahu guna melanjutkan perjalanannya ke tanah Sumatra, tepatnya di daerah Palembang.

"Konon kelapa tua ini dijadikan perahu untuk mengarungi lautan selama 9 bulan, hingga tiba di Palembang," jelasnya.

Sampai di Palembang, Syekh Jangkung mendapati jika wilayah tersebut sedang dilanda wabah penyakit hingga menelan banyak korban jiwa. Karena itu, masyarakat Palembang memohon Syekh Jangkung untuk membantu pengobatan yang ternyata berhasil.

"Setelah minta doa kepada Allah, banyak warga Palembang yang akhirnya sembuh. Karena itu dia dipek (dipinang) mantu oleh Sultan Palembang, dijodohkan dengan Raden Ayu Retno Diluwih. Di sana dua tahun, akhirnya punya anak namanya Raden Roro Sunti," terang Dwi.

Setelah menghabiskan dua tahun di Palembang, Syekh Jangkung lanjut Dwi, kembali meneruskan perjalanan, kali ini berlabuh di wilayah Cirebon, Jawa Barat. Sama halnya di Palembang, kedatangan Syekh Jangkung disambut oleh wabah penyakit sehingga dirinya kembali diminta untuk mengobati masyarakat yang terdampak wabah.

"Di sana juga sedang ada musibah besar, akhirnya diminta mengobati, dan sembuh. Dari situ dipek (dipinang) mantu Sultan Cirebon, jodohkan dengan Raden Ayu Pandan Arum, dan punya anak Raden Mukmin," ucapnya.

Dwi mengatakan meski sudah punya keluarga baru di Cirebon, Syekh Jangkung tetap melanjutkan perjalanannya ke sejumlah wilayah di tanah Jawa, salah satunya Lendah, Kulon Progo. Di sini, Syekh Jangkung membangun masjid yang kini bernama Masjid Furqon.

"Di sini (Lendah) dua tahun, bangun Masjid Al Furqon," ujarnya.

Suasana Masjid Furqon yang dibangun Kyai Landoh di Jatirejo, Lendah, Kulon Progo, belum lama ini. Foto diunggah pada Jumat (7/6/2024).Suasana Masjid Furqon yang dibangun Kyai Landoh di Jatirejo, Lendah, Kulon Progo, belum lama ini. Foto diunggah pada Jumat (7/6/2024). Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJogja

Jadi Kerabat Sultan Agung

Dwi mengatakan pengembaraan Syekh Jangkung tidak berhenti di Lendah. Setelah berhasil menyebarkan agama Islam dan membangun masjid, Syekh Jangkung kembali melanjutkan perjalanan, kini sampai di wilayah Krapyak, Bantul.

Diceritakan wilayah Krapyak saat itu masih berupa rawa dan hutan sehingga jarang ada aktivitas manusia. Karena itu, Syekh Jangkung memutuskan untuk bertapa di tempat ini.

"Sampai Krapyak, yang saat itu masih berupa rawa dan hutan, beliau bertapa selama 1,5 tahun," ujarnya.

Aksi Syekh Jangkung ternyata diketahui oleh Sultan Agung, Raja Mataram Jogja. Sultan Agung yang sebelumnya sudah mendengar cerita soal kesaktian Syekh Jangkung pun tertarik untuk mengundangnya ke Keraton.

"Beliau akhirnya dipanggil ke Keraton Mataram untuk beber ilmu, fokusnya Ngelmu Sejati. Nah selain itu Syekh Jangkung juga dijadikan kakak ipar Sultan Agung. Jadi beliau menikahi kakak perempuan Sultan Agung yaitu RA Retno Jinoli," jelas Dwi.

Singkat cerita, Syekh Jangkung akhirnya wafat. Sebelum meninggal, Syekh Jangkung berpesan agar dimakamkan di wilayah Jatirejo, Lendah, alih-alih Makam Imogiri, tempat peristirahatan para Raja Jogja.

"Soal alasan kenapa di sini kurang tahu pasti. Yang saya tahu Syekh Jangkung memang tidak suka di ketinggian, ingin di bawah saja, seperti rakyat biasa, sehingga memilih dimakamkan di sini," jelasnya.

Dwi mengatakan, meninggalnya Syekh Jangkung juga menyimpan cerita tersendiri soal penamaan makam yang menggunakan nama Kyai Landoh. Syeh Jangkung ingin agar nama kerbau peliharaannya itu bisa dikenang masyarakat.

"Karena saking sukanya Syekh Jangkung dengan Kyai Landoh (kerbau peliharaan), akhirnya dipilihlah nama makam itu pakai nama kerbau," ucapnya.

Nama Kyai Landoh ini pula yang konon akhirnya menginspirasi penamaan Kapanewon Lendah saat ini. "Iya, konon dari nama Kyai Landoh, akhirnya dijadikan nama Kapanewon Lendah," ujar Dwi.

Apa yang disampaikan Dwi merupakan satu dari sekian versi cerita Syekh Jangkung. Versi lain menyebut jika Syekh Jangkung dimakamkan di Desa Landoh, Kayen, Pati.

Terlepas dari itu, masyarakat Lendah tetap meyakini bahwa jika Syekh Jangkung pernah berkiprah di wilayah Lendah hingga akhir hayatnya dimakamkan di Jatirejo.

Kirab Pusaka Syekh Jangkung

Untuk mengenang jasa Syekh Jangkung, masyarakat Lendah menggelar upacara adat berupa kirab jamasan pusaka peninggalan Syekh Jangkung, yaitu Kudi Rancang (tombak dengan mata seperti kujang), Bathok Bolu (berbentuk mangkuk dari kayu), dan Alquran Tulisan Tangan. Upacara ini digelar setiap bulan Sura, sesuai penanggalan Jawa.

Merujuk situs resmi Pemerintah Kapanewon Lendah, jamasan pusaka Kyai Landoh atau Syekh Jangkung ini bermula dari adanya wabah penyakit di wilayah Lendah pada sekitar tahun 1814. Dengan pusaka peninggalan Kyai Landoh wabah penyakit berhenti, caranya pusaka diarak berkeliling kampung.

Kini upacara jamasan itu telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak Benda (WBtB) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) belum lama ini.

Kasi Warisan Budaya Tak Benda Dinas Kebudayaan Kulon Progo, Sulasmi mengatakan jamasan pusaka Kyai Landoh ditetapkan sebagai WBTB bersama dengan empat kearifan lokal lain di Kulon Progo.

"Jadi ada lima yang ditetapkan WBTB pada 2024 ini," ucapnya.

Secara rinci dia menyebut empat WBTB di luar jamasan Kyai Landoh yakni Nyadran Joyokusumo di Sengir, Kalirejo, Kokap; Nyadran Ki Gonotirto di Tirto, Hargotirto, Kokap; Saparan Kalibuko di Kalirejo, Kokap; dan Ritual Adat Gunung Lanang di Sindutan, Temon.

Dengan telah ditetapkannya lima WBTB baru ini, Dinas Kebudayaan Kulon Progo berharap masyarakat bisa menjaga sekaligus melestarikan tradisi yang sudah ada sejak zaman leluhur.




(rih/apu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads