Tradisi Nyadran, atau ziarah ke makam para leluhur sebelum memasuki bulan Ramadan di Makam Sewu, Pedukuhan Pedak, Kalurahan Wijirejo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul tidak lepas dari nama Panembahan Bodho. Masyarakat percaya jika Panembahan Bodho adalah tokoh yang pertama menyebarkan Islam di Bantul.
Ketua Panitia Nyadran Makam Sewu tahun 2024, Hariyadi mengatakan, bahwa nama asli Panembahan Bodho adalah Raden Trenggono dan julukannya Ki Joko Bodo. Menurutnya, julukan 'bodho' karena Raden Trenggono enggan mewarisi tahta Adipati dan memilih untuk menyiarkan agama Islam.
"Disebut Bodho karena dia tidak mau mewarisi tahta Adipati (Gubernur) di Terung Sidoarjo, itu bagian dari Kadipaten Majapahit yang terakhir. Dia tidak mau mewarisi dan milih menyiarkan agama Islam," katanya saat ditemui di Makam Sewu, Wijirejo, Pandak, Bantul, Senin (4/3/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, Hariyadi menyebut jika Panembahan Bodho adalah tokoh yang berpengaruh besar dalam penyebaran agama Islam di Bumi Projotamansari.
"Panembahan Bodho adalah tokoh yang pertama syiar agama Islam di Bantul," ucapnya.
![]() |
Alasan Penamaan Makam Sewu
Selanjutnya, Panembahan Bodho meninggal sekitar tahun 1600 Masehi dan dimakamkan di Makam Sewu. Hariyadi juga menjelaskan mengapa kompleks pemakaman seluas 4 hektare ini bernama Makam Sewu bukan kompleks makam Panembahan Bodho.
"Awalnya yang semare (dimakamkan) Kanjeng Panembahan Bodho sendiri, tapi karena arenanya luas keluarganya dan anak cucunya hingga berkembang ke masyarakat semua pakai," ucapnya.
"Kenapa sewu? Zaman dulu hitungan sewu itu sudah banyak banget, jadi semuanya yang istilahnya banyak dan tidak terbatas itu sewu, belum ada istilah juta maupun miliar. Makanya Makam Sewu itu makam yang banyak," lanjut Hariyadi.
Terlepas dari hal tersebut, untuk tradisi Nyadran sendiri merupakan akulturasi budaya Islam dengan Hindu Jawa. Oleh sebab itu ubo rampe menyerupai sesajinya orang Hindu namun memiliki makna yang berbeda.
"Tapi maknanya tidak seperti mereka, kita maknanya untuk sedekah. Seperti nasi uduk, nasi putih, ada ingkung sebagai simbol dari pengorbanan diri, dipecah dan dinikmati bareng-bareng anak cucu," ujarnya.
"Selanjutnya ketan, kolak dan apem. Ketan itu kotokan, kotokan itu artinya kesalahan, apem itu afwan, afwan itu pengampunan. Jadi dengan ubo rampe itu diharapkan semua kesalahan yang sudah meninggal itu diampuni," imbuh Hariyadi.
Menyoal masih banyaknya masyarakat yang menilai Nyadran adalah hal yang syirik dan berhubungan dengan kafir, Hariyadi tidak mempermasalahkannya. Hariyadi menilai bahwa ibadah terdiri dari hakikat dan syariat, di mana syariat menyesuaikan di mana umat Islam tinggal.
"Kita ibadah kita dengan syariat dan hakikat, hakikat intinya ibadah. Syariat itu terkait tata cara, tata cara yang paling tepat bagi kita sebagai orang Jawa apa? Kalau kita artinya yang penting hakikat jalan, ajaran Islam jalan tapi kita dengan budaya sendiri artinya tidak harus dengan budaya arab," ujarnya.
Begitu pula dengan ubo rampe, Hariyadi menyebut bahwa hal tersebut adalah bentuk sedekah. Seperti halnya jika di Arab melakukan sedekah roti atau sebagainya.
"Seperti ubo rampe sedekahan, tidak harus sedekahan seperti orang Arab kan roti, nah kita dengan nasi uduk, gitu aja. Artinya juga semua bermakna nilai, baik filosofis maupun nilai sosial," katanya.
(apu/cln)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan