Memasuki musim hujan, para petani mulai mempersiapkan awal masa cocok tanam di sawah garapannya. Tak terkecuali petani-petani di Gunungkidul yang memiliki sebuah tradisi sendiri, yaitu Ngawu-awu. Apa itu Ngawu-awu? Yuk, simak penjelasan di bawah ini.
Dikutip dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai total area tanam seluas 106.930 hektare pada tahun 2023. Dari sekian kabupaten/kota di DIY, Gunungkidul menjadi wilayah dengan area tanam paling luas.
Topografi Gunungkidul juga mencakup area dataran tinggi dan dikelilingi pegunungan sehingga sangat cocok dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Adapun satu tradisi yang biasanya dilakukan menjelang musim hujan adalah Ngawu-awu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa Itu Tradisi Ngawu-awu?
Mengutip buku 'Kapasitas Ekonomi Lokal' yang ditulis oleh Ngatidjo, tradisi pertanian Ngawu-awu merupakan kegiatan para petani yang mempersiapkan lahan untuk musim tanam mendatang dengan cara menabur benih di atas tanah kering.
Ngawu-awu dilakukan dengan tujuan agar tanaman dapat tumbuh secara optimal ketika musim hujan tiba. Dalam hal ini, tradisi tersebut telah menjadi suatu teknologi tradisional pertanian masyarakat Kabupaten Gunungkidul.
Relevansi Ngawu-awu di Masa Kini
Pelaksanaan Ngawu-awu biasanya masih menggunakan ilmu Pranata Mangsa atau sistem penanggalan yang berhubungan erat dengan aktivitas bercocok tanam dan digunakan sebagai panduan bagi petani, seperti yang dijelaskan dalam laman resmi Kemdikbud.
Akan tetapi, perubahan iklim global memunculkan pertanyaan apakah tradisi Ngawu-awu masih dapat digunakan dalam menentukan masa tanam. Para petani harus berhati-hati dan cermat dalam menghadapi musim rendeng agar tidak terjadi pemborosan benih.
Dikutip dari laman jogjaprov.go.id, penting untuk menunggu beberapa kali turunnya hujan sebelum melakukan tradisi Ngawu-awu. Ini berguna agar menghindari risiko matinya benih jika hanya ditebar setelah satu kali hujan.
Melihat terjadinya perubahan iklim dan mundurnya musim hujan, masih ada teknologi pertanian modern yang memungkinkan penentuan waktu tebar dan tanam yang lebih tepat daripada menggunakan ilmu titen. Meski begitu, tradisi ini masih terus dilestarikan karena dianggap sebagai bagian dari kearifan lokal dan budaya petani Gunungkidul.
Bagian dari Upacara Garap Siti
Ngawu-awu menjadi salah satu tahapan dari upacara Garap Siti yang dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Banjarejo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul saat mengerjakan tanah pertaniannya.
Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan DIY, upacara Garap Siti bertujuan untuk mengucapkan terima kasih kepada yang telah menjaga kesuburan tanah pertanian. Upacara ini meliputi membajak tanah, Nyadran tahunan, baru kemudian Ngawu-awu.
Sebelum melaksanakan Ngawu-awu, masyarakat menggelar selamatan atau kenduri yang dihadiri oleh warga yang memiliki keterlibatan dalam Ngawu-awu dan dipimpin oleh seorang dukun. Pagi setelah upacara selamatan Ngawu-awu, para pemilik lahan kemudian pergi ke ladang masing-masing.
Nah, itu dia penjelasan mengenai tradisi Ngawu-awu yang banyak dilakukan di Gunungkidul. Semoga bermanfaat, Lur!
Artikel ini ditulis oleh Jihan Nisrina Khairani Peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(dil/dil)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan