Mengenal Ruwahan: Tradisi Masyarakat Jawa Mendoakan Leluhur Jelang Ramadhan

Mengenal Ruwahan: Tradisi Masyarakat Jawa Mendoakan Leluhur Jelang Ramadhan

Muhammad Rizqi Akbar - detikJogja
Rabu, 06 Mar 2024 13:19 WIB
ruwahan di sorowajan di banguntapan, bantul.
Ilustrasi ruwahan. Foto: istimewa
Jogja -

Ruwahan merupakan salah satu warisan budaya masyarakat Jawa yang tetap lestari hingga saat ini. Tradisi Ruwahan ini umumnya dilaksanakan menjelang bulan Ramadhan, khususnya pada bulan Syaban dalam penanggalan Hijriah.

Walaupun acara Ruwahan diadakan di berbagai daerah di Indonesia, setiap wilayah memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, salah satunya di Jogja. Mengutip laman Pemerintah Kota Yogyakarta, tradisi ruwahan dilakukan dengan menggelar kenduri atau selamatan untuk mendoakan para leluhur dan berbagi sedekah kepada tetangga.

Simak penjelasan mengenai tradisi Ruwahan di bawah ini!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa itu Ruwahan?

Dikutip dari Repository Raden Fatah, istilah ruwahan diambil dari bahasa Arab yakni arwah yang memiliki makna roh, nyawa, dan jiwa. Ruwah juga bisa diartikan sebagai arwah atau roh orang-orang yang sudah meninggal dunia. Dengan demikian, ruwahan memiliki makna sebagai mengenang arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia.

Umumnya, tradisi Ruwahan ini ditemukan di Pulau Jawa yang juga dikenal dengan istilah nyadran. Tradisi ini dilakukan rutin setahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Biasanya, tradisi Ruwahan mulai dilaksanakan sejak tanggal 15 bulan Ruwah.

ADVERTISEMENT

Ruwahan merupakan kegiatan adat yang diadakan oleh masyarakat Jawa sekitar sebulan sebelum memulai ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Tradisi ini, yang dilakukan pada bulan Ruwah, memiliki tujuan utama untuk menyampaikan doa kepada para leluhur yang telah meninggal.

Selain sebagai sarana menyampaikan doa, Ruwahan juga dijalankan sebagai bentuk permohonan ampunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kegiatan ini juga melibatkan acara kenduri yang diadakan oleh warga sebagai ungkapan rasa syukur atas berkah rezeki dan keselamatan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Ruwahan juga menjadi waktu bagi masyarakat Jawa untuk mengekspresikan kesetaraan hak dan tanggung jawab di antara sesama manusia sebagai umat Tuhan. Dalam pelaksanaan tradisi ini, semua kalangan masyarakat ditempatkan pada posisi yang sama, baik sebagai penyelenggara tradisi maupun penyedia persembahan yang diberikan oleh Tuhan.

Prosesi Tradisi Ruwahan

Kegiatan dalam tradisi Ruwahan melibatkan pembersihan makam leluhur sebelum mengadakan nyadran bersama atau ziarah kubur. Biasanya, warga akan membawa kembang setaman dan kemenyan atau setanggi.

Di lingkungan masyarakat pedesaan, pelaksanaan tradisi Ruwahan seperti nyadran biasanya dilakukan di makam atau di rumah orang yang dihormati. Setiap keluarga membawa berbagai jenis makanan ke lokasi nyadran.

Setelah itu, sebuah doa bersama dipimpin oleh seorang sesepuh. Makanan yang dibawa peserta Ruwahan kemudian ditukar-tukar antar keluarga dan disantap bersama di lokasi tersebut.

Makanan dalam Tradisi Ruwahan

Dalam tradisi Ruwahan ada beberapa makanan yang biasa disajikan. Dikutip dari buku Kuliner Yogyakarta Pantas Dikenang Sepanjang Masa, makanan tersebut mencakup nasi ambengan, beragam kue tradisional seperti wajik, jadah, tape ketan, dan ketan kolak apem, serta aneka buah seperti jeruk, jambu, dan pisang.

Di antara berbagai hidangan yang dihadirkan dalam tradisi Ruwahan, ketan kolak apem muncul sebagai sajian yang paling terkenal dan umum digunakan dalam upacara tersebut. Keberhasilan penyajiannya dan pesan moral yang kaya menjadikan ketan kolak apem sebagai pilihan utama.

Simbolisme dari ketan kolak apem terletak pada sebagai ungkapan permintaan maaf tulus atas kesalahan pribadi dan keluarga/leluhur. Hidangan ini juga diartikan sebagai kesungguhan tekad untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan memohon perlindungan-Nya.

Demikian penjelasan mengenai tradisi Ruwahan. Semoga bermanfaat, Dab!




(par/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads