Regional

Jokowi Singgung Kereta Cepat Whoosh Investasi Bukan Beban Negara

Tara Wahyu - detikJogja
Senin, 27 Okt 2025 17:21 WIB
Ilustrasi kereta cepat Whoosh (Foto: 20detik)
Jogja -

Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), buka suara soal polemik kereta cepat Whoosh yang menjadi beban utang negara. Jokowi menyebut Whoosh merupakan investasi untuk mengatasi macet Jakarta-Bandung.

Jokowi lalu menyinggung alasannya membangun proyek tersebut. Selain kereta cepat, pemerintah era Jokowi juga membangun sarana transportasi seperti LRT hingga MRT.

"Ini, jadi kita harus tahu masalahnya dulu, ya. Di Jakarta itu kemacetannya sudah parah. Ini sudah sejak 30 tahun, 40 tahun yang lalu, 20 tahun yang lalu dan Jabodetabek juga kemacetannya parah," kata Jokowi di kawasan Kottabarat, dilansir detikJateng, Senin (27/10/2025).

Selain Jabodetabek, macet parah juga terjadi di Kota Bandung. Jika dihitung akibat kemacetan itu menimbulkan kerugian ekonomi Rp 100 triliun per tahun.

"Termasuk Bandung juga kemacetannya parah. Dari kemacetan itu negara rugi secara hitung-hitungan kalau di Jakarta saja kira-kira Rp 65 triliun per tahun. Kalau Jabodetabek plus Bandung kira-kira sudah di atas Rp 100 triliun per tahun," ungkapnya.

Dengan pertimbangan itu, dibutuhkan moda transportasi yang bisa mengurangi kerugian. Oleh karena itu pilihan jatuh pada moda transportasi umum.

"Nah, untuk mengatasi itu kemudian direncanakan dibangun yang namanya MRT, LRT, kereta cepat, dan sebelumnya lagi KRL. Ada juga kereta bandara agar masyarakat berpindah dari transportasi pribadi mobil atau sepeda motor ke sepeda motor," jelasnya.

"Kereta cepat, MRT, LRT, kereta bandara, KRL. Agar kerugian itu bisa terkurangi dengan baik. Dan prinsip dasar transportasi massal, transportasi umum itu adalah layanan publik. Ini kita juga harus ngerti bukan mencari laba," sambung Jokowi.

Minta Jangan Diukur dari Laba

Di sisi lain, Jokowi meminta transportasi publik itu tidak dihitung berdasarkan laba semata. Tapi juga dari keuntungan sosial, salah satunya pengurangan emisi karbon yang berdampak positif bagi lingkungan.

"Jadi, sekali lagi, transportasi massal, transportasi umum, itu tidak diukur dari laba, tetapi adalah diukur dari keuntungan sosial. Social return on investment, misalnya, pengurangan emisi karbon," terangnya.

"Di situlah keuntungan sosial yang didapatkan dari pembangunan transportasi massal. Jadi sekali lagi, kalau ada subsidi itu adalah investasi, bukan kerugian. kayak MRT. Itu pemerintah provinsi DKI Jakarta mensubsidi Rp 800 miliar per tahun itu pun baru dari Lebak Bulus sampai ke HI. Nanti kalau semua rute sudah selesai diperkirakan Rp 4,5 triliun. Dari hitung-hitungan kami dulu 12 tahun yang lalu," bebernya.

Sebelumnya dilansir detikNews, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak keras penggunaan APBN untuk membayar utang proyek KCJB yang dikelola KCIC. Ia menilai, tanggung jawab penyelesaian utang berada di bawah Danantara sebagai holding BUMN investasi.

"Kan KCIC di bawah Danantara kan, kalau di bawah Danantara kan mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa Rp 80 triliun atau lebih. Harusnya mereka manage dari situ, jangan ke kita lagi, karena kalau enggak, ya, semuanya ke kita lagi, termasuk dividennya," kata Purbaya secara online dalam Media Gathering di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025).

Ia menegaskan, tidak adil jika APBN harus menanggung utang tersebut, sementara keuntungan BUMN telah dikelola oleh Danantara.



Simak Video "Video: Jokowi Bicara Soal Kereta Cepat Whoosh, Ungkit Keuntungan Sosial"

(ams/apu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork