Jogja -
Tidak sedikit wisatawan atau mahasiswa rantau kebingungan ketika meminta petunjuk arah ke warga Jogja. Sebab, mayoritas warga Jogja menggunakan petunjuk arah mata angin sebagai penanda lokasi.
Tak jarang informasi lokasi dengan arah mata angin ini membuat culture shock bagi wisatawan maupun mahasiswa rantau. Akademisi UGM memberikan penjelasan akan fenomena ini. Penasaran? Berikut ulasan selengkapnya.
Orientasi Mata Angin Berasal dari Kiblat Papat Lima Pancer
Dosen Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM) Rudy Wiratama (33) mengatakan orientasi arah mata angin bersumber pada kepercayaan yang dikenal dengan papat kiblat lima pancer, atau empat arah dan satu pancer (titik tengah) dengan manusia sebagai pancer atau pusatnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kiblat papat lima pancer itu kita sebagai manusia hidup di dunia sebagai pancer sebagai pusat. Sebab manusia itu berkedudukan sebagai jagad gede. Jagad gede itu kan dunia yang makro kosmos, sementara dunia yang alam ini adalah mikro kosmos. Sebab yang berpengaruh ke dalam apa yang dilihat dan dirasakan manusia itu ya ada disini, di dalam jiwa. Artinya yang berkuasa itu jagad gedenya itu, ada dalam diri manusia," kata Rudy saat ditemui di ruangannya di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (8/11/2023).
Konsep kiblat papat lima pancer ini juga dikaitkan dengan sumbu filosofi Jogja dengan arah utara adalah Gunung Merapi sebagai lambang laki-laki, dan selatan adalah Pantai Selatan sebagai lambang perempuan. Sedangkan arah barat dan timur dapat diketahui melalui proses terbit dan terbenamnya matahari.
"Sebagai contoh Jogja ini kan konon katanya punya sumbu filosofis, yang utara itu adalah Gunung Merapi yang menyemburkan lava dan menjadi sumber kesuburan, kelak setelah lava itu mendingin tanahnya menjadi gembur, ditanami, itu lambang dari seorang ayah, kekuatan laki-laki. Kemudian yang di selatan itu Pantai Selatan itu teduh, dingin, lambang dari ibu, makanya kan penguasa Pantai Selatan kan pasti perempuan, tetap Nyi Roro Kidul, Ratu Kidul, dan sebagainya itu," ucapnya.
Kaitan tersebut kemudian menimbulkan konsep baru yang disebut sangkar parang, bermakna manusia yang berada di tengah atau pancer berasal dari daya seorang bapak dan ibu.
"Ya ini kan konsep sangkar parang bahwa manusia yang ada di tengah itu berasal dari dayanya bapak dan ibu. Kemudian barat dan timur jelas itu kan pergerakan yg selalu konstan. Matahari selalu terbit dan terbenam, kita dipengaruhi oleh waktu. Itu salah satu pemaknaan juga," katanya.
Alasan lain, orientasi arah mata angin masih kental digunakan karena Pulau Jawa diuntungkan dengan bentang alam yang melintang dari barat ke timur sehingga hal ini menjadi cara alternatif atau life hack untuk mengidentifikasi arah barat dan timur.
"Bentang alam Jawa itu sangat memungkinkan untuk itu (arah mata angin), maksudnya pulau Jawa itu kan melintang dari barat ke timur. Jadi kita mengidentifikasi barat dan timur itu gampang, matahari terbit pasti dari timur matahari tenggelam pasti dari barat, itu kan salah satu life hack," jelasnya.
"Memang posisi (geografis) Jogja juga ideal untuk ilustrasi seperti itu," imbuhnya.
Penggunaan Kiblat Papat Lima Pancer
Selain untuk penunjuk arah, orientasi mata angin juga dimanfaatkan masyarakat Jawa untuk memaknai hari Jawa, menentukan jodoh, hingga menentukan arah rumah.
"Orientasi arah itu menjadi penting bagi manusia Jawa dan itu punya makna sendiri-sendiri, bahkan dina (hari) pasaran itu terkait juga dengan itu, weton (kelahiran) juga terkait dengan kiblat papat lima pancer itu. Makanya orang Jawa itungan, apapun pasti kembalinya ke situ, utara selatan barat timur itu, mendirikan rumah, sampai ngitung jodoh. Makanya tidak heran kalau orang Jawa itu pasti orientasinya lor kidul wetan kulon, tidak di sebelah kiri jalan dari arah sini, itu terlalu kompleks," terang Rudy.
Hingga saat ini, sistem kiblat papat lima pancer ini masih digunakan meski cenderung lebih pragmatis dibanding zaman dahulu. Contohnya adalah ketika mencari arah kiblat atau membangun rumah.
"Sekarang, barangkali (penggunaan kiblat papat lima pancer) masih dipahami, itu kan dalam ranah yang lebih pragmatis, gak pakai lagi simbolik mitologi. Saya kira kiblat papat lima pancer ini masih dipahami, dan banyak tersebar jejaknya tadi di dalam arsitektur dan untuk tata kota dan lain sebagainya," ucap Rudy.
"(Contoh) kalau kita melihat ke (arah) barat, jelas itu tuntunan umat Islam se-Indonesia kalau sholat menghadap ke barat, karena kiblatnya di barat agak serong ke utara. Jadi kalau tersesat tinggal lihat masjidnya menghadap ke mana dah selesai. (Pembangunan) rumah Jawa menghadap ke utara atau selatan, pantang mendirikan rumah menghadap barat atau timur, alasannya kalo pagi kepanasan kalau sore juga sama blereng, kalo utara dan selatan kan netral," imbuhnya.
Selengkapnya di halaman berikut.
Bagi warga Jogja, penggunaan mata angin merupakan salah satu kepraktisan dalam menunjukkan letak suatu wilayah.
"Memang itu yang paling simpel daripada pake titen-titenan kanan kiri. Ya kanan kiri kan dari perspektif mana, kan jalannya ada dua arah, tapi kalo pake utara selatan barat timur itu sudah precise," ujar dosen sastra jawa tersebut.
Metode Arah Mata Angin dan Bangsa Maritim
Rudy tak menampik metode arah mata angin ini tidak hanya terpusat di daerah Jawa saja. Namun, seluruh Nusantara kemungkinan memiliki metode serupa mengingat dulunya Indonesia dikenal sebagai bangsa maritim.
"Saya kira di seluruh kebudayaan Nusantara ada metodologi seperti ini ada, cuma pemaknaannya beda, yang jelas kita perlu ingat bahwa bangsa kita kan bangsa maritim ya. Dulu banyak bergerak di bidang pelayaran, kalau nggak tahu utara timur gimana, nggak sampai (tujuan)," ucap dosen UGM itu.
Tepis Petunjuk Arah Mata Angin Bikin Culture Shock
Lantas jika seluruh Nusantara mengadopsi metode mata angin, mengapa begitu banyak mahasiswa rantau yang culture shock akan kebiasaan orang Jogja?
Rudy menjawab jika salah satu penyebabnya adalah sudah tidak banyak orang yang melestarikan cara tersebut, kebiasaan, lingkungan dan tempat tinggal juga menjadi penyebab.
"Bisa jadi (jarang orang yang melestarikan), apalagi mahasiswa kota-kota besar kan tambah pragmatis lagi kehidupannya. Barangkali mereka hidup di kompleks-kompleks, kalo di sana pergaulannya nggak membutuhkan itu (arah), transportasi tinggal naik MRT, KRL jadi kan sensitivitas terhadap arah itu hilang," terang Rudy.
Alih-alih menganggap culture shock, akademisi UGM ini lebih setuju fenomena ini dianggap sebagai pengetahuan yang hilang dan tidak bisa menyalahkan atas apa yang telah terjadi.
"Istilahnya bukan culture shock ya, tapi memang itu adalah pengetahuan yang hilang dan kita tidak bisa menyalahkan itu (ketidaktahuan mahasiswa akan arah mata angin), karena lingkungan tempat berkembang dan tumbuh para mahasiswa sudah tidak sejalan dengan itu. Apalagi masyarakat kita berubah, kalau tadi masyarakat maritim dan agraris, mereka masih perlu pengetahuan soal itu, kalo sekarang masyarakat industri enggak," kata Rudy.
Bahkan ketidaktahuan akan arah mata angin tidak meliputi mahasiswa rantau saja. Mahasiswa asli Jawa pun mengalami hal serupa meskipun angkanya tidak besar.
"Yang jelas ada pergeseran (pada mahasiswa asli Jawa), walaupun persentase nya nggak 100% ada yang masih memegang itu. Sebab hal itu sudah terpatri kuat dan turun temurun, konsep kiblat papat lima pancer itu dan ini diwarnai dengan persentuhan banyak peradaban," katanya.
Tanggapan Masyarakat Jogja
Salah seorang warga, Mugo (65) mengaku terbiasa memberikan petunjuk arah dengan mata angin. Dia mengaku hal ini sudah sebagai kebiasaan turun temurun.
"Iya, dari nenek moyang juga gitu, kebiasaan juga," ucap pria asli Jogja itu ditemui di kawasan Malioboro, Selasa (10/11).
Ia tak menampik jika masyarakat luar Jogja kerap kebingungan jika diberikan petunjuk tempat menggunakan arah mata angin. Terkadang, Mugo harus menggunakan pendekatan lain agar masyarakat luar memahaminya.
"Iya bingung, Kalau saya (kebanyakan) orang (luar Jawa, tahu) arahnya kanan kiri, ya itu cuman lurus aja itu namanya ke selatan, saya bilang begitu. 'Jadi mbak mau ke mana?' 'Ini saya mau ke Pasar Beringharjo', 'ini lurus aja, saya bilang begitu'," kata pria yang berprofesi sebagai tukang becak tersebut.
Lain halnya dengan Laras (60). Dia memilih memberikan arah dengan mata angin karena lingkungan.
"Lingkungannya, sering pakai itu sih," terang Laras.
Laras menganggap jika memberikan arah menggunakan mata angin telah menjadi ciri khas penduduk Jawa khususnya masyarakat Jogja.
"Emang ciri khas e gitu e, lor kidul wetan kulon, yo nek orang jawa ki biasane lor kidul wetan kulon. Yo kebiasaan gitu, oh kidul kono wetan kono," ucap pria asli Jogja tersebut.
Curhat Mahasiswa Rantau Soal Petunjuk Pakai Mata Angin
Sementara itu, pengakuan mahasiswa rantau asal Bekasi, Brigita (21), menceritakan pengalamannya ketika bertanya arah pada warga Jogja, mereka akan menjelaskan menggunakan mata angin.
"Tapi aku pernah misal kaya nanya, pak kalau misalkan dari tempat ini di mana ya, itu di utara dek, penjelasannya kaya gitu, atau nanya ke temenku yang asli Jogja pasti dia ngomongnya kayak ini dari sini ke utara abis itu ke selatan," terangnya.
Ia juga terkejut dan kebingungan ketika mengetahui kebiasaan orang Jogja yang menunjukkan arah menggunakan mata angin. Budaya ini berbeda dengan daerah asalnya yang menggunakan kanan-kiri sebagai penjelas arah.
"Aku bingung aku nggak ngerti karena kan pas awal-awal kaya 'hah ?' Aku kaya gitu, pas awal-awal aku beneran kaget dan nggak ngerti sama sekali. (Kebiasaan) aku kanan kiri," pungkas Brigita.
Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidavayastama dan Galardialga Kustanto Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.
Komentar Terbanyak
Kanal YouTube Masjid Jogokariyan Diblokir Usai Bahas Konflik Palestina
Israel Ternyata Luncurkan Serangan dari Dalam Wilayah Iran
BPN soal Kemungkinan Tanah Mbah Tupon Kembali: Tunggu Putusan Pengadilan