Kisah Sumeidi Perajin Kotagede Sejak 1982 Berharap Ada Regenerasi

Kisah Sumeidi Perajin Kotagede Sejak 1982 Berharap Ada Regenerasi

Iis Sulistiani, Novi Vianita - detikJogja
Minggu, 26 Nov 2023 21:49 WIB
Sumeidi salah satu perajin ukir logam di Kotagede yang eksis sejak 1982. Foto diambil Kamis (23/11/2023)
Foto Sumeidi salah satu perajin ukir logam di Kotagede yang eksis sejak 1982: Iis Sulistiani/detikJogja
Jogja -

Kotagede yang mendapat julukan 'Jewelry of Jogja' merupakan salah satu sentra kerajinan perak di Jogja. Kawasan ini selalu ramai dikunjungi oleh para wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berburu kerajinan tangan khas Kotagede.

Pantauan detikJogja pada Kamis (23/11/2023), di sepanjang Jalan Kemasan berderet aneka toko kerajinan perak. Saat berkunjung ke kawasan ini, detikJogja menemukan sebuah tempat pembuatan kerajinan logam, termasuk perak yang sudah ada sejak 1982.

Perajin Ukiran Segala Logam itu dikelola Sumeidi (68). Tangannya tampak lincah mengetuk bongkahan alumunium berbentuk helm pesanan pelanggannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sumeidi bercerita sudah membuat kerajinan ukiran sendiri sejak tahun 1982. Dia sempat ikut orang saja sebelum membuka usahanya sendiri.

"Saya mulai mandiri di rumah itu tahun 1982. Sebelum itu kan saya ikut orang. Walaupun mandiri, tapi pada tahun 1987 sudah ada temannya," kenang Meidi, sapaannya.

ADVERTISEMENT

Meidi mengaku tidak hanya membuat kerajinan perak saja, tapi juga membuat kerajinan dari bahan seperti tembaga, kuningan, dan aluminium, tergantung pesanan. Bahan-bahan tersebut dia dapatkan tidak jauh dari Kotagede.

Meidi merupakan generasi ketiga pengukir logam di keluarganya. Keahlian ini diwariskan turun temurun oleh neneknya dan sang ayah. Kini dia meneruskan pekerjaan ini berdua dengan sang kakak.

Harga yang dipatok untuk setiap kerajinan berbeda-beda, tergantung dari kesulitan dan lamanya pengerjaan. Mulai dari puluhan ribu hingga puluhan juta.

"Ini bandul kalung saya jual Rp 90 ribu per satuan. Kalau ini (helm dari alumunium) mahal sekitar Rp 1 jutaan, dua hari selesai," jelasnya.

Bikin Aneka Kerajinan: dari Perhiasan-Logo Keraton

Selain perhiasan, Meidi mengaku pernah mendapat proyek membuat tulisan untuk pintu gerbang, logo keraton, gembreng, hingga perhiasan.

"Kemarin dari proyek UGM bikin tulisan untuk pintu gerbang, terus kemarin juga bikin yang buat wisuda, gembreng itu lho yang bunder pakai tongkat. Baru kemarin aja. Perhiasan kalau ada orderan juga bikin," ujarnya.

"Kemarin bikin logo keraton yang besar dari tembaga bahannya. Saya dua kali mengerjakan itu," tambahnya.

Selama 41 tahun menjadi perajin ukir, Meidi mengaku tidak pernah kesulitan selama proses pengerjaan. Hanya saja ada beberapa kerajinan yang membutuhkan ketelitian lebih, seperti pernak-pernik yang berukuran kecil.

"Saya nggak ada kesulitan apa-apa. Soalnya kalau saya mampu saya kerjakan, kalau nggak mampu saya tolak," tegasnya.

Meski tidak ada kesulitan yang berarti, ia mengaku mengalami kendala regenerasi. Menurutnya, saat ini perajin ukir termuda di wilayahnya berusia sekitar 55 tahun.

"Kalau ini dilestarikan nggak mungkin hilang. Tukang ukir itu paling muda umur 55 (tahun). Ya terus regenerasinya siapa, kan sudah nggak ada. Sayangnya itu," ujarnya.

Lebih lanjut, Meidi menuturkan jika pekerjaan ini memang sulit dan membutuhkan jiwa seni yang tinggi. Menurutnya, untuk mempelajari keahlian ini membutuhkan waktu minimal satu bulan hingga satu tahun untuk benar-benar mahir.

Berharap Ada Pelestarian dari Pemerintah

Meidi pun berharapan agar pemerintah bisa mengadakan pelatihan kepada generasi muda yang benar-benar mampu dan mempunyai kemauan. Hal ini sebagai upaya untuk regenerasi perajin ukir perak.

Dia menyebut tingkat kesulitan kerajinan perak beragam, tergantung dari ukiran yang dibutuhkan. Oleh karena itu, dia berharap ada pelatihan agar ada generasi penerus kerajinan ukir logam.

"Pemerintah kalau mau melestarikan ya harus mengadakan pelatihan-pelatihan itu. Tapi dengan catatan itu tadi bentuknya seperti padat karya. Kita sambil belajar juga dapat istilahnya uang saku. Entah berapa pun tidak masalah yang penting ada rangsangan anak-anak untuk belajar," harapnya.

Artikel ini ditulis oleh Iis Sulistiani dan Novi Vianita Peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(ams/ams)

Hide Ads