Salah satu Warisan Budaya Dunia di Bali yaitu Subak, ternyata memiliki sedikit kemiripan dengan Warisan budaya dunia milik Jogja yakni Sumbu Filosofi Jogja. Kemiripan tersebut yakni adanya unsur filosofi.
Sebagai informasi, mengutip laman kemendikbud.go.id, Subak ditetapkan jadi Warisan budaya dunia oleh UNESCO jauh lebih dulu dibandingkan Sumbu Filosofi Jogja, yakni pada 29 Juni 2012 dalam sidang penetapan di Rusia. Sedangkan Sumbu Filosofi Jogja pada 18 September 2023.
Kata Subak mengacu kepada sebuah lembaga sosial dan keagamaan yang unik, mempunyai pengaturan tersendiri, asosiasi-asosiasi demokratis dari petani dalam mengatur penggunaan air irigasi untuk pertumbuhan padi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Luas lanskap Subak sendiri sekitar 21.000 hektare yang terdiri dari lima klaster. Klaster Danau Batur 1.816,40 hektare, Pura Ulun Danu Batur 32,50 hektare, Lanskap Subak DAS Pakerisan 717,10 hektare, Lanskap Subak Catur Angga Batukaru 18.350,40 hektare dan Pura Taman Ayun sebesar 58,20 hektare.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XV Kemendikbudristek, Abi Kusno, menjelaskan meski memiliki wujud berupa persawahan dengan sistem irigasinya, dalam pandangan masyarakat Bali, Subak memiliki nilai filosofi yang juga menjadi nilai dalam penetapan UNESCO.
Subak adalah cerminan langsung dari filosofi dalam agama Hindu Tri Hita Karana (tiga penyebab kebaikan), yakni harmonisasi antara individu dengan alam semangat (parahyangan), dunia manusia (pawongan), dan alam (palemahan).
"Filosofi Tri Hita Karana ini yang menjadi sangat penting dari penetapannya Subak menjadi warisan Budaya dunia, bukan hanya persawahan, tetapi di dalamnya banyak sekali unsur yang membentuk sistem Subak," jelas Abi ditemui wartawan di Kantor BPK Wilayah XV, Badung, Bali, Senin (27/5/2024).
"Semuanya saling berkait, misalnya di Palemahan di Subaknya sendiri berubah, otomatis hubungan antar manusianya juga berubah. Masyarakatnya akan berubah, yang tadinya petani tidak jadi petani, lembaga adat juga berubah," lanjutnya.
Kesamaan adanya nilai filosofi di Subak Bali dan Sumbu Filosofi Jogja juga diamini Sekertaris Daerah (Sekda) DIY Beny Suharsono. Menurutnya, walaupun yang diajukan oleh Pemda ke UNESCO untuk Sumbu Filosofi Jogja adalah nilai filosofinya, namun tetap ada wujud sebagai penanda.
"Namanya Filosofi, berarti mengandung makna yang ditetapkan sebuah Filosofi, tapi kan penandanya benda. Ada mulai dari Tugu Pal Putih sampai panggung Krapyak. Itu kan penanda benda," jelas Beny.
Korelasi Masalah Pelestarian Subak-Sumbu Filosofi
Selain kesamaan tersebut, Subak dan Sumbu Filosofi Jogja juga memiliki korelasi dalam hal masalah pelestarian untuk menjaga status Warisan budaya dunia. Abi mengatakan, masalah terbesar dari pelestarian Subak yakni menjaga keutuhan wujud Subak yang luasnya puluhan ribu hektare.
"Banyak sekali konversi lahan yang sudah berubah, harusnya lahan hijau, lahan pertanian, tetapi di dalamnya sudah mulai muncul restoran, homestay, perumahan pun ada," papar Abi.
"Kalau lingkungannya berubah, antar manusianya berubah, otomatis ritual adat yang hubungannya dengan Tuhan pun berubah," sambungnya.
Upaya pelestarian ini semakin rumit dilakukan lantaran menurut Abi, sejak awal pengajuan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia, data kepemilikan lahan persawahan di Subak belum 100 persen terdata.
"Saat kita mengusulkan ke UNESCO untuk warisan budaya dunia ternyata belum semua Fix datanya. Jadi data seperti kepemilikan Subak, batasnya, belum lagi sekarang pengalihan lahan, makanya dua tahun terakhir kami masih melakukan mapping," jelasnya.
Masalah pelestarian Subak dari segi mempertahankan wujudnya, juga memiliki kesamaan dengan rekomendasi UNESCO saat menetapkan Sumbu Filosofi Jogja menjadi warisan budaya dunia.
Dari 7 rekomendasi UNESCO, setidaknya ada 2 rekomendasi yang memiliki korelasi. Yakni melanjutkan penerapan proses relokasi sukarela permukiman informal di dalam kawasan (Beteng Keraton) dengan memastikan bahwa hak dan kebutuhan masyarakat tetap terlindungi.
Kedua, mempertahankan moratorium pembangunan hotel dan memastikan pelaksanaannya di zona penyangga, sembari menyelesaikan kajian daya dukung dan membuat peraturan khusus yang secara permanen akan mencegah pembangunan gedung-gedung tinggi.
"Jangan sampai tekanan bangunan mengganggu penetapan Sumbu Filosofi. Maka tadi belajar, kesulitannya oh ternyata masih ada pembangunan, masifnya tidak diperkirakan. Kita juga menemukan hampir mirip di Jogja, maka dengan belajar, Oh ya maka cara mengelolanya harus begini," jelas Beny.
(cln/apu)
Komentar Terbanyak
Mencicip Kue Kontol Kejepit di Keramaian Pasar Kangen Jogja
Sederet Fakta Heboh Surat Perjanjian SPPG Minta Rahasiakan Kasus Keracunan
Asal-usul Nama Kue Kontol Kejepit yang Unik, Kenapa Dinamakan Demikian?