Di antara bangunan Ambarrukmo Plaza dan Hotel Royal Ambarrukmo, Sleman, DIY, terdapat bangunan penuh sejarah. Bangunan yang menjadi pesanggrahan di era Raja Keraton Jogja Sultan Hamengku Buwono (HB) VII ini menjadi saksi sejarah perjalanan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ketika mengunjungi Pesanggrahan Ambarrukmo, Selasa (10/10/2023), detikJogja berkesempatan melakukan wawancara dengan General Manager Royal Ambarrukmo, Herman Courbois dan Ambar Bakhtiar selaku abdi dalem yang ditugaskan Keraton Jogja di pesanggrahan tersebut.
Pesanggrahan yang Berawal dari Kebun Jenu
Sebelum menjadi pesanggrahan seperti sekarang, tempat ini bernama Kebon Jenu atau kebun kerajaan semasa Sultan Hamengku Buwono II bertakhta. Dahulu di tempat ini hanya terdapat joglo kecil sebagai tempat istirahat raja. Di sini pula Hamengku Buwono II dan III melakukan pertemuan dengan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tahun 1809-an.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dulu di masa Hamengku Buwono II namanya itu Kebun Jenu atau kebun kerajaan. Jadi di sini banyak tanaman, ditanami sayur-sayur, buah-buahan. Dulu kan Kebun Jenu itu tempat Hamengku Buwono II dan III pernah ketemu dengan Gubernur Hindia Belanda Daendels, sekitar 1809 itu di depan (pesanggrahan). Jadi ini masih hutan, cuma ada joglo kecil, tempat untuk istirahat raja," tutur Bakhtiar kepada detikJogja.
Setelah periode Hamengku Buwono V, kompleks ini ditambahi sebuah pendopo kecil. Hal ini turut mengubah penamaan dari kawasan tersebut menjadi Harjapurna. Kemudian saat Hamengku Buwono VI bertakhta (1855-1877), pendopo tersebut diperluas.
"Nah baru setelah era Hamengku Buwono V, itu dibuat sebuah pendopo kecil. Namanya berubah bukan Kebun Jenu lagi, tapi Harjapurna. Itu diperbesar joglo kecilnya. Bertahap setelah Hamengku Buwono V wafat, diteruskan oleh adiknya Hamengku Buwono VI, itu dibangun lagi pendoponya diperbesar," ujar Bakhtiar menambahkan.
Perlu diketahui, di Jogja terdapat beberapa pesanggrahan, misalnya Ambarketawang sebagai tempat tinggal sementara Hamengku Buwono I, Ambarbinangun yang digunakan oleh Hamengku Buwono II, dan Ambarrukmo sebagai tempat tinggal dari Hamengku Buwono VII setelah mandeg pandito. Ketiga tempat tersebut memiliki kegunaan berbeda di zamannya.
"Kalau pesanggrahan di Jogja itu kan ada Ambarketawang. Dulu tempat tinggal sementara Hamengku Buwono ke-1 sebelum beliau pindah ke Keraton. Jadi waktu pembangunan Keraton, beliau tinggal sementara di Ambarketawang karena Keraton belum jadi. Setelah jadi, beliau boyongan (pindahan) dari Ambarketawang menuju ke Keraton. Sekarang jadi (tanggal) ulang tahun Jogja, itu perpindahan dari Ambarketawang ke Keraton. Setelah itu Ambarbinangun, itu dipakai Hamengku Buwono II, ada pemandian Taman Sari," ucap abdi dalem tersebut.
Bakhtiar turut menjelaskan mengenai Geger Sepoi yang sempat melanda Jogja tahun 1812, peristiwa ini merupakan penyerangan tentara Inggris kepada Keraton Jogja, pada masa itu Sultan sempat ditangkap dan diasingkan.
"Jadi dulu di era Hamengku Buwono I (dan) Hamengku Buwono II ada banyak pembangunan. Tapi juga banyak yang hancur karena Geger Sepoi waktu Hamengku Buwono II. Keraton diserang sama tentara Inggris itu Beliau (Hamengku Buwono II) sempat ditangkap diasingkan di Pulau Penang, Malaysia," ucapnya menambahkan.
![]() |
Terdapat satu ucapan cukup masyhur yang diucapkan oleh Sultan Hamengku Buwono VII ketika bertakhta, yakni "Tidak pernah (akan) ada raja yang meninggal di kraton setelah saya". detikJogja meminta konfirmasi kepada Bakhtiar terkait ucapan itu. Bakhtiar mengatakan kata-kata tersebut terucap kemungkinan bersamaan dengan HB VII emosi lantaran ketika lengser keprabon beliau sedang sedih.
"Itu kemungkinan waktu beliau emosi, karena lengser keprabon itu dalam keadaan beliau sedih, jadi beliau kayak mengucapkan sumpah serapah itu kan seperti sumpah karena mungkin saking jengkelnya," ujar Bakhtiar.
Perkataan tersebut seolah bukan isapan jempol belaka, pasalnya Sultan setelah Hamengku Buwono VII wafat tidak berada di Keraton Jogja. Bakhtiar menjelaskan jika Hamengku Buwono VIII wafat di Rumah Sakit Panti Rapih karena sakit, sementara Hamengku Buwono IX wafat di Washington DC, Amerika Serikat.
"Yang saya tahu dari sejarah, HB VIII dan HB IX meninggal di kereta dalam waktu perjalanan, HB VIII itu sakit sempat dibawa ke Panti Rapih tapi meninggal. HB IX itu wafat di Washington DC, Amerika," ucapnya.
Kini Dikelola oleh Royal Ambarrukmo
Saat ini Pesanggrahan Ambarrukmo yang terletak di antara Ambarrukmo Plaza dan Royal Ambarrukmo ini dikelola oleh pihak hotel. Namun pengelolaan tersebut untuk tujuan menjaga, terkait dengan kepemilikan tempat tetap milik Keraton Jogja.
"Pesanggrahannya itu memang langsung di-manage oleh hotel karena menjadi satu bagian dari Royal Ambarrukmo, semua maintenance pengelolaannya ada dari Royal Ambarrukmo, murni swasta punya. (Tujuannya) Untuk menjaga. Asetnya memang tetap masih punya Keraton, Cagar Budaya kan. Tapi kalau maintenance dan untuk beroperasi memang dari hotel. Dan kita punya satu abdi dalem yang ditugaskan dari Keraton untuk menjaga dan bisa melestarikan," ucap General Manager Royal Ambarrukmo, Herman.
Sedikit berbagi pengalaman terkait dengan perbaikan yang harus dilakukan pada Pesanggrahan Ambarrukmo, Herman menyampaikan jika ia cukup sulit untuk melakukan renovasi, terlebih kala itu kondisi sedang pandemi.
"Saya baru datang di sini (Royal Ambarrukmo) pas COVID di 2020. Kalau saya pertama kali datang ya maintenance dari Pesanggrahan agak kurang, harus saya akui. Dan saya mulai pikirkan apa yang harus kita lakukan. Tapi karena ini tempatnya letaknya di Royal Ambarrukmo dan memang juga di-manage oleh saya, ya harus tanggung jawab untuk mencari maintenance, walaupun waktu itu sulit," tuturnya berbagi kisah kepada detikJogja.
Setelah dilakukan perbaikan, salah satu putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep pun melaksanakan pernikahan di pendopo tersebut pada bulan Desember 2022.
"Dan yang kita ketahui bersama, tahun lalu (2022) pas Kaesang bikin acara pernikahan di pendopo kita, menurut saya itulah buktinya kalau kita memang bisa melestarikan apa yang kita punya, ya pasti ada hal yang positif juga akan datang," ujar pria berkebangsaan Belanda tersebut.
Saat ini, pihak hotel sendiri tengah berusaha memanfaatkan bangunan yang berada di Jalan Laksda Adisucipto ini semaksimal mungkin. Berbagai aktivitas juga dilakukan di pendopo tersebut. Hal ini bermula dari keresahan Herman mengenai pemanfaatan wilayah ini, terlebih ketika masa pandemi mereda.
"Saya selalu bilang mungkin COVID itu satu blessing in the sky. Terus saya lihat dari segi pariwisata, apa yang bisa kita lakukan kalau nanti COVID sudah berakhir, kalau orang dari luar negeri sudah mulai datang. Apa uniqueness yang saya punya dari hotel saya. Akhirnya kita mulai dengan renovasi," ungkapnya.
Berbagai tradisi dan upacara khas Keraton diselenggarakan di pendopo pesanggrahan, di mana para tamu hotel dan masyarakat secara luas dapat merasakan pengalaman langka. Beberapa acara yang diadakan antara lain kelas tarian klasik, jemparingan, dan masih banyak lainnya.
"Sekarang kita punya Pendopo Activities, setiap hari pasti ada unsur budaya di hotel ini. Di pendopo Selasa hari ini (10/10) ada tarian klasik untuk anak-anak kecil. Sekarang kita juga punya jemparingan setiap hari Jumat. Kita punya bamboo flute, kita punya biola, sama siter-siteran sekarang," jelasnya.
![]() |
Selain aktivitas pendopo yang sarat akan budaya, terdapat Ladosan Dhahar, di mana pengunjung dapat menikmati sajian menu kegemaran dari Hamengku Buwono II hingga IX. Kegiatan ini dilaksanakan di Bale Kambang yang memiliki ciri bangunan berwarna putih dengan kolam air di sekelilingnya.
"Kita punya Ladosan Dhahar, sering kita lakukan di atas Bale Kambang, itu benar-benar selama COVID kerja sama dengan Prof. Gardjito, sarjana gastronomi Indonesia. Dan dia memberikan saya tiga menu, dari yang kesukaan makanan Hamengku Buwono II sampai Hamengku Buwono ke IX. Itu masih asli (menunya)," katanya sembari menunjukkan daftar sajian menu.
Selain beberapa kegiatan yang diinisiasi tersebut, Herman turut menghadirkan gamelan dan wayang kulit. Ia berpendapat jika seharusnya pendopo memiliki gamelan dan wayang kulit.
"Kita punya satu set gamelan, karena saya datang ke hotel ini, pendoponya tidak ada gamelan. Dulu katanya ada tapi tidak ada lagi. Gimana caranya saya bisa mendapatkan lagi satu gamelan, karena pendopo seharusnya ada gamelan kan sama satu set wayang kulit," tuturnya.
Dalam upaya menghadirkan gamelan dan wayang kulit, ia pun bertemu dengan istri dari KGPAA Paku Alam X untuk mewujudkan hal tersebut.
"Waktu itu saya bincang sama Gusti Putri Paku Alam dan beliau menyarankan saya untuk ke satu empu yang masih bisa bikin gamelan asli dan sekarang mereka juga lagi surut karena impor ekspor juga tidak jalan. Anda tau sendiri ya investasi satu set gamelan kualitasnya premium sama satu setnya wayang kulit asli, itu nilainya sangat luar biasa," ucapnya.
Pihak hotel menginginkan pesanggrahan ini agar menjadi Cagar Budaya untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mengingat saat ini bangunan bersejarah baru mendapatkan predikat Cagar Budaya dari Kabupaten Sleman. Selain itu, Herman juga akan terus berinovasi agar budaya Jawa terus dikenal di masyarakat.
"Pesanggrahan ini sudah mendapat predikat Cagar Budaya dari Kabupaten Sleman. Dari Provinsi DIY belum ya, saat ini sedang diajukan dan sudah disurvei supaya bisa jadi Cagar Budaya DIY. Kedua, saya sedang pikirkan selain yang sudah dilakukan, what else can we do? Untuk membuat budaya-budaya Jawa ini muncul terus menerus," pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidavayastama dan Jihan Nisrina Khairani peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan