Seperti yang kita ketahui, Jawa terkenal dengan beragam budaya serta filosofinya, khususnya rangkaian upacara pernikahan tradisional. Di Jawa Tengah, paes (riasan pengantin) adalah salah satu aspek penting yang butuh persiapan matang. Solo dan Jogja sendiri adalah dua daerah yang terkenal dengan paes pernikahannya.
Sebagai perpaduan antara tradisi dan simbolisme, tata rias pengantin Putri Jogja tidak hanya sekadar mempercantik penampilan, tetapi juga mengandung pesan mendalam yang mencerminkan warisan budaya dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Jogja.
Dalam artikel ini, detikJogja menjelaskan corak, teknik, serta makna filosofis yang menghiasi setiap sentuhan tata rias pengantin Putri Jogja. Yuk disimak!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Busana Pengantin
Dikutip dari buku Rias Pengantin Gaya Yogyakarta oleh Yosodipuro, gaya berbusana pengantin tercipta setelah Perjanjian Giyanti, yang pada waktu itu seluruh gaya busana Keraton Surakarta Hadiningrat dihadiahkan kepada Keraton Jogja Hadiningrat. Di Jogja sendiri, dulunya Paes Ageng hanya dapat dikenakan oleh anggota keluarga kerajaan. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X, akhirnya masyarakat umum diizinkan mengenakan Paes Ageng.
Tata Rias Pengantin Putri Jogja
Dikutip dari laman Indonesia.go.id, Jogja mempunyai 6 macam paes, yaitu Paes Ageng, Paes Ageng Jangan Menir, Paes Ageng Kanigaran, Jogja Puteri, Kastriyan Ageng, dan Pura Pakualaman.
Paes Ageng
Corak paes ini berwarna hitam dengan payet-payet emas yang mengikuti pola paes di dahi pengantin wanita. Sementara pada pengantin pria, memakai kuluk di kepala dengan sisir dan cundhuk menthul kecil. Terdapat filosofi mendalam pada riasan Paes Jogja, selain sebagai ekspresi doa, berperan sebagai pedoman, arahan, dan tuntutan menjadi perempuan yang baik.
Paes Ageng Jangan Menir
Paes ini digunakan untuk upacara boyongan pengantin wanita ke kediaman pria yang diselenggarakan sehari semalam setelah akad nikah.
Paes Ageng Kanigaran
Pada paes ageng kanigaran, penggunaan dodhot menjadi ciri khas yang melapisi kain cinde. Dodhot merupakan kain kemben yang dipakai oleh pengantin.
Jogja Puteri
Corak ini digunakan saat acara lima hari setelah akad, yaitu ngunduh mantu/ngunduh pasaran. Busana yang digunakan pengantin pria adalah baju panjang bordiran, kain pradan, dan selop bordir. Pada pengantin wanita memakai kebaya bludru berhias bordiran emas, kain batik prada, dan sanggul tekuk yang berhias mentul besar.
Kastriyan Ageng
Corak ini biasa dipandang paling polos dan sederhana. Dengan adanya modifikasi, pengantin wanita akan mengenakan paes Jogja putri dengan kebaya panjang dengan hiasan lace dengan kain batik prada, diikuti riasan sanggul tekuk dan untaian melati. Bisa dikatakan bahwa corak ini menggunakan gaya busana corak Jogja kontemporer.
Pura Pakualaman
Paes ini hampir sama dengan gaya busana pengantin Jogja, hanya ditambah sentuhan ciri khas gaya Pakualaman, yakni dalam penggunaan kain.
Di balik indahnya riasan Paes Ageng Jogja, ternyata banyak filosofi agung yang tersimpan. Filosofi ini menjadi bentuk harapan bagi pengantin wanita dan pria dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka.
Demikian penjelasan mengenai tata rias pengantin putri Jogja lengkap dengan corak paes dan filosofinya masing-masing.
(par/sip)
Komentar Terbanyak
Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Ramai Dikritik, Begini Penjelasan PPATK
Kasus Kematian Diplomat Kemlu, Keluarga Yakin Korban Tak Bunuh Diri
Akhir Nasib Mobil Vitara Parkir 2,5 Tahun di Jalan Tunjung Baru Jogja