Kisah Bioskop Permata, Bangunan Belanda di Tanah Pakualaman

Bioskop Lawas di Jogja

Kisah Bioskop Permata, Bangunan Belanda di Tanah Pakualaman

Mahendra Lavidavayastama, Jihan Nisrina Khairani - detikJogja
Selasa, 31 Okt 2023 10:22 WIB
Bioskop Permata Jogja. Bioskop ini dibangun pada tahun 1940 dan sempat menjadi pusat hiburan tentara Jepang. Foto diambil Selasa (10/10/2023).
Bioskop Permata Jogja (Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja)
Jogja -

Bioskop Permata pernah menjadi salah satu tempat populer di kalangan masyarakat Jogja. Gedung yang terletak di Jalan Sultan Agung, Pakualaman, ini memiliki banyak kenangan personal bagi penggunanya sebelum akhirnya ditutup permanen pada tahun 2010. Seperti apa kisahnya?

Dilansir dari Buletin Mayangkara milik Pura Pakualaman yang terbit pada 2018, Bioskop Permata dulunya bernama Luxor. Biskop ini dibangun Belanda sekitar tahun 1940-an dan mulai dikelola tahun 1951.

Bioskop Permata memiliki kapasitas sebanyak 350 kursi dan berarsitektur gaya art deco. Pada masanya, bioskop ini digunakan sebagai sarana hiburan bagi para tentara Jepang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tanah yang ditempati gedung Bioskop Permata merupakan tanah milik Pakualaman. Penghageng Kawedanan Kaprajan Kadipaten Pakualaman, KPH Suryo Adinegoro atau yang lebih akrab disapa Bayudono menjelaskan, saat ini memang pengelolaan gedung tersebut diurus pihaknya.

"Sejak kecil saya itu sudah ada di situ dan dulu namanya Bioskop Luxor. Pada tahun sekitar 1960-an berubah menjadi Permata. Waktu itu banyak nama-nama bioskop yang pakai nama asing, jadi ada keharusan untuk diganti. Kalau tanah itu memang tanahnya Pakualaman," kata Banyudono saat diwawancara detikJogja di Dalem Kepatihan Purwokinanti, Selasa (10/10/2023).

ADVERTISEMENT

Bayudono mengenang masa-masa saat bioskop tersebut masih beroperasi. Ia sendiri pernah mengunjungi Bioskop Permata ketika masih menjadi mahasiswa, kala itu ada extra show.

"Saya mahasiswa itu masih ada yang namanya extra show, sekitar tahun 1970 ke atas. Extra show itu pertunjukan film di luar jam mereka yang diprakarsai oleh kelompok atau mahasiswa. Jadi kelompok mahasiswa nyewa film, puter di situ, bayar sama bioskopnya. Tapi jual karcis, karcisnya Rp 25. Memang zaman gitu satu-satunya hiburan ya bioskop," kenang pria 72 tahun itu.

"Waktu itu masih saya ingat, film terakhir yang main Yul Brynner," gelaknya.

Menurut ingatannya, Bioskop Permata termasuk ke dalam kategori layar lebar kelas pertama. Selain Permata, juga terdapat Bioskop Indra yang bertempat di Gedung Senisono dan merupakan bioskop terbesar pada masanya.

"Yang jelas kalau standar bioskop ya trap turun (arsitekturnya). Layanannya juga termasuk bagus soalnya besar karena ada yang (bioskop) kecil. Dulu juga ada bioskop Senisono, itu termasuk kecil. Kalau Permata masuknya lumayan besar. (Bioskop) Indra itu paling gede," ujar Bayu.

Setelah ditutup secara permanen, gedung eks Bioskop Permata menjadi kosong. Namun, pihak Pakualaman sebagai pengelola menyatakan masih ada beberapa aktivitas yang digelar di gedung tersebut, terutama yang berhubungan dengan perfilman.

"Kita ada kegiatan untuk anak-anak muda perfilman gitu, semacam musyawarah atau rapat di situ, pernah digunakan. Memang kita terbuka siapa pun yang mau pakai silakan. Arah kita adalah untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan masalah perbioskopan. Tapi yang sedang kita pikir masalah parkirnya itu," tutur dia.

Selengkapnya di halaman selanjutnya.

Terkendala Lahan Parkir

Masalah lahan parkir menjadi hambatan utama pengembangan Bioskop Permata. Terbatasnya lahan yang tersedia menjadi perhatian serius bagi Bayudono selaku pengelola.

"Kembali yang tadi, nggo parkir ngendi (buat parkir di mana)? Siapa orang yang mau nyewa kalo nggo (buat) parkir nggak ada. Nah ini sedang ngincer-ngincer (mencari) tanah yang bisa kita kelola di sekitar, itu untuk kita gunakan parkir, agar itu (Bioskop Permata) bisa hidup kembali lah," ujar Bayudono.

Bayudono mengungkap jika banyak yang ingin mengelola dan berinvestasi ke Bioskop Permata. Namun terbatasnya lahan parkir membuat mereka berpikir ulang untuk memanfaatkan bangunan tersebut. Kegiatan selain seputar perfilman juga belum ada, karena terbentur masalah yang sama.

"Belum ada (kegiatan selain perfilman) ya itu tadi terbentur parkir, banyak investor mau nyewa tapi terbentur parkir. Wah nggak ada parkirnya," ucapnya.

"Intinya kegiatan untuk perfilman, harapannya kalau masalah parkir terselesaikan ya arahnya ke situ (kegiatan perfilman)," Bayudono menambahkan.

Gedung Bioskop Permata itu mulai direnovasi Dinas Kebudayaan DIY sejak tahun 2020 untuk mengembalikan bangunan seperti bentuk awal. Anggaran renovasi dengan menggunakan Dana Keistimewaan (Danais).

"Kita adakan renovasi itu sekitar tiga tahun yang lalu. Dengan Danais maka itu direhabilitasi, dikembalikan ke bentuk semula. Itu dananya dari Danais dan dilaksanakan oleh (Dinas) Kebudayaan. Kita hanya sekadar supervisi saja," ungkap Bayu.

Bayu mengungkap bangunan Bioskop Permata juga sempat rusak gegara gempa. Namun, kerusakan akibat gempa itu tidak parah.

"Iya ada itu (rusak karena gempa), renovasi, tapi tidak mayor, minor aja lah, artinya nggak berat harus bongkar, gawenane (bikinan) Londo yo kuat," ucap pria yang bertugas sebagai Pengageng Kawedanan, Keprajan Kadipaten Pakualaman tersebut.

Pihak pengelola berharap bioskop ini bisa menjadi pusat aktivitas perfilman di Jogja hingga sampai ke tingkat nasional. Kadipaten Pakualaman siap untuk menyediakan tempat untuk diskusi terkait perfilman di tempat ini.

"Ya harapannya bisa jadi pusat kegiatan perfilman di Jogja atau mungkin malah di nasional, artinya ada tempat insan-insan perfilman kumpul bicara masalah perfilman. Kita sediakan tempatnya. Ojo mung diopeni tok ora ono gunane (jangan cuma dipelihara saja tapi tidak ada gunanya)," harap Abdi Dalem Pakualaman, KPH Suryo Adinegoro menambahkan.

Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidavayastama dan Jihan Nisrina Khairani Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.

Halaman 2 dari 2
(ams/dil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads