- Apa Itu Matel atau Mata Elang?
- Bagaimana Cara Menghadapi Mata Elang? 1. Pahami Hak Debitur Sejak Awal 2. Jika Tidak Berani Menghadapi Sendiri, Cari Pendamping 3. Pahami Bahwa Debt Collector Tidak Berhak Menyita 4. Negosiasi Masih Selalu Terbuka 5. Periksa Sertifikat Jaminan Fidusia 6. Tetap Beritikad Baik untuk Membayar Utang
Pernahkah melihat sekelompok orang yang tampak sibuk memantau pelat nomor kendaraan di pinggir jalan? Masyarakat luas mengenal mereka dengan sebutan 'mata elang' atau 'matel'. Kehadiran mereka terkadang menimbulkan rasa was-was para pengendara yang sedang melintas di jalan raya.
Sebutan matel ini merujuk pada debt collector lapangan yang bekerja untuk perusahaan pembiayaan guna melacak kendaraan dengan tunggakan kredit. Meskipun mereka bekerja atas kuasa kreditur, ada batasan hukum ketat yang mengatur tindakan mereka di lapangan.
Yuk, kita simak penjelasan berikut ini untuk memahami apa itu mata elang secara mendalam, termasuk cara menghadapinya, detikers!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Poin utamanya:
- Mata elang adalah pihak ketiga penagih tunggakan kendaraan yang wajib bekerja sesuai etika, tanpa kekerasan atau intimidasi.
- Penarikan kendaraan hanya sah jika disertai sertifikat jaminan fidusia resmi dan tidak boleh dilakukan sepihak saat debitur keberatan.
- Debitur berhak menolak penarikan di jalan dan dianjurkan bernegosiasi langsung dengan bank atau perusahaan pembiayaan.
Apa Itu Matel atau Mata Elang?
Mata elang adalah sebutan populer di masyarakat untuk debt collector lapangan yang ditunjuk oleh perusahaan pembiayaan guna menagih tunggakan atau menarik barang jaminan. Umumnya, mata elang berfokus pada kendaraan bermotor.
Istilah mata elang muncul karena cara kerja mereka yang aktif memantau dan mencari debitur di lapangan. Namun secara hukum, mata elang bukanlah aparat penegak hukum, melainkan pihak ketiga yang bekerja atas kuasa kreditur.
Mengacu pada penjelasan dari laman resmi Kanwil Kementerian Hukum RI NTB, penarikan kendaraan oleh debt collector atau mata elang hanya sah jika didasarkan pada perjanjian fidusia yang telah terdaftar dan memiliki sertifikat fidusia elektronik. Tanpa dasar fidusia yang sah, tindakan penarikan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Bahkan, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 menegaskan bahwa penarikan objek fidusia tidak boleh dilakukan secara sepihak jika debitur keberatan atau tidak mengakui wanprestasi. Sementara itu, menurut PID Polda Kepri, tugas debt collector sejatinya hanya sebatas menagih utang, bukan melakukan intimidasi atau kekerasan.
Penagihan harus dilakukan secara beretika, kooperatif, dan sesuai aturan yang berlaku. Citra buruk mata elang muncul ketika penagihan dilakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum, seperti penarikan paksa, ancaman, atau kekerasan, padahal praktik tersebut tidak dibenarkan dalam regulasi di Indonesia.
Bagaimana Cara Menghadapi Mata Elang?
Jika harus berhadapan dengan mata elang yang akan melakukan penarikan kendaraan, detikers tidak perlu panik. Sebab, ada aturan hukum yang jelas mengenai penagihan dan penarikan aset, serta ada cara-cara yang dapat dilakukan agar debitur tetap terlindungi secara hukum. Mari simak tipsnya berikut ini!
1. Pahami Hak Debitur Sejak Awal
Langkah pertama yang paling penting adalah memahami posisi hukum sebagai debitur. Berdasarkan informasi dari laman resmi Kanwil Kementerian Hukum RI NTB, debitur berhak menyimpan dan memeriksa salinan perjanjian kredit, termasuk memastikan apakah sertifikat jaminan fidusia sudah diterbitkan.
Jika terjadi penarikan kendaraan, debitur berhak meminta debt collector menunjukkan dokumen resmi. Apabila belum terjadi wanprestasi atau debitur merasa keberatan, penarikan dapat ditolak dan diminta untuk melalui proses hukum.
2. Jika Tidak Berani Menghadapi Sendiri, Cari Pendamping
Dikutip dari buku Utang Cerdas Masa Depan Kaya karya Stanley Christian, tidak semua orang memiliki mental yang cukup kuat untuk menghadapi debt collector seorang diri. Rasa takut sering muncul, terutama jika penagihan dilakukan secara agresif dan melibatkan keluarga.
Dalam kondisi seperti ini, debitur dapat meminta bantuan pihak ketiga seperti YLKI atau LBH di daerah masing-masing. Lembaga ini dapat membantu menghadapi debt collector sekaligus melakukan negosiasi dengan pihak bank atau perusahaan pembiayaan.
Namun, debitur perlu mempertimbangkan biaya jasa yang mungkin timbul. Meski begitu, langkah ini sering memberi rasa aman dan perlindungan hukum yang lebih kuat.
3. Pahami Bahwa Debt Collector Tidak Berhak Menyita
Salah satu kesalahpahaman paling umum adalah anggapan bahwa debt collector dapat langsung menyita kendaraan atau rumah. Faktanya, penyitaan bukan wewenang debt collector, bank, maupun polisi. Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh pengadilan setelah melalui proses hukum yang panjang.
Untuk kredit beragunan seperti KPR atau kredit kendaraan bermotor, proses penyitaan bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun. Justru karena prosesnya panjang dan rumit, bank biasanya lebih memilih jalur negosiasi daripada langsung membawa perkara ke pengadilan.
4. Negosiasi Masih Selalu Terbuka
Negosiasi merupakan langkah yang sangat dianjurkan. Dalam kasus KPR, debitur dapat meminta penghentian bunga berjalan dan fokus membayar pokok utang saja. Ada pula opsi menghentikan cicilan sementara dengan kesepakatan tertentu, lalu menjual aset agar utang dapat dilunasi.
Bank dapat menyetujui penghentian bunga dan memberi waktu khusus untuk menjual rumah secara mandiri. Hal yang sama berlaku pada kredit kendaraan bermotor. Kuncinya adalah komunikasi dan negosiasi, bukan lari dari tanggung jawab.
5. Periksa Sertifikat Jaminan Fidusia
Kredit kendaraan bermotor menggunakan perjanjian fidusia, dan perjanjian ini wajib didaftarkan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, fidusia adalah pengalihan hak milik atas dasar kepercayaan, sementara kendaraan tetap berada dalam penguasaan debitur.
Perusahaan pembiayaan wajib mendaftarkan perjanjian fidusia melalui notaris dan menerbitkan sertifikat jaminan fidusia. Tanpa sertifikat ini, penarikan kendaraan tidak sah. Jika mata elang atau debt collector tidak dapat menunjukkan sertifikat jaminan fidusia, debitur berhak menolak penarikan kendaraan.
Jika kendaraan ditarik secara paksa di rumah atau di jalan tanpa dokumen fidusia yang sah, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perampasan atau pencurian. Dalam kondisi tertentu, pelaku dapat dijerat Pasal 368 atau Pasal 365 KUHP.
Bahkan, jika perusahaan pembiayaan menggunakan dokumen fidusia palsu, sanksinya bisa berupa denda besar. Dalam hal ini, debitur tidak berada dalam posisi lemah seperti yang sering dibayangkan, selama memahami hak hukumnya.
6. Tetap Beritikad Baik untuk Membayar Utang
Meski demikian, penting ditekankan bahwa langkah-langkah ini bukan untuk menghindari kewajiban membayar utang. Buku Utang Cerdas Masa Depan Kaya menegaskan, utang tetap harus dilunasi, baik secara hukum maupun moral. Niat baik untuk membayar, meskipun dengan mencicil dan bernegosiasi, sudah merupakan sikap yang benar.
Sampai di akhir penjelasan ini, apakah kamu sudah memahami lebih dalam tentang apa itu matel atau mata elang, detikers?
(sto/dil)












































Komentar Terbanyak
Artis Porno Bonnie Blue Digerebek di Bali, Klaim Ngeseks Bareng Seribuan Pria
Penyesalan Keluarga Ali Pemerkosa Tewas Dimassa-Mayatnya Diseret Motor
Aksi Nekat Pemuda Cenglu Berujung Maut di Sewon Bantul