Tak lengkap rasanya jika membicarakan Jogja tanpa membahas budayanya. Wilayah yang lekat dengan keragaman tradisinya ini tidak hanya dikenal sebagai destinasi pariwisata yang memesona, tetapi juga sebagai tempat yang kaya akan nilai-nilai adat istiadat.
Sebagai daerah di Indonesia yang memiliki sistem pemerintahan berbasis kerajaan atau lebih tepatnya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Jogja pun memiliki beragam upacara adat yang sarat akan makna. Ragam upacaranya menjadi ciri khas tersendiri yang memperkaya kehidupan masyarakatnya.
Lantas, apa saja upacara adat yang ada di Jogja? Berikut penjelasan daftar upacaranya, lengkap dengan tujuannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
12 Upacara Adat Jogja
1. Saparan Bekakak
Menurut budaya.jogjaprov.go.id, bekakak artinya korban penyembelihan hewan atau manusia. Dalam upacara adat ini, bekakak hanya berupa tiruan manusia saja yang aslinya merupakan boneka pengantin dengan posisi duduk bersila dan terbuat dari tepung ketan. Sesuai namanya, upacara Saparan Bekakak dilakukan pada saat bulan Safar.
Ritual ini masih sering dilaksanakan di Desa Ambarketawang, Gamping, Sleman. Tujuannya sendiri dimaksudkan untuk menghormati roh Kyai dan Nyai Wirasuta yang merupakan pembawa payung Sri Sultan Hamengku Buwono I.
2. Grebeg Sekaten
Upacara Sekaten merupakan tradisi tahunan yang digelar untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Dilaksanakan pada setiap bulan Rabiul Awal, Grebeg Sekaten menjadi puncak dari serangkaian upacara adat Sekaten yang biasanya diadakan selama sebulan.
Berdasarkan majalah Mata Jendela Edisi 1/2017 yang ditulis oleh UPT Taman Budaya Yogyakarta, keluarga keraton diwajibkan mengikuti pembacaan riwayat hidup Rasulullah SAW yang disampaikan oleh abdi dalem. Selanjutnya, Sultan menyebarkan udik-udik sebagai bentuk sedekah kepada masyarakat.
Pada hari Grebeg Sekaten, terdapat gunungan yang akan diperebutkan bersama oleh masyarakat yang hadir dalam perayaan Sekaten. Upacara Sekaten sendiri merupakan bagian dari upaya Sultan untuk berdakwah dan mengajak masyarakat agar hidup dengan toleransi.
3. Grebeg Syawal
Hampir sama seperti Grebeg Sekaten, Grebeg Syawal adalah upacara adat yang dilakukan tiap tahun pada tanggal 1 Syawal atau saat Hari Raya Idul Fitri. Perayaan turun temurun ini merupakan bagian dari wujud syukur atas berakhirnya masa puasa di bulan Ramadhan, seperti yang dikutip dari menpan.go.id.
Warisan tradisi ini telah berlangsung selama berabad-abad. Nantinya, gunungan akan diserahkan melalui prosesi barisan prajurit keraton yang menjadi daya tarik sendiri menurut ribuan orang yang berkumpul di Alun-alun Utara. Sebelum diberikan kepada masyarakat, gunungan pun diarak terlebih dahulu dari Keraton Yogyakarta menuju halaman Masjid Agung Kauman.
4. Labuhan
Mengutip dari buku berjudul 100 Tradisi Unik di Indonesia karya Fatiharifah, upacara adat Jogja selanjutnya adalah tradisi Labuhan. Labuhan merujuk pada tindakan membuang sesuatu ke dalam air, baik itu sungai, laut, atau tempat khusus lainnya. Benda yang dibuang dapat berupa sesaji atau persembahan kepada roh halus yang dianggap berkuasa di tempat yang dituju.
Tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon keselamatan, baik bagi Sri Sultan Hamengku Buwono, Keraton, maupun masyarakat Jogja secara keseluruhan. Upacara Labuhan dilakukan di beberapa lokasi di Jogja, termasuk Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu.
5. Tumplak Wajik
Disadur dari buku Sejarah Islam Nusantara karya Rizem Aizid, upacara Tumplak Wajik masih masuk ke dalam rangkaian Sekaten, tepatnya upacara yang menandai awal rangkaian upacara Sekaten. Dilaksanakannya tradisi ini oleh Keraton Jogja diharapkan agar seluruh rangkaian upacara Sekaten berjalan dengan lancar hingga akhir. Prosesi ini digelar tiga hari sebelum pelaksanaan Grebeg.
Upacara Tumplak Wajik sendiri merupakan kegiatan pembuatan jajan tradisional wajik untuk mengawali pembuatan pareden yang digunakan dalam upacara Grebeg. Umumnya, prosesi ini hanya berlangsung selama 30 menit, di mana adonan wajik yang sudah jadi akan ditumpahkan untuk dibuat kerangka gunungan estri.
6. Gejog Lesung
Dengan mengutip dari laman resmi Kemdikbud, penamaan gejog lesung berangkat dari kata gejog yang berarti sahut-sahutan dan kata lesung yang merupakan alat penumbuk padi. Upacara ini digelar untuk menggambarkan kegembiraan para petani setelah melakukan panen. Musik gejog lesung merupakan hasil kreativitas dari kalangan petani sehingga bunyi yang dihasilkan cenderung sederhana dan gerakannya terlihat simpel.
Di Jogja sendiri, tradisi ini masih berkembang di beberapa kabupaten, seperti di Bantul yang berpusat di Imogiri, Gunungkidul yang berpusat di Panggang, Sleman, dan juga Kulon Progo. Saat ini, gejog lesung telah mengalami banyak modifikasi dan perubahan-perubahan lainnya untuk menambah daya tariknya sebagai seni pertunjukkan.
7. Nyadran
Mengutip situs resmi Dinas Kebudayaan Kota Jogja, upacara adat Nyadran merupakan bentuk tradisi untuk mendoakan leluhur yang telah meninggal. Nyadran juga dikenal sebagai Ruwahan karena dilakukan pada bulan Ruwah. Ritual ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang kental akan budaya Jawanya, termasuk di Jogja.
Upacara ini memiliki beberapa rangkaian kegiatan, mulai dari besik atau membersihkan maham leluhur, kirab atau arak-arakan menuju tempat upacara diadakan, hingga yang terakhir Kembul Bujono atau makan bersama.
8. Rebo Pungkasan
Upacara Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan dilangsungkan setiap hari Rabu terakhir pada bulan Safar. Tujuan penyelenggaraan dari Rebo Pungkasan adalah sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan dan juga Kyai Faqih Usman. Siapa itu Kyai Faqih Usman? Disebutkan di budaya.jogjaprov.go.id, ia dipercaya memiliki kemampuan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Latar belakang dari pemilihan waktu upacara pun tak jauh-jauh dari tokoh tersebut. Konon, Sri Sultan HB I bertemu dengan Kyai Faqih Usman pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Lebih lanjut, tradisi ini biasanya digelar di depan masjid dan sebelumnya dibarengi dengan kegiatan pasar malam. Rebo Pungkasan sendiri masih sering dilaksanakan di Desa Wonokromo, Pleret, Kabupaten Bantul.
9. Nguras Enceh
Nguras Enceh juga termasuk ke dalam warisan budaya tak benda yang ada di Jogja. Ritual ini diadakan setiap bulan Sura dalam kalender Jawa serta diikuti oleh abdi dalem Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Acara ini selalu dilakukan pada hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon.
Menurut laman resmi warisanbudaya.kemdikbud.go.id, tujuan dari upacara ini adalah untuk membersihkan hati dari segala kekotoran. Prosesinya dimulai dengan membersihkan empat gentong di makam Raja-raja Imogiri, Bantul. Konon, air yang diambil dari keempat gentong tersebut diyakini memiliki kemampuan menyembuhkan berbagai penyakit dan menghindarkan seseorang dari nasib malang. Inilah yang menjadi esensi dari upacara Nguras Enceh.
10. Jamasan Pusaka
Upacara Jamasan Pusaka adalah tradisi tahunan di Jogja yang dilakukan pada bulan Sura untuk membersihkan benda-benda pusaka Keraton Jogja. Biasanya, upacara ini dilaksanakan pada Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon bulan Sura. Pusaka utama, yaitu Tombak Kyai Wijoyo Mukti dibersihkan dengan melakukan pemanjatan doa, membersihkan dengan jeruk nipis, menyiram dengan air, pemberian warangan dari arsenik, dan akhirnya diolesi dengan campuran minyak kelapa dan cendana.
Jamasan Pusaka pun tidak hanya upacara penghormatan terhadap pusaka-pusaka, tetapi juga menjadi simbol sikap masyarakat Jawa dalam menyambut tahun baru Jawa. Melalui ritual ini, mereka menunjukkan kepedulian dan penghargaan terhadap warisan budaya, serta harapan positif untuk tahun yang akan datang.
11. Merti Code
Tradisi Merti Code berkaitan erat dengan kegiatan perawatan Kali Code yang membelah Kota Jogja. Upacara ini diinisiasikan pada tahun 2000 dan telah menjadi kegiatan tahunan rutin sejak saat itu. Kegiatan dimulai dengan melakukan ruwatan air yang diambil dari tujuh mata air oleh sesepuh desa dan disimpan di enceh patirtan, di mana salah satu mata air berasal dari lereng Gunung Merapi.
Lebih lanjut, enceh kemudian diarak keliling kampung di sekitar Sungai Code bersama pusaka paringan dalem Sultan HB X (Kyai Ranumurti) sambil diiringi oleh bregada-bregada kampung. Air kemudian dibagikan kepada warga pada akhir acara Merti Code sebagai upaya untuk mengajak masyarakat di sekitar sungai untuk bersama-sama menjaga kelestarian sungai tersebut, seperti yang dilansir dari portal resmi berita Pemerintah Kota Jogja.
12. Tunggul Wulung
Yang terakhir adalah upacara Tunggul Wulung. Berdasarkan laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, tradisi ini merupakan upacara bersih desa di Desa Sendang Agung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman. Acara tersebut diadakan sebagai bentuk ungkapan syukur dan doa kepada Tuhan dengan harapan mendapatkan berkah, kesejahteraan, dan perlindungan dari berbagai bencana.
Secara khusus, upacara ini juga sebagai penghormatan terhadap Ki Ageng Tunggul Wulung yang dianggap sebagai seorang bangsawan dari Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Tunggul Wulung dipercaya sebagai perantara untuk memohon kesejahteraan dan perlindungan kepada Tuhan. Karena kepercayaan ini, masyarakat pun menggelar upacara adat Tunggul Wulung secara rutin setiap tahun pada hari Jumat Pon setelah masa panen, khususnya pada bulan Agustus.
Nah, itu dia 12 upacara adat Jogja lengkap dengan tujuannya. Adapun setiap upacara tersebut memiliki tujuan yang mendalam, baik untuk menyampaikan rasa syukur, memohon keselamatan, atau menghormati leluhur. Semoga bermanfaat, Dab!
Artikel ini ditulis oleh Jihan Nisrina Khairani Peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(aku/dil)
Komentar Terbanyak
Jokowi Berkelakar soal Ijazah di Reuni Fakultas Kehutanan UGM
Blak-blakan Jokowi Ngaku Paksakan Ikut Reuni buat Redam Isu Ijazah Palsu
Tiba di Reuni Fakultas Kehutanan, Jokowi Disambut Sekretaris UGM