Pria asal Sembungan, Gulurejo, Lendah, Kulon Progo, Daery Farras (23) mengembangkan usaha batik kontemporer hingga beromzet Rp 40-50 juta per bulan. Target pasarnya siapa lagi kalau bukan para pemuda yang ingin tampil beda.
Lulusan Universitas Islam Indonesia (UII) ini menceritakan awal mula dirinya berkecimpung di dunia batik. Menurutnya, semua itu berawal dari sang ayah yang mendirikan usaha batik pada tahun 2006.
"Ayah saya tahun 2006 sudah bekerja di bidang batik. Karena di sekitar tempat tinggal saya banyak masyarakat yang berprofesi membatik tapi di situ tidak ada satu pun industri batik," kata Farras kepada wartawan di workshop Batik Farras, Jalan Kolonel Sugiono, Deresan, Ringinharjo, Bantul, Jumat (23/2/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Dari situ ayah Farras mulai memberdayakan masyarakat agar mereka tidak perlu keluar dari Kulon Progo untuk bekerja sebagai pembatik. Seiring berjalannya waktu, Farras tertarik melanjutkan usaha ayahnya. Saat itu Farras melihat produk batik belum banyak menyasar anak muda.
"Baru sekitar 5 tahun ini saya mengembangkan batik konsep kontemporer. Karena kita mau menyasar pasar untuk anak muda dan ternyata mereka itu cenderung suka batik yang cerah dan batik yang tidak mau sama dengan yang lain. Jadi kita buat batik yang abstrak gitu," ujarnya.
Awalnya Farras mencoba menjual batik produksinya ke orang-orang terdekat. Setelah melihat potensi pasar, ternyata banyak anak muda di pinggiran Kota Jogja yang tertarik dengan batik kontemporer.
"Karena itu akhirnya berkembang sampai ada di Bantul ini. Batik kontemporer saya sebetulnya motifnya macam-macam, tapi lebih ke abstrak. Ada juga kombinasi juga seperti parang, kawung, motif klasik lain yang kekinian," ucapnya.
Untuk batik kontemporer produksinya, Farras menggunakan bahan primisima dan sanforize. Namun jika pemesan menghendaki kain sutra atau dobby, dia juga bersedia.
Sedangkan untuk pewarna, Farras lebih condong menggunakan remasol agar batiknya berwarna lebih cerah.
"Pembuatan batik kontemporer step by step ya, tidak bisa sehari jadi berapa. Paling cepat dalam satu proses seminggu baru bisa jadi dan semuanya saya yang desain sendiri," kata dia.
Pemasaran batik kontemporer ini secara online dan offline. Jangkauan pemasarannya kini sudah mencapai Papua.
"Pemasaran sampai seluruh Indonesia, tapi fokusnya di Jogja. Luar Jawa paling banyak Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luar Jawa biasanya penjual, jadi dijual lagi batiknya," ungkap dia.
Farras kini bisa meraup omzet hingga puluhan juta dalam sebulan. Dia memiliki 25 tenaga kerja di bagian produksi hingga marketing.
"Paling ramai kalau mau Lebaran. Kalau rata-rata, paling sehari jual 5-10 batik. Selain itu kita lebih fokus ke seragam-seragam, bisa 30-40 (potong kain batik kontemporer) seminggu sekali," ucapnya.
"Kalau dihitung-hitung saat ramai paling omzetnya Rp 40-50 juta untuk satu bulan," lanjut Farras.
Harga batik kontemporer produksinya mulai Rp 100-250 ribu. Untuk batik tulis murni harganya sekitar Rp 200 ribu per dua meter.
"Tapi yang paling kencang itu yang Rp 150 ribu, itu batik kombinasi cap dan tulis masih bentuk kain. Kalau baju menyesuaikan model, biasanya laki-laki Rp 150-300 ribu," pungkasnya.
(dil/ams)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan