Makna Patung Loro Blonyo: Simbol Pernikahan dan Status Sosial Orang Jawa

Makna Patung Loro Blonyo: Simbol Pernikahan dan Status Sosial Orang Jawa

Jihan Nisrina Khairani - detikJogja
Rabu, 06 Des 2023 18:44 WIB
Patung Loro Blonyo
Ilustrasi - Makna Patung Loro Blonyo: Simbol Pernikahan dan Status Sosial Orang Jawa. Foto: Dok. Portal Informasi Indonesia
Jogja -

Apakah detikers pernah menjumpai satu pasang patung di acara pernikahan adat Jawa? Patung tersebut disebut sebagai patung Loro Blonyo yang ternyata mempunyai filosofinya tersendiri bagi masyarakat Jawa. Yuk, simak penjelasan selengkapnya di bawah ini.

Patung Loro Blonyo adalah sepasang patung pengantin Jawa yang sedang duduk bersila dengan menggunakan busana tradisional khas Jawa. Patung ini menjadi bagian penting dari tradisi pernikahan Jawa karena melambangkan keselarasan, keberuntungan, dan keharmonisan dalam kehidupan berumah tangga.

Nama Loro Blonyo berasal dari kata loro yang berarti dua dan kata blonyo yang bermakna warna. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa patung tersebut berwujud sepasang patung laki-laki dan perempuan yang dihiasi dengan berbagai warna, seperti yang dijelaskan dalam buku Meniti Jejak-jejak Estetika Nusantara oleh Mudji Sutrisno.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada pula interpretasi lain yang mengaitkan istilah ini dengan rara yang merujuk pada wanita, serta blonyoh yang memiliki makna lulur. Pengertian ini menyiratkan konotasi hubungan percintaan antara laki-laki dengan perempuan. Lantas, seperti apa makna Patung Loro Blonyo jika dihubungkan dengan kepercayaan masyarakat Jawa?

Simbolisme Dewi Sri dan Dewa Wisnu dalam Patung Loro Blonyo

Patung Loro Blonyo diyakini sudah ada sejak masa Kerajaan Mataram Islam. Berdasarkan Serat Centhini, dapat disimpulkan bahwa patung Loro Blonyo muncul ketika Sultan Agung berkuasa sekitar tahun 1613-1645.

ADVERTISEMENT

Dikutip dari laman indonesia.go.id, patung yang satu ini merupakan representasi dari Dewi Sri dan Dewa Wisnu. Alkisah, ada seorang wanita cantik bernama Retno Dumilah yang diciptakan karena rasa kesepian Batara Guru di kahyangan. Kecantikan Retno Dumilah atau Dewi Sri pun menyebabkan Batara Guru jatuh cinta. Namun, penolakan Dewi Sri menjadikan Batara Guru marah sehingga ia memerintahkan Kala Gumarang untuk mencari tahu penyebabnya.

Alih-alih menyelidiki, Kala Gumarang justru ikut terpesona dengan Dewi Sri. Karena murka, Dewi Sri akhirnya mengutuk Kala Gumarang menjadi babi. Akan tetapi, Kala Gumarang yang berwujud babi tetap terus mengejarnya hingga ke dunia manusia.

Di lain sisi, tempat Dewi Sri tinggal ditumbuhi oleh tanaman padi yang subur sambil memancarkan cahaya. Prabu Mangkukuhan dari Kerajaan Medang melihat cahaya tersebut berasal dari seorang wanita cantik.

Setelah mengetahui bahwa wanita itu adalah Dewi Sri, Prabu Mangkukuhan menyatu dengan Batara Wisnu dan mengambil Dewi Sri sebagai istrinya. Batara Wisnu yang telah menjelma juga dikenal sebagai Raden Sadana. Sementara itu, masyarakat setempat merawat tanaman yang ditinggalkan Dewi Sri serta melindunginya dari babi atau hama lainnya.

Dalam versi cerita lain, disebutkan bahwa Dewi Sri dan Raden Sadana merupakan sepasang kembar yang saling mencintai, tetapi tidak dapat menikah karena status mereka sebagai saudara kandung. Putus asa, Sadana mengakhiri hidupnya dengan harapan bereinkarnasi sebagai manusia dan menikahi Dewi Sri.

Setelah kepergian Sadana, Dewi Sri hidup sebagai pengembara yang dikejar oleh Batara Kala. Beruntung, para petani membantu Dewi Sri sehingga sebagai balas budi, ia memberikan hasil sawah yang melimpah kepada mereka. Para petani pun mengabadikan Dewi Sri dan Raden Sadana dalam bentuk patung pengantin yang duduk berdampingan sebagai tanda terima kasih.

Loro Blonyo sebagai Simbol Pasangan Hidup

Dikutip dari buku Wangun, Ora Wangun, Aèng karya Rahmanu Widayat, patung Loro Blonyo dalam konteks filosofi Jawa mencerminkan tiga ajaran ketika hendak mencari pasangan hidup yaitu bibit, bebet, bobot. Untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan pernikahan, sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek penting dari calon pasangan, seperti aspek fisik, kestabilan finansial, dan karakter.

Dalam tradisi Jawa, pernikahan juga dikenal dengan sebutan nyawiji yang berarti menyatu. Meskipun pada awalnya keduanya adalah dua orang yang berbeda, hubungan mereka baik secara emosional maupun fisik telah menyatu melalui nyawiji. Konsep ini digambarkan dalam ungkapan duwekku ya duwekmu, laramu ya laraku, bungahku ya bungahmu.

Lebih lanjut, pasangan suami istri diharapkan memiliki persatuan seperti ikan laut mimi dan mintuna yang tak terpisahkan, sebagaimana disimbolkan oleh konsep lir mimi lan mintuna dalam budaya Jawa. Kedekatan ikan laut mimi dan mintuna yang selalu berenang bersama ke mana pun pergi menjadi gambaran hubungan yang harmonis antara suami dan istri.

Patung Loro Blonyo, Penanda Status Sosial

Makna patung Loro Blonyo dalam konteks sosiologi juga menggambarkan suatu simbol status sosial yang terkait dengan kepemilikan. Pada zaman dahulu, patung ini tidak diperuntukkan bagi semua kalangan, melainkan hanya dapat dimiliki oleh segelintir orang atau kelompok yang memiliki status sosial tinggi, seperti raja, pangeran, dan bangsawan.

Ukuran patung Loro Blonyo yang besar menjadi representasi dari status istimewa menandakan privilese status yang dipegang oleh kelompok-kelompok tertentu. Proses stratifikasi sosial yang terjadi sejalan dengan monopolisasi barang-barang tertentu, termasuk patung Loro Blonyo sehingga menjadi lambang istimewa bagi mereka yang menduduki posisi tertentu dalam struktur sosial.

Nah, itu dia serba-serbi mengenai patung Loro Blonyo yang memiliki makna mendalam tentang kehidupan pernikahan. Semoga bermanfaat!

Artikel ini ditulis oleh Jihan Nisrina Khairani peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(cln/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads