Jokowi Jelaskan Lagi Alasan Bikin Whoosh, Tak Mau Disebut Beban

Regional

Jokowi Jelaskan Lagi Alasan Bikin Whoosh, Tak Mau Disebut Beban

Tara Wahyu NV - detikKalimantan
Senin, 27 Okt 2025 16:29 WIB
PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mengamankan pelaku pencurian kabel grounding di jalur Whoosh antara Padalarang–Tegalluar, Jumat (29/8/2025). Penangkapan ini terungkap melalui patroli rutin yang digelar tim keamanan KCIC.
Kereta cepat Whoosh. Foto: Dok. KCIC
Solo -

Proyek kereta cepat Whoosh kembali menuai kritik karena dianggap membebani anggaran negara. Presiden ke-7 Joko Widodo atau Jokowi kembali menjelaskan alasan dirinya membangun proyek Whoosh.

Dikutip dari detikJateng, Jokowi menyebut kemacetan Jakarta yang sudah sangat parah adalah alasan di balik proyek Whoosh. Tak cuma kereta cepat, pemerintah membangun sarana transportasi lain, seperti LRT hingga MRT.

"Ini, jadi kita harus tahu masalahnya dulu, ya. Di Jakarta itu kemacetannya sudah parah. Ini sudah sejak 30 tahun, 40 tahun yang lalu, 20 tahun yang lalu dan Jabodetabek juga kemacetannya parah," kata Jokowi di kawasan Kottabarat, Solo, Senin (27/10/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain Jabodetabek, Kota Bandung juga mengalami kemacetan yang parah. Menurutnya, kemacetan berdampak pada perekonomian, hingga mencapai kerugian senilai Rp 100 triliun per tahun.

"Termasuk Bandung juga kemacetannya parah. Dari kemacetan itu negara rugi secara hitung-hitungan kalau di Jakarta saja kira-kira Rp 65 triliun per tahun. Kalau Jabodetabek plus Bandung kira-kira sudah di atas Rp 100 triliun per tahun," ungkapnya.

Dia menegaskan bahwa Whoosh lebih mengutamakan layanan publik ketimbang laba. Proyek ini juga disebut sebagai investasi, sehingga tidak boleh dipandang sebagai beban.

"Kereta cepat, MRT, LRT, kereta bandara, KRL. Agar kerugian itu bisa terkurangi dengan baik. Dan prinsip dasar transportasi massal, transportasi umum itu adalah layanan publik. Ini kita juga harus ngerti bukan mencari laba," sambung Jokowi.

"Jadi, sekali lagi, transportasi massal, transportasi umum, itu tidak diukur dari laba, tetapi adalah diukur dari keuntungan sosial. Social return on investment, misalnya, pengurangan emisi karbon," terangnya.

"Di situlah keuntungan sosial yang didapatkan dari pembangunan transportasi massal. Jadi sekali lagi, kalau ada subsidi itu adalah investasi, bukan kerugian. kayak MRT. Itu pemerintah provinsi DKI Jakarta mensubsidi Rp 800 miliar per tahun itu pun baru dari Lebak Bulus sampai ke HI. Nanti kalau semua rute sudah selesai diperkirakan Rp 4,5 triliun. Dari hitung-hitungan kami dulu 12 tahun yang lalu," bebernya.

Baca artikel selengkapnya di sini.




(bai/bai)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads