5 Contoh Refleksi Jumat Agung untuk Mengenang Wafatnya Yesus Kristus

5 Contoh Refleksi Jumat Agung untuk Mengenang Wafatnya Yesus Kristus

Anindya Milagsita - detikJogja
Kamis, 17 Apr 2025 18:01 WIB
Renungan Harian Katolik
Refleksi Jumat Agung. (Foto: freepik/Freepik)
Jogja -

Refleksi Jumat Agung menjadi sebuah hal yang perlu dilakukan oleh umat Kristiani, salah satunya dalam mengenang wafatnya Yesus Kristus. Sebagai referensi, berikut akan disampaikan sejumlah contoh refleksi Jumat Agung.

Mengutip dari jurnal yang disampaikan dalam Repositori Institusi Universitas Kristen Satya Wacana, bahwa Jumat Agung menjadi sebuah momentum perayaan yang dapat dimaknai sebagai bentuk merefleksikan diri bagi setiap umat Kristiani. Terutama mengenai kesengsaraan Yesus Kristus yang telah disalibkan.

Sementara itu, dijelaskan dalam laman BPK Penabur, bahwa refleksi diperlukan agar kematian Yesus Kristus di kayu salib sebagai sebuah peristiwa yang berkaitan dengan penderitaan dan pengorbanan yang tidak bisa dibayangkan. Inilah yang membuat Jumat Agung sebagai peringatan wafatnya Yesus di kayu salib tidak hanya menjadi sebuah peristiwa sejarah semata.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih dari itu, dapat dimaknai oleh setiap umat Kristiani akan kasih tanpa syarat yang telah ditunjukkan oleh-Nya. Nah, bagi detikers yang memerlukan refleksi Jumat Agung, terdapat sejumlah contoh yang bisa dijadikan sebagai referensi. Temukan uraiannya berikut ini.

5 Contoh Refleksi Jumat Agung

Contoh Refleksi Jumat Agung (1)

"Selamatkanlah diri-Mu, jikalau Engkau Anak Allah"..."Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat"

ADVERTISEMENT

Kematian Tuhan Yesus Kristus di kayu salib, yang kemudian kita kenal dengan peristiwa Jumat Agung dengan berbagai kegiatan ibadah. Menarik untuk kita refleksikan baik peristiwa-peristiwa yang menyertai maupun peristiwa-peristiwa yang sebelumnya terjadi pada peristiwa Jumat Agung. Mengapa menarik untuk kita refleksikan? Karena melalui peristiwa-peristiwa itu kadang tanpa kita sadari maupun kita sadari menjadi peristiwa yang realita kita lakukan.

Saudara-saudara umat Kristen, ketika menelisik peristiwa kematian Tuhan Yesus di kayu salib, tertulis bahwa peristiwa menyakitkan datang menerpa diri Yesus. Murid-murid meninggalkanNya, siksaan demi siksaan, olokan pedih, bahkan direndahkan. Via dolorosa, jalan penderitaan saat memikul salib menjadi jalan tetesan darah yang tertumpah dari tubuh Yesus, menjadi bukti begitu menyakitkan bagi tubuh Yesus. Mereka yang dahulu mengelu-elukan Dia pada saat Yesus masuk ke Yerusalem (dikenal dengan minggu palmarum), kini berbalik mengolok-olok, menghujat bahkan berteriak "Salibkan Dia." Namun semua dipikul Yesus dengan tanpa rasa dendam bahkan tak ada kata kebencian yang keluar dari mulut Yesus. Mampu melewati kesesakan, kepedihan, siksa dan sakit yang mendera dalam tubuh, menjadi suatu ajaran Yesus menuju kepada kepastian 'hidup yang kekal' yang tidak dapat dipahami manusia.

Kepedihan yang dirasakan Yesus bukan saja menerpa tubuh jasmani-Nya, tetapi perasaan hati Yesus pun harus menderita. Olok-olokan sepanjang jalan saat Dia memikul salib-Nya sampai kepada tertancapnya paku di kayu salib. "Selamatkanlah diri-Mu, jikalau Engkau Anak Allah" (Matius 27:40) suatu olokan yang didasari dari perkataan Yesus pada saat Dia menyucikan Bait Allah dan mengusir pedagang-pedagang dari Bait Allah (Yohanes 2:19). Menarik untuk diperhatikan bahwa nampaknya mereka itu adalah para pendengar yang menyimpan perkataan Yesus dalam hidupnya.

Hanya saja, ketika mereka mendengar, mereka menyimpan perkataan Yesus itu dalam makna yang berbeda. Perkataan Yesus itu digunakan mereka untuk mengolok-olok Yesus. Lalu apa yang dilakukan Yesus kepada mereka? Apa balasan Yesus kepada mereka semua yang mengolok-olok Dia? Sakit dibalas dengan kesakitan juga? Dia tidak membalasnya dengan kesakitan tapi dengan pengampunan, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" (Lukas 23:34). Sikap keteladanan, mengampuni, memaafkan bahkan memberikan harapan kehidupan dengan mendoakan agar mereka yang membenci, mencela bahkan menyiksa-Nya memperoleh keselamatan menjadi teladan Yesus Kristus bagi kita.

Saudara-saudara umat Tuhan, peristiwa Jumat Agung adalah peristiwa penyelamatan Allah, melalui "via dolorosa" menjadi bukti pengorbanan Anak Domba Allah untuk menyelamatkan umat manusia. Kendali dan kehendak Allah seringkali tidak sama dengan kehendak manusia. Berulang kali saudara dan saya merayakan Jumat Agung, Minggu Paskah, rutin dan terbiasa untuk datang ke gereja dengan ibadah bersama. Namun tahun ini kita menjalani Jumat Agung yang berbeda, tidak seperti rutinitas dan kebiasaan tahun-tahun sebelumnya.

Mewabahnya COVID-19 membuat rutinitas dan kebiasaan ibadah kita berubah. Mengikuti ketentuan dan peraturan pemerintah, kita harus melaksanakan ibadah di rumah dengan hanya berkumpul satu keluarga. Ada gereja yang mampu melakukan ibadahnya melalui fasilitas media, bagi yang lain mungkin hanya menggunakan lembaran tata ibadah yang dibagikan oleh gereja. Peribadatan yang berbeda ini tentunya tidak akan membawa kita kepada kepedihan yang sama dirasakan oleh Yesus di kayu salib. Tidak, tidak bisa disamakan.

Perbedaan tata laksana ibadah itu disikapi untuk membawa kita kepada perubahan, dari hanya sekedar rutinitas dan kebiasaan kepada pelaksanaan yang terimani dalam ungkapan syukur. Kita seringkali hanya menjalankan diri secara rutinitas mendengarkan "Firman Tuhan" tapi tidak menjalankannya sesuai dengan kehendak Yesus. Kita biasa-biasa saja beribadah bukan menjadi yang luar biasa. Kita gampang untuk 'berubah' sikap karena tergantung situasi dan kondisi. Sama seperti orang-orang yang tadinya mengelu-elukan Yesus tapi berubah menjadi mengolok-olokan Yesus. Implementasi kehidupan Yesus pada peristiwa kematian-Nya di Kayu Salib atau Jumat Agung membawa kita kepada keyakinan:

1. Kesusahan hari ini tidak dapat menggoyahkan keyakinan iman, tapi dengan kesusahan ini semakin mengetahui ada rencana Tuhan yang tidak dapat dipahami secara lahiriah, hanya dengan iman kita dapat memahaminya;

2. Umat Kristen mengubah kehidupannya dari kebiasaan dan rutinitas menjadi sesuatu yang berbeda yang luar biasa dihadapan Tuhan;

3. Nilai spiritualitas seseorang bukan dinilai dari pendengaran saja tapi dari perilaku sebagai pelaku Firman;

4. Pengampunan telah berlaku bagi kita dari Yesus Kristus Tuhan kita.

Akhirnya saudara-saudara umat Tuhan, peristiwa kematian Yesus Kristus di kayu salib menjadi lambang titik awal kehidupan baru yang akan bangkit dari diri kita masing-masing, Amin.

(Sumber: Ditjen Bimas Kristen Kementerian Agama RI)

Contoh Refleksi Jumat Agung (2)

Seorang pemuda mendatangi romo pembimbing retret menceritakan pergumulan hidupnya. Dengan raut wajah sedih dia berkata: "Romo, saya sudah kehilangan pekerjaan yang saya geluti selama ini.

Hubungan dengan keluarga pun tidak harmonis. Hidup saya berantakan. Saya kehilangan gairah hidup. Saya stres dan depresi berat. Satu-satunya alasan yang membuat
saya bertahan adalah, Andini, putri saya." Mendengar kisah pilu pemuda tersebut, romo berusaha memberi peneguhan. Singkat cerita, sebelum pamitan, romo tersebut memberi kekuatan:" ingatlah saudara, meskipun hidupmu terlampau amat berat saat ini, yakinlah, putrimu masih menjadi harapan untuk bangkit kembali. Dialah lilin kecil yang bisa memancarkan cahaya harapan.

Banyak di antara kita merasakan berada dalam kegelapan jiwa, entah karena permasalahan di rumah, di tempat kerja maupun di lingkungan sekitar. Sepertinya hidup itu begitu suram; tiada lagi secercah harapan. Di saat berada dalam situasi terpuruk sekalipun, kita masih ingin menemukan adanya harapan. Melalui orang-orang yang dicintai, sesungguhnya Tuhan sedang kembali menyalakan api harapan bagi perbaikan diri.

Masa prapaskah adalah kesempatan berahmat bagi kita untuk menemukan harapan di saat kita merasa tiada lagi harapan. Mengapa demikian?

Karena Tuhan begitu amat mencintai kita dan kita begitu berharga di mata-Nya. Di saat-saat sulit, kita seperti berada di padang gurun kehidupan; rasa lapar dan haus akan cinta kasih menghanyutkan kita pada perasaan tak berdaya. Namun, Yesus menunjukkan bahwa setiap godaan dan kesulitan hidup bisa dihadapi asalkan kita mampu mengandalkan Tuhan (minggu prapaskah I). Itulah tanda cinta Tuhan. Kemudian, saat ada bersama Tuhan, kita merasa damai dan tenang, penuh sukacita dan bahagia. Inilah moment pewahyuan (transfigurasi) di mana kita disadarkan bahwa di dalam Tuhan, kita menemukan harapan dan kekuatan. Yang diminta adalah 'mendengarkan Dia' berarti menaruh kepercayaan penuh akan warta pertolongan-Nya (minggu prapaskah II). Kita percaya akan janji penyertaan-Nya sebab Allah yang maha cinta, setia pada janji-Nya.

"Marilah kita berpegang teguh pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia" (Ibr 10:23). Memang betul kesetiaan dan janji Tuhan terlaksana sesuai kehendak-Nya atas hidup kita sehingga seperti bunda Maria kita berdoa:

'Jadilah padaku menurut perkataanmu itu' (Luk 1:38). Kita bertanya bila manakah janji Tuhan itu terlaksana dalam hidupku? Saat kita bertanya, sesungguhnya kita sedang membuka ruang dalam diri agar menyerahkan dengan penuh iman kepada penyelenggaran Ilahi. Ini bukanlah pepesan kosong. Kita berharap karena kita percaya akan 'waktunya Tuhan' berkarya memperbaiki dan memulihkan hidup kita (Minggu Prapaskah III). God is full of surprises. Kejutan-kejutan tak terkira akan menghampiri bagi orang yang berserah dan beriman teguh. Dan, jawaban atas doa-doa kita bisa saja sesuai dengan apa yang diinginkan, tetapi bisa juga seperti apa yang Allah kehendaki atas hidup dan masa depan kita. Ingatlah apa yang dialami si bungsu dalam kisah Anak yang Hilang. Dia mengingini diperlakukan sebagai hamba saat kembali ke rumah setelah masa-masa terpuruk dalam hidup, tetapi Bapa yang penuh belas kasih memulihkan martabatnya sebagai anak kesayangannya. Demikianlah diri kita, ketika kembali ke pangkuan kerahiman Allah maha kasih, kita menemukan diri dipulihkan, disegarkan dan dikuatkan (minggu prapaskah IV). Inilah alasan agar kita tetap berharap kepada Allah. Pengharapan di dalam Allah itu tidak mengecewakan (bdk. Rm 5:5), karena Allah mengasihi kita, anak-anak-Nya.

Di dalam hati-Nya kita mendapatkan ruang perjumpaan di mana kita merasa diterima, dikasihi, dimaafkan, dikuatkan dan dibaharui (Minggu Prapaskah V). Maka, kita menyadari sekali lagi ternyata Tuhan memperhatikan kita: 'sesungguhnya, mata Tuhan tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, bagi mereka yang mengharapkan akan terima kasih-Nya." (Mzr 33:18).

Pada minggu prapaskah VI ini, kita ingin memusatkan perhatian Allah yang menunjukkan maha karya kasih-Nya melalui Yesus Kristus, Putra-Nya yang rela menderita, mengalami sengsara dan kemudian bangkit bagi keselamatan kita. Sebelum merayakan Paskah, kita akan mengenang kisah sengsara Tuhan. Hal ini mengingatkan kita bahwa kemalangan dan penderitaan ada batasnya. Peristiwa tragis Jumat Agung harus dilewati agar sampai pada perayaan kemenangan kebangkitan. Inilah kekuatan Pekan Suci.

Kita memulai Pekan Suci dengan merenungkan kisah injil Lukas 19:28-40 tentang Yesus yang dielu-elukan di Yerusalem. Bacaan ini (dari tahun C) dipakai pada upacara pemberkatan daun Palma, kemudian dilanjutkan dengan perarakan menuju ke dalam Gereja untuk mengenang kisah sengsara Tuhan Yesus. Di dalam teks Lukas 19:28-40 ini, kita menemukan sukacita dan harapan seperti dialami para murid "...yang mengiringi Dia bergembira dan memuji Allah dengan suara nyaring oleh karena segala mujizat yang telah mereka lihat." (Luk 19: 37c).

Kehadiran Yesus, karya pelayanan, tanda dan mukjizat yang dialami banyak orang membuat mereka bergembira dan bersukacita sebab harapan pada Allah itu tidak sia-sia dan tidak mengecewakan. Selain itu, harapan pada Allah itu membebaskan: yang buta, melihat; yang tuli, mendengar; yang lumpuh berjalan; yang letih lesu dan berbeban berat, diberi kekuatan. Inilah tanda begitu besar kasih Tuhan bagi mereka yang senantiasa percaya dan berharap kepada-Nya.

Selanjutnya, ketika memasuki kota Yerusalem, Yesus memerlukan keledai untuk perarakan-Nya. Hal ini menjadi simbol harapan dari apa yang pernah dinubuatkan nabi zakharia: "Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai putri Sion, bersorak-sorailah, hai putri Yerusalem!

Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan menunggang keledai yang muda, anak keledai betina" (Zak 9:9). Kristus adalah Raja yang berkuasa, yang adil dan berkuasa; lemah lembut, panjang sabar dan penuh kasih setia. Harapan menjadi milik kita tatkala mata kita tertuju kepada-Nya: "Lihat, rajamu datang kepadamu."

Saat kita berbeban berat, menghadapi kemalangan dan penderitaan, kosong dan tak berdaya, kita diingatkan: "datanglah kepada-Nya, sebab Tuhan memerlukanmu." Merasa diri diperlukan Tuhan berarti kita ini ingin dipakai sebagai sarana Tuhan dan tetap menjadi berarti. Di sinilah letak harapan kita: berharga di mata Tuhan. Yang diminta adalah mempercayakan diri sebab 'Tuhan memerlukannya.' (Luk 19:34).

Karena Tuhan memerlukan, maka kita perlu melepaskan tali pengikat: tali keraguan, tali putus harapan, tali merasa tidak dicintai, tali amarah dan perselisihan, tali dendam dan permusuhan agar menjadi bebas dan diperhitungkan oleh Tuhan. Semoga di tahun Yubelium penuh rahmat ini, kita dibebaskan dari segala hal yang membelenggu karena kita menemukan harapan. Harapan kita itu pada Allah yang telah membebaskan kita dan memberi daya hidup agar secara berani melangkah dan menatap masa depan yang lebih cerah.

(Sumber: Publikasi Pojok Pra-Paskah 'Harapan yang Membebaskan' oleh Indonesian Cahtilic Family)

Contoh Refleksi Jumat Agung (3)

Jalan derita, jalan sengsara, tak seorang pun yang mau memimpikannya, menjadikannya obsesi, apalagi yang sedia untuk menapakinya. Siapa pun akan berupaya menghindarinya, untuk menolak dan menjauhinya. Orang tentu lebih suka untuk menelusuri jalan-jalan yang penuh sukacita, tawa-ria. Ya, sesuatu yang logis; sesuatu yang biasa. Namun, apa yang dilakukan Yesus adalah kebalikannya. Ia justru lebih suka meniti jalan sengsara; Ia lebih siap untuk menempuh jalan salib dalam rangka menyelamatkan manusia.

Alkitab mendeskripsikan dengan amat jelas dan lugas kesengsaraan yang dialami Yesus hingga saat-saat kematian-Nya. Dari pengungkapan Alkitab, penderitaan dan kematian Yesus di kayu salib bukanlah sesuatu yang tiba-tiba saja terjadi. Jalan sengsara dan jalan kematian adalah sesuatu yang memang menjadi alternatif yang dipilih oleh Yesus sendiri dan bayangan tentang itu sudah sejak awal Ia nyatakan.

Itulah sebabnya Yesus menolak dengan tegas ketika murid-murid berusaha mengurung Yesus dalam tenda di gunung kemuliaan (Mat.17:1-13), dan justru turun meninggalkan gunung itu untuk menempuh penderitaan di Yerusalem. Beberapa kali para murid diberitahu oleh Yesus bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan meminum cawan penderitaan di kota itu (Mrk.8:31 dst). Ia konsisten dengan misi-Nya, Ia tidak lari dari penderitaan, Ia datang menyongsong bahkan merangkul penderitaan, betapapun getir dan pahitnya karena Ia memiliki komitmen untuk itu.

Sinisme, hujatan dan cemooh dari banyak orang mewarnai saat Yesus menderita di kayu salib. Mahkota duri ditaruh di atas kepala-Nya, sebatang buluh diletakkan pada tangan kanan-Nya,lalu orang-orang mengejek Yesus, meludahi-Nya dan memukul kepala Yesus dengan buluh (Mat.27:29-30). Penderitaan dan kesengsaraan Yesus lengkap ketika orang-orang yang lewat di sekitar salib itu mengejek Dia: "Jika Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu! Orang lain diselamatkan tetapi diri sendiri tak dapat Ia selamatkan" (Luk.23: 25 dst). Yesus tak menyerah kalah oleh sinisme, cemooh dan hujatan. Ia tetap tegar dan konsisten. Pilihan-Nya tidak berubah: Jalan kematian mesti ditempuh, supaya manusia dapat merengkuh kehidupan sejati, mengalami perspektif masa depan.

Kematian Yesus adalah kematian yang riil dan faktual, bukan maya dan hanya ada dalam dunia ide. Ia merasakan kesepian dan kesendirian ketika berhadapan dengan kematian, sehingga kemanusiaan-Nya mengaduh: "Allah-Ku, Allah-Ku mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mat.27:46). Penderitaan dan kematian Yesus menginspirasi beberapa hal kepada kita yang tengah menghidupi kekinian dunia.

Pertama, Yesus mengajarkan bahwa keberpihakan kepada manusia dan komitmen untuk memberi perspektif masa depan baru bagi manusia adalah segala-galanya. Keberpihakan dan komitmen itu tidak berhenti menjadi slogan, jargon dan program, tetapi sesuatu yang riil dan operasional, sesuatu yang bersifat action. Walaupun untuk mewujudkannya kita mesti menderita, harus kehilangan segala-galanya, bahkan kehilangan diri sendiri.

Kedua, Yesus tidak sekadar menjadi guru yang menunjukkan dan mengajarkan sesuatu, tetapi Ia sekaligus menderita dan mempraktikkan apa yang Ia ajarkan itu. Tidak ada ambivalensi dan dikotomi antara perkataan dan tindakan Yesus; artinya keduanya bersifat integral dan menyatu. Apa yang Ia ajarkan, itu juga yang Ia lakukan.

Ketiga, Yesus concern dengan semua umat manusia tanpa mempertimbangkan ke-siapa-an manusia itu, tanpa dibelenggu oleh pemikiran primordialistik. Yesus benar-benar mempraktikkan sikap hidup inklusif di tengah-tengah perjalanan pelayanan-Nya. Kematian-Nya di kayu salib benar-benar terarah bagi semua umat manusia, bukan hanya untuk sekelompok orang.

Sikap inklusif seperti itu harus menjadi nada dasar serta gaya hidup gereja-gereja, bahkan masyarakat dan bangsa di dalam masyarakat majemuk Indonesia. Dalam semangat inklusif itulah kita berjuang terus membangun rumah besar Indonesia yang di dalamnya semua orang dari berbagai suku, agama, etnik dan golongan dapat tinggal bersama dengan penuh persaudaraan dan saling menghargai, tanpa rasa takut, curiga dan was-was. Tatkala Gereja merayakan Hari Jumat Agung-Hari Kematian Yesus dikayu salib,maka kesengsaraan Yesus harus menjadi model bagi Gereja dan kekristenan di Indonesia untuk menampilkan dirinya.

Tindakan Yesus yang menempuh jalan salib-bukan jalan revolusi,jalan kekuasaan, atau jalan apapun menjadi sumber inspirasi bagi Gereja dalam menolong mereka yang terpapar Virus, mereka yang makin miskin dan melarat terdampak Virus, mencari solusi melawan terorisme global, merawat mereka yang luka dan depresi dihantam turbulensi kehidupan, menjaga dan membangun rumah besar Indonesia tanpa jemu dan lelah.

Yesus Kristus telah bersedia mati,agar kita hidup mencipta keadaban baru.

Selamat Hari Jumat Agung. God Bless.

(Sumber: Laman Gereja Kristen Pasundan)

Contoh Refleksi Jumat Agung (4)

Hari ini orang-orang Kristen merayakan Jumat Agung yaitu dimana Tuhan Yesus mati untuk kita di kayu salib. Tuhan Yesus telah menebus dosa-dosa kita meskipun dia tidak bersalah tetapi dia rela melakukan itu untuk menebus dosa kita. Yesus Kristus disiksa, dicemooh dan menderita disalib hingga akhirnya mati demi untuk menebus dosa umat manusia.

Jika banyak orang menderita karena kesalahannya itu adalah hal yang wajar karena memang sudah seharusnya demikian, akan tetapi jarang ada orang mau menanggung kesalahan orang lain apalagi sampai menanggung dosanya dan membayarnya bukan dengan harta (emas, uang atau lainnya) tetapi dengan darah dan nyawanya. Yesus Kristus inilah Pribadi yang mau untuk mati dan menanggung dosa yang dia sendiri tidak lakukan yaitu dosa manusia.

Dalam kehidupan bersama kita, tidak jarang dijumpai orang yang membenci orang benar, apapun alasannya. Tidak jarang ada orang yang mudah ikut membenci orang atau saudaranya tanpa tahu alasannya. Bahkan ada kegiatan massal yang menghukum orang tak bersalah, sebelum proses peradilan. Sekali lagi, hanya karena hoax, orang lain harus mengalami kematian.

Orang-orang suka menyebarkan hoax hanya karena mereka membencinya, mereka ingin orang itu jatuh, tersakiti, dan berharap tidak bangkit. Itu salah satu dosa terberat kita yaitu berbohong karena menyebarkan hoax menyebarkan berita yang tidak benar dan kita berbohong. Seharusnya kita yang menanggung dosa tersebut tetapi Tuhan Yesus rela menanggung dosa-dosa kita dan mati di kayu salib karena Tuhan Yesus saying kita semua.

Semoga dengan penuh penyesalan, kita mohon ampun kepada-Nya dan siap memikul salib kita masing-masing sebagai partisipasi mengikuti Dia. Kita harus bangga akan salib Tuhan kita dan juga salib kita masing-masing, agar kelak kita pun juga boleh mengalami kebangkitan dan kemuliaan bersama dengan Yesus yang tersalib.

(Sumber: Scribd 'Refleksi Paskah dan Jumat Agung' oleh Ariel)

Contoh Refleksi Jumat Agung (5)

Kematian menyisakan kesedihan. Kematian menyisakan ketakutan. Kematian menyebabkan melakukan yang irasional. Kematian meninggalkan pekerjaan yang belum selesai. Kematian meninggalkan beban utang belum diselesaikan. Kematian, titik terakhir kehidupan. Kematian, musuh yang tidak pernah dapat dikalahkan. Tetapi, iman, memberikan dimensi baru terhadap kematian.

Dalam Kristus, mati adalah keuntungan. Ada pengharapan kebangkitan. Hidup, kesempatan berbuah dan memberi buah. Hidup memberi arti dan manfaat bagi sesamanya. Makna hidup yang luhur, ketika mampu berbagi dan memberi. Lebih bahagia memberi daripada menerima. Kristus tersalib, paripurna berbagi dan memberi. Menghidupkan dan menyelamatkan sesama. Pengorbanan luhur mulia.

(Sumber: Laman Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis atau STT GKE)

Itulah tadi rangkuman contoh refleksi Jumat Agung yang dapat dijadikan sebagai cara agar dapat mengenang wafatnya Yesus Kristus secara lebih bermakna. Semoga membantu.




(sto/ams)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads