Penghageng KHP Datu Dana Suyasa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat GKR Mangkubumi memimpin prosesi numplak wajik di Panti Pareden Magangan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sabtu (15/6/20240). Prosesi ini sekaligus menjadi penanda dimulainya prosesi Garebeg Besar Ngayogyakarta Hadiningrat.
"Ini persiapan garebeg njih, jadi numplak wajik ini masih terus dilakukan 3 hari sebelum garebeg. Setelah ini membuat gunungan, tanggal 18 (18 Juni 20224) nanti kita ada garebeg," jelasnya saat ditemui di Panti Pareden Magangan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sabtu (15/6/2024).
Putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X ini menuturkan ada tujuh gunungan yang dibuat. Terdiri dari lima jenis gunungan berbahan baku hasil bumi dan makanan tradisional. Di antaranya gunungan kakung, gunungan putri, gepak, darat dan gunungan pawuhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prosesi numplak wajik diawali dengan merangkai gunungan putri. Ditandai dengan peletakan adonan wajik sebagai landasan gunungan. Tahapan ini memiliki makna kehidupan yang berawal dari rahim seorang ibu.
"Gunungan seperti biasa ada tujuh," katanya.
Dalam kesempatan ini, GKR Mangkubumi membebatkan langsung kain di tubuh gunungan Putri. Diawali dengan kain berwarna coklat, selanjutnya kain Bangun Tulak. Kain berwarna biru dengan warna putih di tengahnya ini merupakan salah satu motif kuno.
Dalam sejumlah literasi, kain ini dipercaya memiliki daya tangkal. Kain Bangun Tulak juga melambangkan sebagai penolak bala. Warna biru merupakan lambang dari bumi, sedangkan warna putih merupakan lambang langit.
"Makna kain, ya itu doa restu lah," ujarnya singkat.
Gunungan garebeg sendiri merupakan persembahan Raja Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat kepada rakyatnya. Isinya berupa hasil bumi dan beragam jenang wajik. Seluruhnya akan dibagikan Ndalem Mangkubuen, Pelataran Masjid Gedhe, Pura Pakualaman dan Kompleks Kepatihan.
Untuk prosesi numplak wajik diiringi permainan gejog lesung oleh abdi dalem keparak. Prosesi dilanjut dengan berdoa yang dipimpin abdi dalem kaji dan penumplakan wajik oleh abdi dalem konco abang. Berlanjut dengan pengolesan dinglo bengle oleh abdi dalem perempuan.
Prosesi dinglo bengle inilah yang dinanti para warga. Berupa pembagian sisa dinglo bengle atau singgul oleh para abdi dalem. Setelah mendapatkan, warga lalu mengoleskannya di belakang telingan dan anggota tubuh lainnya.
"(Tradisi) turun temurun, rasanya dingin. Namanya singgul dari rempah-rempah," kata salah satu warga Kecamatan Kraton, Kota Jogja, Wahyu (62).
Berbeda dengan Wahyu, Sri Undari (58) datang bersama cucunya. Warga Senggotan Bantul ini tak pernah absen mengikuti prosesi numplak wajik. Terutama untuk mendapakan singgul. Kali ini dia olehskan ke belakang kuping dan kaki cucunya.
"Untuk ngalap berkah, kalau jodoh ya cepat dikasih jodoh, kalau sakit cepat diberi kesehatan, umur, barokah. Dioleskan belakang telinga sama kaki terutama untuk jalan. Kalau orang dulu kan gitu, untuk anak kecil biar bisa selalu sehat," ujarnya.
(aku/aku)
Komentar Terbanyak
Pernyataan Ridwan Kamil Usai Tes DNA Anak Lisa Mariana
Heboh Penangkapan Pembobol Situs Judi Berujung Polda DIY Klarifikasi
Penegasan Polda DIY soal Penangkapan Pembobol Situs Judol Bukan Titipan Bandar