Biografi Kyai Mojo, Leluhur Duta So7 yang Punya Peran Besar di Perang Jawa

Biografi Kyai Mojo, Leluhur Duta So7 yang Punya Peran Besar di Perang Jawa

Nur Umar Akashi - detikJogja
Jumat, 01 Des 2023 13:01 WIB
Duta Sheila On 7
Duta Sheila On 7. (Foto: Instagram @pakduta)
Jogja -

Kyai Mojo adalah seorang Pahlawan Nasional yang begitu termasyhur di masyarakat Indonesia. Sepak terjangnya dalam Perang Jawa dan kontribusinya yang nyata membuat namanya harum dalam lembaran sejarah.

Sedikit menyingkir dari topik, tahukah detikers bahwa salah satu keturunan Kyai Mojo adalah personil Sheila On 7, Duta? Nama lengkap dari personel SO7 itu sendiri adalah Akhdiyat Duta Mojo. Berdasar informasi yang disampaikan Duta di kanal Youtube Sallim A. Fillah, Duta SO7 adalah keturunan ke-7 dari Sang Kyai.

Agar dapat lebih memahami secara komprehensif tentang Kyai Mojo dan sepak terjangnya dalam Perang Jawa, yuk, simak informasinya berikut ini. Selamat membaca!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Biografi Singkat Kyai Mojo

Mengutip dari buku Konflik dan Taktik Perang Jawa 1825-1830 karya Muhammad Muhibbudin, Kyai Mojo adalah seorang alim-ulama asal Jawa Tengah. Ia lahir dari pasangan Iman Abdul Arif dan R.A. Mursilah dengan nama asli Muslim Mochammad Khalifah.

Ayahnya merupakan seorang ulama di wilayah Desa Baderan dan Mojo. Ibunya memiliki darah kraton yang bertalian dengan Sri Sultan Hamengkubuwono III sebagai saudaranya. Selain itu, Kyai Mojo sejatinya juga merupakan keponakan dari Pangeran Diponegoro dari jalur ibu.

ADVERTISEMENT

Kyai Mojo diceritakan menempuh berbagai ilmu, mulai dari ilmu syariah hingga ilmu kanuragan. Sepeninggal ayahnya, Kyai Mojo menggantikan jabatan sang ayah menjadi pengasuh pesantren. Lama-kelamaan, namanya dikenal sebagai Kyai Mojo.

Pada Perang Jawa, Pangeran Diponegoro memilihnya sebagai pendamping sekaligus panglima perang. Setelah kalah dalam perang tersebut, ia dibawa ke Batavia sebelum kemudian dibuang ke Tondano di Sulawesi.

Kyai Mojo wafat di Tondano pada 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun. Makamnya berada di Perbukitan Desa Wuluan, Kecamatan Tolimambot, Minahasa, Sulawesi Utara.

Kyai Mojo dalam Perang Jawa

Mengutip tulisan di dalam Jurnal Didaktika Dwija Indria berjudul Dialek dan Identitas Jawa Tondano di Minahasa, pemicu Perang Jawa adalah akibat keinginan VOC untuk menguasai perkebunan rakyat yang kaya akan rempah di wilayah Jawa dan Sulawesi. Belanda mulai mengklaim sawah-sawah rakyat dengan patok.

Makam Raja-raja Yogyakarta pun tak lepas dari sasaran pematokan yang dilakukan Belanda. Pun jalan-jalan perdagangan yang dilewati rakyat dikenai biaya yang mahal. Melihat kondisi rakyat yang mengenaskan sekaligus geram dengan perilaku Belanda, Pangeran Diponegoro menyusun rencana perlawanan.

Kyai Mojo yang dihubungi oleh Sang Pangeran langsung sepakat untuk bergabung. Kemudian Kyai Mojo bergabung dengan Sang pangeran di Gua Selarong. Tak lama, Perang Jawa pecah pada tahun 1825.

Jabatan yang diemban oleh Kyai Mojo adalah sebagai penasehat spiritual Pangeran Diponegoro sekaligus panglima perangnya. Jabatan ini menjadi bukti betapa besarnya peran yang dihadirkan oleh Sang Kyai dalam perjuangan ini.

Dalam kecamuk perang, Kyai Mojo juga pernah menjadi pengganti Sang Pangeran tatkala dirinya terluka akibat peluru. Pangeran Diponegoro pernah menunjuk Kyai Mojo untuk menjadi wakilnya dalam perundingan dengan Belanda di Klaten pada 29 Agustus 1827.

Sejak bergabung, Kyai Mojo berhasil merekrut tambahan pasukan untuk Pangeran Diponegoro. Di antaranya adalah sejumlah kyai desa, syaikh, para pejabat urusan agama, guru ngaji, ulama, hingga santri-santri.

Mengutip dari tulisan dalam Jurnal Integrasi dan Harmoni Inovatif Ilmu-Ilmu Sosial berjudul Strategi Diponegoro dalam Menggerakkan Semangat Jihad Masyarakat Islam di Jawa, komposisi kekuatan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa terbagi atas dua kekuatan besar, yakni kekuatan Islam (kyai, ulama, dan para santri) serta dukungan rakyat lintas daerah (Madiun, Pajang, Bagelen, dan Mataram).

Kyai Mojo dan ulama lainnya yang bergabung lantas menyerukan semangat jihad untuk bertempur dan mengusir penjajahan Belanda. Untuk terus membakar semangat pasukannya, Kyai Mojo membahas dan mengangkat mengenai ayat-ayat yang menjelaskan tentang jihad. Hal ini sesuai dengan tindakan Pangeran Diponegoro yang menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman untuk berperang.

Sang Kyai juga menanamkan semangat keislaman dalam dada Pasukan Diponegoro. Hal ini dilakukannya agar para prajurit tersebut tidak patah semangat dan berjuang dengan ikhlas.

Akibat taktik gerilya yang hebat dari Kyai Mojo dan Pangeran Diponegoro, Perang Jawa berlangsung berlarut-larut dan membuat Jenderal De Kock naik pitam. Ia marah karena sudah hampir 4 tahun dan pasukannya masih tidak mampu untuk memadamkan perlawanan tersebut.

Intelijen dari Jenderal De Kock menyimpulkan bahwa pilar yang harus diatasi adalah Kyai Mojo selaku tangan kanan dan panglima perang. Karenanya, disusunlah rencana penangkapan Kyai Mojo.

Kisah Penangkapan Kyai Mojo

Jenderal De Kock mengundang Kyai Mojo untuk berunding pada 31 Oktober 1928 di Desa Mlangi, Jogja. Namun, perundingan tersebut gagal. Tak putus asa, Pasukan Belanda kembali membujuk sang Kyai untuk berunding kembali.

Jika pada perundingan kedua ini tetap gagal, maka Kyai Mojo akan ditangkap. Berjalanlah perundingan tersebut pada 12 November 1928 di Desa Kembang Arum, Jogja. Perundingan tersebut kembali gagal dan alhasil, Kyai Mojo beserta 500 pasukannya dikepung oleh militer Belanda.

Kyai Mojo meminta agar pasukannya dibebaskan dan hanya kerabat-kerabatnya yang ditahan. Permintaan tersebut dikabulkan sehingga sebagian besar pasukannya dibebaskan kembali. Penangkapan Kyai Mojo selaku panglima perang dan penasihat spiritual Pangeran Diponegoro menjadi pukulan besar.

Terdapat perbedaan catatan sejarah terkait kisah penangkapan Kyai Mojo. Sumber lain menyebutkan bahwa sebenarnya Kyai Mojo menyerah kepada Belanda akibat mulai terjadi perbedaan tujuan dengan Pangeran Diponegoro.

Dalam buku Kronik Perang Jawa 1825-1830 karya Abdul Rohim, dituliskan bahwa Kyai Mojo bersama pengikutnya keluar dari barisan Pasukan Diponegoro pada 12 November 1828. Hal ini disebabkan karena tujuan awal Kyai Mojo dan santri-santrinya bergabung adalah untuk memulihkan Agama Islam.

Namun, semakin lama Perang Jawa berjalan, tujuan Pangeran Diponegoro justru condong untuk mendirikan keraton baru. Terkait mana versi yang benar, hal tersebut memerlukan campur tangan pemerintah untuk memberikan penerangan. Intinya, sejak tanggal 12 November 1828 tersebut, Kyai Mojo jatuh ke tangan Belanda.

Pengasingan Kyai Mojo

Usai ditangkap, Gubernur Jenderal Du Bus memaksa Kyai Mojo untuk meminta Pangeran Diponegoro datang berunding. Setelah berbulan-bulan dipaksa, Kyai Mojo akhirnya mengirim surat kepada Pangeran Diponegoro.

Akibat strategi licik Belanda, Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap dan dipenjarakan bersama Kyai Mojo di Batavia. Bersama pengikutnya, keduanya dipenjarakan selama 25 hari.

Pada 17 November 1828, Kyai Mojo diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Ia diasingkan bersama putranya, Gozali Mojo, dan pengikutnya yang berjumlah 63 orang. Kyai Mojo kemudian wafat di tanah tersebut dalam usia 57 tahun.

Demikian biografi Kyai Mojo yang berperan besar dalam Perang Jawa. Semoga informasi yang disampaikan bermanfaat, ya, detikers!




(sip/sip)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads