Jogja Tambah 25 Warisan Budaya Tak Benda, Ini Daftarnya

Jogja Tambah 25 Warisan Budaya Tak Benda, Ini Daftarnya

Dwi Agus - detikJogja
Senin, 27 Mei 2024 15:21 WIB
Wakil Gubernur DIY Paku Alam X di Kompleks Kepatihan, Kantor Gubernur DIY, Jogja, Senin (27/5/2024).
Wakil Gubernur DIY Paku Alam X di Kompleks Kepatihan, Kantor Gubernur DIY, Jogja, Senin (27/5/2024). Foto: Dwi Agus/detikJogja
Jogja -

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) resmi menambah koleksi warisan budaya tak benda (WBTB) berbasis kearifan lokal. Sebanyak 25 sertifikat penetapan diserahkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) kepada Pemda DIY.

Wakil Gubernur DIY, Paku Alam X mengatakan sertifikat warisan budaya tak benda ini terdiri lima karya budaya Keraton Jogja, dua karya budaya Pakualaman, lima karya budaya Kabupaten Kulon Progo, dua karya budaya Kabupaten Sleman, tujuh karya Kabupaten Gunungkidul, tiga karya Kabupaten Bantul, dan satu karya budaya Kota Jogja.

"Jadi intinya sebetulnya lebih bagaimana kita mengapresiasi kegiatan yang selama ini ternyata masih dilaksanakan dan diapresiasi oleh warga dengan segala dinamikanya. Ya tentu kesulitan bagaimana mereka juga mengumpulkan dana dan lain sebagainya kemudian penyelenggaraannya bagaimana," jelasnya saat ditemui di Komplek Kepatihan Kantor Gubernur DIY, Senin (27/5/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, Paku Alam mengakui tak mudah mempertahankan status warisan budaya tak benda. Ini karena ada aspek konsistensi yang harus terpenuhi. Terutama dari sisi pelestari yang harus terus ada ke depannya.

Dia mencontohkan sejumlah kuliner yang saat ini terancam tak eksis. Pertama karena keterbatasan bahan baku hingga pewaris resep autentik. Selanjutnya adalah tidak adanya peminat atau memang belum dikenal masyarakat luas.

ADVERTISEMENT

"Lestari jangan hilang, saiki wong Gunungkidul mangan growol ya arang-arang (sekarang masyarakat Gunungkidul makan growol sudah jarang) kan gitu. Ada wader liwet, saiki golek wader piye hayo (sekarang cari wader bagaimana coba), padahal tadi kan sesuatu yang mungkin untuk level panjenengan (Anda) belum pernah kan, apa sih taste-nya, kan eman-eman kalau hilang," katanya.

Itulah mengapa perlu peran semua pihak untuk melestarikan. Diawali dari sang maestro yang menjaga konsistensi. Berlanjut dengan transfer ilmu dan pengetahuan kepada generasi baru sehingga upaya pelestarian tak sekadar wacana.

"Jadi kita coba untuk untuk melestarikan, bagaimana kemudian itu kecil-kecil itu kita upayakan untuk eksis," harapnya.

25 Warisan Budaya Tak Benda Baru DIY

Berikut daftar warisan budaya tak benda baru DIY.

Daftar 25 warisan budaya tak benda baru:

  1. Gendhing Alit Sekaten
  2. Sego Pari Gogo
  3. Wader Liwet
  4. Kesenian Thetelan
  5. Bedhaya Bontit
  6. Srimpi Merak Kasimpir
  7. Bedhaya Genjong
  8. Rodat Yograkarta
  9. Srimpi Kandha
  10. Tari Klana Alus Dasalengkara
  11. Srimpi Dhempel
  12. Srimpi Gambir Sawit Pakualaman
  13. Sadranan Mbah Jobeh
  14. Upacara Adat Kirim Dowa
  15. Upacara Adat Wot Galeh
  16. Nyadran Joyo Kusumo
  17. Jamasan Pusaka Kyai Londoh
  18. Nyadran Ki Gonotirto
  19. Upacara Grebek Ngenep
  20. Saparan Kalibuka Kalirejo Kokap
  21. Labuhan Parangkusumo
  22. Ritual Adat Gunung Lanang
  23. Sadranan Gunung Gambar
  24. Jangan Lombok Ijo
  25. Abangan

Sementara itu, Kepala Kundha Kabudayan DIY, Dian Laksmi Pratiwi menuturkan DIY saat ini memiliki 180 sertifikat warisan budaya tak benda. Untuk 25 sertifikat baru terbagi menjadi lima domain. Di antaranya seni pertunjukan, kemahiran dan kerajinan tradisional, adat istiadat dan seni pertunjukan pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam semesta.

Dian menegaskan terbitnya sertifikat warisan budaya tak benda tidaklah mudah. Kemendikbud Ristek, lanjutnya, melakukan seleksi secara ketat. Seluruh dokumen penunjang setiap kearifan lokal wajib ada. Terbukti bahwa Jogja tahun ini mengajukan sebanyak 50 kearifan lokal.

"Nah itu di rata-rata 50-an pengusulan itu kita paling dapatnya separuh karena memang cukup banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi dan itu tiap tahun kualitasnya semakin bertambah," ujarnya.

Setiap kearifan lokal yang diajukan harus memiliki pelestari. Selain itu usia kearifan lokal minimal telah dilestarikan dua generasi berturut-turut atau kisaran 50 tahun. Tidak wajib dimunculkan setiap hari, namun harus tetap eksis di masyarakat.

Selanjutnya memiliki makna filosofi untuk setiap kearifan lokal yang diajukan. Sang pelestari juga wajib memahami dan menjelaskan sejarah dan filosofinya. Di samping itu juga melihat respons masyarakat atas konsistensi kearifan lokal.

"Jadi yang cukup susah adalah maestronya itu harus ada, harus ada masyarakat pendukungnya dan itu terbukti dilakukan meskipun tidak sehari-hari tapi masih aktif berlangsung," katanya.

Dian menegaskan penetapan ini tak sekadar menempelkan predikat. Acuan utamanya adalah agar tak punah di kemudian hari. Ini mengingat sertifikat warisan budaya tak benda bisa dicabut apabila kearifan lokal memudar.

"Prioritas kami di DIY adalah bagaimana 180 itu kemudian tidak langka dan tidak punah dan akhirnya malah keluar dari sertifikat warisan ya kayak karya-karya UNESCO itu juga. Sehingga kita sudah siapkan rencana aksi termasuk regulasinya bagaimana mengelola dan memanfaatkannya ada di Pergub Nomor 32 Tahun 2024," ujarnya.




(rih/apu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads