Langkah Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada eks Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi, menuai sorotan dari kalangan akademisi hukum. Pemberian rehabilitasi ini dinilai sebagai bentuk diskresi presiden yang dijamin konstitusi, namun sekaligus menjadi alarm bagi aparat penegak hukum.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, menjelaskan publik perlu memahami perbedaan mendasar antara rehabilitasi yang diberikan Presiden dengan rehabilitasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Fatahillah menegaskan rehabilitasi yang diberikan Presiden didasarkan pada Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini berbeda dengan rehabilitasi dalam KUHAP. Kalau di KUHAP, rehabilitasi diberikan ketika upaya paksa atau penyidikan dianggap tidak sah menurut hakim praperadilan. Artinya, ada kesalahan prosedur dari penegak hukum," ujar Fatahillah saat dihubungi wartawan, Rabu (26/11/2025).
Menerka Pesan Prabowo di Balik Rehabilitasi
Namun, rehabilitasi Presiden adalah murni hak prerogatif atau diskresi kepala negara. Fatahillah menyoroti hingga saat ini belum ditemukan pengaturan teknis lebih lanjut mengenai Pasal 14 UUD 1945 tersebut selain di konstitusi itu sendiri.
"Jadi, tidak bisa dikatakan ada yang salah. Ini karena Presiden menggunakan diskresinya, bukan berdasarkan penilaian pengadilan," jelasnya.
Meski merupakan hak diskresi, Fatahillah mencatat ada pesan tersirat bagi KPK agar kasus serupa tidak terulang. Menurutnya, ada dua hal krusial yang harus diperbaiki oleh lembaga antirasuah tersebut.
"Pertama, KPK harus betul-betul memastikan kasus yang diangkat bukan merupakan keputusan bisnis (business judgment rule), melainkan murni fraud atau kecurangan," tegas Fatahillah.
Hal ini menjadi relevan ketika disandingkan dengan kasus-kasus lain yang memicu perdebatan publik. Seperti kasus impor gula yang menjerat Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong.
"Pastikan kasus-kasus bukan keputusan bisnis tapi murni fraud," ujarnya.
Kedua, Fatahillah menekankan pentingnya komunikasi hukum.
"KPK harus mampu memberikan penjelasan kepada Presiden dan rakyat dengan bahasa sederhana agar posisi hukum kasus tersebut bisa dipahami secara komprehensif," tambahnya.
Menanggapi fenomena penggunaan hak prerogatif presiden dalam kasus hukum, Fatahillah mengingatkan langkah seperti rehabilitasi, amnesti atau abolisi bukanlah obat mujarab untuk masalah hukum di Indonesia.
"Karena pada akhirnya, tetap peraturan dan penegakan hukumnya yang harus diperbaiki sistemnya," jelas Fatahillah.
Seperti diketahui, Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada eks Dirut ASDP Ira Puspadewi. Surat sudah diteken Prabowo kemarin.
"Alhamdulillah, pada hari ini Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga nama tersebut," kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dalam konferensi pers di Istana, Selasa (25/11).
Rehabilitasi diawali dari aspirasi masyarakat kepada DPR. DPR melalui Komisi Hukum melakukan kajian terhadap perkara yang menjerat Ira Puspadewi.
Untuk diketahui, mantan Dirut PT ASDP, Ira Puspadewi (IP), divonis 4,5 tahun penjara dalam perkara akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP. Vonis ini ramai disorot publik.
Selain Ira, Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP 2019-2024 M Yusuf Hadi serta Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP periode 2020-2024 Harry Muhammad Adhi Caksono masing-masing dijatuhi pidana 4 tahun penjara. Kini Prabowo memberikan rehabilitasi terhadap ketiganya.












































Komentar Terbanyak
Underpass Kentungan Banjir, Ternyata Ini Biangnya
Bos Pajak soal Fatwa MUI Pajak Berkeadilan: PBB Kan Diserahkan ke Daerah
Permintaan Maaf Inara Rusli Usai Diterpa Isu Perselingkuhan